Pada era globalisasi
seperti saat ini, kebanyakan manusia telah menyeleweng dari tujuan ia
diciptakan oleh Dzat yang Maha Menciptakan.
Menyebarnya bid’ah, syirik, khurofat, pembunuhan, perampokan, korupsi,
pergaulan bebas, dan segudang
permasalahan lainnya seakan sudah menjadi hal yang biasa-biasa saja ketika kita
mendengarnya. Bentuk-bentuk
penyelewengan ini jika terus menerus terjadi maka akan menjadi alasan bagi
Allah untuk mengadzab dan menyiksa kita, jika kita tinggal diam dan
membiarkannya.
Saudaraku, mungkin
kita termasuk satu di antara pelaku-pelaku pelanggar itu. Jika demikian, secara tidak sadar kita sedang
‘mengundang’ datangnya adzab Allah ke bumi yang kita pijak ini. Tidaklah satu musibah pun yang terjadi di
atas muka bumi ini kecuali akibat dari dosa dan maksiat yang dilakukan oleh
manusia. Ali bin Tholib radhiallohu
‘anhu berkata ““Tidaklah musibah tersebut turun melainkan
karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan
dengan taubat.”
Perkataan Ali ini
sejalan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu
maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan
sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”
(QS. Asy Syuraa: 30)
Saudaraku, kita adalah
gudang dosa dan maksiat. Janganlah kita
menganggap diri kita suci. “Maka
janganlah kalian menganggap diri kalian suci” (QS. An-Najm:32). Allah, rabb kita yang Maha mengetahui
melarang kita menggap diri kita ini suci.
Alah tidak senang dengan orang menggap suci dirinya.
Saudaraku, mari kita
renungi dosa-dosa kita. Sebagai contoh,
sewaktu kita menonton TV betapa banyak tontonan yang seharusnya tidak kita
tonton. Aurat-aurat wanita
diperlihatkan. Adegan-adegan merusak
akhlak pun jadi sajian utama. Dan kita
saksikan itu semua. Sadar atau tidak sadar, itu adalah dosa. Bukankah Allah ‘azza wa jalla yang
telah memberikan kepada kita nikmat mata telah menjelaskan “aturan
pemakaian”nya? Bahwa pandangan ini
seharusnya kita tundukkan dan tidak dibiarkan ‘jelalatan’ kemana-mana yang Dia subhanahu
wa ta’ala telah jelask dalam QS. An-nur ayat 30-31:
“Katakanlah kepada laki-laki yang
beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka perbuat. Dan katakanlah
kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya,
dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya),
kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada
suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra
mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka,
atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan
mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang
mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat
perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kaki-nya agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai
orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung”
Allah telah memberikan
nikmat tanpa batas. Hitunglah, maka kita
pasti dan pasti tidak akan mampu menghitungnya.
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah maka pasti kamu tidak akan
mampu menghitungnya” (QS. Ibrahim:7).
Sebanyak itu nikmat Allah terkadang membuat sebagian dari kita
mendustakan dan memaksiati Allah sebanyak itu pula. Padahal Allah memberikan semua nikmat itu agar
kita syukuri dan kita memanfaatkannya untuk beribadah kepada Allah. Alangkah tak tahu berterima kasihnya
kita. Allah memberi nikmat namun kita
justru memanfaatkan nikmat tersebut untuk mendurhakainya.
Allah memberikan
kepada kita dua kaki, yang seharusnya kita gunakan untuk melangkah menuju
masjid justru kita langkahkan ke diskotik, bar dan klub malam. Dua tangan juga Allah berikan kepada kita
agar kita manfaatkan beribadah dan bekerja secara halal namun justru kita
gunakan untuk mencuri dan merampas hak orang lain. Lisan yang sempurna tak lupa Allah karuniakan
kepada kita untuk kita gunakan berdzikir di setiap keadaan. Namun, lagi-lagi kita gunakan untuk mencibir,
mencaci, menghina dan memfitnah orang lain.
Bagaimana dengan nikmat-nikmat Allah yang lain, apakah kita gunakan juga
dalam hal-hal yang mendurhakai Allah? Na’udzu billahi min dzaalik(kita
berlindung kepada Allah dari hal itu).
Saudaraku, wajar jika
kita berbuat salah. Kita manusia
biasa. Rasulullah @ juga sejak jauh-jauh
hari telah mengisyaratkan bahwa manusia adalah tempatnya salah dan dosa. Namun begitu, Allah selalu membukakan pintu
taubat buat kita selama belum terjadi dua hal, sebelum matahari terbit dari
barat dan sebelum nafas sudah sampai di tenggorokan.
Nah, saat ini kita
masih bernapas dengan tenang -dan ini termasuk nikmat yang besar dari Allah azza
wa jalla- dan matahari pun masih
terbit dengan indah di sebelah kiri.
Sekarang masih ada waktu bertobat, jangan ditunda lagi wahai saudaraku
tercinta.
Pernahkah kita
mendengar kisah Fudhail bin ‘Iyadh?
Seorang ulama besar islam yang namanya terukir indah dengan tinta emas
dalam kitab-kitab sejarah. Beliau
seorang yang lembut hatinya, amat besar rasa takutnya kepada Allah dan juga
ahli ibadah serta sederet akhlak dan amalan terpuji lainnya. Torehan ini akan terus dikenang umat islam
hingga langit ini runtuh(kiamat).
Tahukah kau wahai saudaraku akan kisah hidupnya? Apakah ia terlahir langsung jadi ‘alim? Ataukah hidupnya ‘lurus’ sejak beliau
kecil. Tidak! Bahkan beliau adalah
mantan penyamun (perampok) terkenal yang ditakuti. Namun saat hidayah Allah menyapa maka tak
seorang pun yang mampu menahan-Nya.
Fudhail bin ‘Iyadh bertobat setelah ia mendengarkan ayat Allah dalam QS.
Al Hadid ayat 16:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ
اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ
فَاسِقُونَ -١٦-
Belum tibakah waktunya bagi orang-orang
yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang
telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti
orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa
yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka
menjadi orang-orang fasik.
Belum tibakah masanya?
Ayat ini membuat Fudhail tersentuh dan terkenang atas semua kezoliman dan
dosa-dosanya di masa lalu yang mengantarkannya pada satu jalan: Bertaubat dan
kembali kepada Allah. Hari itu pula ia
memulai jalan hidupnya sebagai orang yang bertaubat dan ia ikhlas dalam
pertaubatannya. Ia perbaiki hubungannya
dengan Allah dan kepada manusia hingga jadilah ia seperti Fudhail bin ‘Iyadh yang
kita kenal saat ini.
Saudaraku, mari kita
bertaubat. Takutlah kita akan adzab
Allah jika kita terus menerus dalam kesalahan.
Adzab Allah begitu keras dan tak akan mampu kita bersabar menanggungnya. Selama ini banyak dosa dan kelalaian yang
kita lakukan. Banyak larangan Allah yang
kita terjang, ribuan perintah kita abaikan.
Masih ada waktu untuk kita bertaubat.
Belumkah datang
saatnya untuk kita kembali kepada Allah?
Mari kira berlari kepada-Nya, mengejar ketertinggalan kita dari
manusia-manusia seperti Fudhail bin ‘Iyadh.
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ
وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ -١٣٣-
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan
dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan bagi orang-orang yang bertakwa”
(QS. Ali Imran : 133)
Jadikan dosa-dosa kita
di masa lalu sebagai sarana untuk masuk surga.
Caranya yakni dengan menyesalinya dan berjanji kepada Allah untuk
meninggalkannya secara total. Orang yang
berdosa kemudian bertobat maka ia seakan-akan tidak melakukan dosa. Wallahu a’lam.
Abu
Muhammad Risaluddin al Qolakawy
Makassar,
29 Muharram 1434H/13-12-2012
0 komentar:
Posting Komentar