oleh : Abu Muhammad
Jika kita mau membuka mata dan melihat lebih dalam, maka
kita akan sampai pada sebuah kesimpulan: pekerjaan paling bergengsi dan
menjanjikan masa depan adalah berdakwah!
Entah, engkau mau berpendapat apa dan bagaimana, namun inilah yang
kupegangi setelah melihat perjalanan sejarah masa lalu.
Sudah tak diragukan lagi bahwa manusia paling mulia di
sisi Allah adalah para nabi dan rasul.
Mereka mendapat kemuliaan dengan apa? Harta? Jabatan? Wajah elok?
Tidak! Mereka mulia karena mereka
berdakwah; menyampaikan risalah ketauhidan di permukaan bumi. Bahwa tidak ada yang berhak disembah dan
dipatuhi, diibadahi kecuali Allah yang Maha Kuasa.
Sekarang kita di kampus.
Kita aktifis dakwah. Yah, aktifis
dakwah kampus. Sebuah kenikmatan besar
saat Allah memberi kita kesempatan berdakwah sambil kuliah.
Pergerakan dakwah kampus begitu mengasyikkan namun penuh
lika-liku. Banyak suka duka yang
dilewati. Kebahagiaan terbesar dirasakan
saat objek dakwah (mad’u) mendapatkan hidayah dari Allahdan turut bergabung
dalam barisan perjuangan. Alangkah
bahagianya, kebahagiaan yang tidak bisa terbayarkan dengan emas dan perak. Begitulah seharusnya seorang muslim, jika ia
bahagia ketika mendapatkan kebaikan, hendaknya ia juga senang saat saudaranya
mendapatkan kebaikan serupa. “Laa yu’minu ahadukum hatta yuhibba li
akhiihimaa yuhibba linafsih”, tidak sempurna keimanan kalian sebelum ia
mencintai untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri.
Nah, sebaliknya kedukaan yang kerap dirasakan pejuang
dakwah adalah tatkala belum markas perjuangan.
Markas perjuangan atau sekretariat mutlak dibutuhkan sebagai pusat
gerakan dakwah. Bukankah di awal dakwahnya,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
menjadikan rumah Arqom bin Abil Arqom sebagai pusat dakwah? Tempat Nabi mentarbiyah para sahabat. Itulah Darul
Arqom.
Perjuangan dakwah tanpa markas akan mudah lumpuh. Kami sudah merasakannya. Sebuah kisah yang mengilhami kami menulis
catatan ini adalah adanya sebuah jamaah dakwah (kampus) yang tidak diberi izin
lagi untuk melanjutkan kontrakan yang sudah bertahun-tahun bahkan mungkin
belasan tahun mereka jadikan sebagai markas dakwah.
Merekapun mencari kian kemari kontrakan baru yang
kondusif. Pekan demi pekan berlalu namun
belum juga ditemukan kontrakan baru yang cocok.
Sudah banyak tawaran, namun belum ada yang kondusif. Coba mengkredit rumah, syaratnya panjang lagi ribet, sementara dakwah harus
terus berlanjut, tak boleh terhenti walau sedetik. Akhirnya, setelah beberapa waktu berlalu,
mereka pun menemukan kontrakan baru.
Entah sudah merasa cocok atau belum, mudah-mudahan mereka bisa
beradaptasi.
Bersabarlah saudaraku, beginilah perjuangan. Kalau di dunia ini kita mesti berganti-ganti
kontrakan agar dakwah tetap tegak, mari kita lakukan itu. Jangan gengsi dan jangan malu. “Wa
innal akhirota hiya daarul qoroor”, dan akhirat adalah tempat tinggal yang
sesungguhnya. Biar ngontrak di dunia,
yang penting di akhirat bisa tinggal di dalam istana pribadi yang Allah
siapkan. Sungguh, Allah tak akan
menyiakan walau sebutir keringatmu yang menetes di jalan-Nya (karena mencari kontrakan dakwah-red).
Sahabat yang mulia Abu Bakar ash-Shiddiq berkata, “Ayanqushul islaamu wa ana hayyi?”,
apakah (kalian mengira) islam akan redup sementara saya masih hidup?!
(Tidak!). Teruslah berjuang tegakkan
agama-Nya, meski dengan mengontrak.
Sebab, kini kita sedang “dikontrak seumur hidup” sebagai tentara-Nya..
0 komentar:
Posting Komentar