Oleh: Abu Muhammad*
Manusia, adalah makhluk yang unik.
Allah menciptakannya dalam bentuk paling sempurna dibanding makhluk yang
lain. Allah berfirman dalam al-Qur’an
surah at-Tiin ayat 4: “dan sungguh, Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Allah berikan hati kepada manusia. Dengan hati itu, manusia bisa membedakan yang
baik dengan yang buruk.
Dalam sebuah hadits shohih Rasulullah telah menyampaikan, “Sesungguhnya dalam jasad manusia ada
segumpal darah, jika ia baik maka baiklah seluruh jasad, dan jika ia buruk maka
buruklah seluruh jasad. Ketahuilah bahwa
segumpal darah tersebut adalah al-qalb (jantung)”. Secara maknawi al-qolb yang dimaksud adalah hati.
Dengan hati itu pula, manusia mampu membedakan rasa. Yah, manusia memiliki perasaan. Perasaan ini jika telah diaduk dengan nafsu
oleh setan maka akan memiliki dampak buruk yang dahsyat. Contohnya, atas nama cinta, zina pun
dilakukan. Ingin membantu orang lain,
mencuri dihalalkan –seperti kisah fiktif Robin Hood.
Perasaan manusia bersifat sangat fluktuatif. Artinya, sangat mudah berubah kondisinya dari
satu kondisi ke kondisi lain yang bahkan mungkin saling berkebalikan. Sebagai manusia, kita yang tidak mampu
memenej perasaan dengan baik akan terjatuh dalam penyesalan demi
penyesalan. Bagaimana tidak, setiap
tindakan yang kita lakukan adalah representasi dari hati dan perasaan
kita.
Kita ambil contoh. Marah misalnya. Marah biasanya akan disalurkan dalam bentuk
umpatan, caci maki, wajah yang merengut memerah bahkan bisa dalam bentuk
perkelahian. Namun apa setelah itu? Sangat sering kita dapatkan orang-orang yang
marah lalu bertindak membabi buta, setelah ia melihat akibat kemarahannya, ia
pun diliputi penyesalan yang mendalam.
Ia pun berpikir andai ia menahan saja marahnya dan mengalah. Namun apa daya, nasi telah menjadi bubur.
Kebanyakan pemuda-mungkin kita termasuk- biasanya akan sangat mudah
terpengaruh oleh keelokan wajah atau akhlak lawan jenisnya. Dari situlah muncul sebuah rasa yang mereka
namakan cinta. Mereka pun berjuang agar
cintanya tak bertepuk sebelah tangan.
Jadilah mereka pejuang-pejuang cinta.
Terkadang rasa cinta ini mampu membuat si ahli ibadah menjadi tidak
khusyuk lagi dalam ibadahnya. Di tempat
lain, si aktifis mendadak berubah menjadi pasifis, atau paling tidak, jika ia
jatuh cinta pada sesama aktifis, maka ia sulit untuk mendapatkan keikhlasan
dalam perannya sebagai aktifis, tidak terkecuali aktifis dakwah.
Terjebak. Yah, seharusnya kita bisa
berpikir lebih mendalam dan bijak. Bahwa
cinta itu adalah sebuah rasa yang mudah berlalu jika ia tak dipupuk. Sama dengan perasaan yang lain, ia begitu
fluktuatif. Hari ini kita cinta dengan
segala yang ada pada diri yang kita cintai, namun besok? Siapa yang menjamin? Mungkin, dengan satu saja kekurangan yang
kita saksikan pada dirinya, rasa cinta itu tiba-tiba buyar dan menghilang bak
ditelan bumi.
Sudahlah, tak perlu terlalu berlebihan dalam menyikapi cinta. Sudah banyak buktinya. Masih ingat kasus cinta segitiga yang
melibatkan seorang pemuda dan dua pemudi di Jakarta? Salah seorang dari mereka akhirnya harus
tewas di tangan dua lainnya. Banyak
contoh lain yang bisa kita dapatkan sebenarnya, namun bukan disini tempatnya.
Hanya cinta yang dilandasi taqwalah yang akan kekal. Kita yang sudah memiliki kemampuan,
menikahlah segera. Jangan menjadi
pengkhayal-pengkhayal cinta yang menjadikan waktu habis dalam lamunan dan
angan-angan.
Ingat, perasaan kita sangat mudah berubah. Bak cuaca, tiba-tiba hujan, semenit kemudian
langsung panas. Olehnya itu, jangan
selalu terbawa perasaan sehingga Anda akan disesatkan oleh perasaan Anda. Jadikanlah Al-Qur’an dan sunnah Nabi sebagai
landasan kita dalam mengelola rasa. Semoga
kita bisa menjadi manusia-manusia yang mampu memenej perasaan agar selalu
berada di atas koridor yang Allah tetapkan. Wallaahu
a’lam. (Makassar, 5 April 2014)
*
penulis adalah aktifis pengelola GASBIT (Gerakan Anti Syirik, Bid’ah dan
Khurofat)
0 komentar:
Posting Komentar