Sebagai aktifis dakwah yang telah
menghibahkan diri kita kepada Rabb al ‘izzah, kita pasti akan selalu
berkecimpung dalam kesibukan-kesibukan tiada henti. Kesibukan itu adalah kesibukan mengurusi
agama Allah. Duhai, adakah
kesibukan yang lebih baik dari kesibukan ini?
Sebagai da’i, kita dituntut untuk banyak belajar. Mengilmui, mengamalkan kemudian
mendakwahkannya kepada manusia serta bersabar di atasnya.
Berpindah dari satu musyawarah ke
musyawarah lain, dari satu agenda ke agenda lain, dari satu majelis ilmu ke
majelis ilmu yang lain menjadi kesibukan para aktifis dakwah. Majelis ilmu paling ‘keramat’ dalam sepekan
yang harus kami hadiri yakni tarbiyah islamiyah. Bagaimana tidak, dalam tarbiyahlah kita
dididik bukan hanya menjadi seorang yang saleh pada diri sendiri namun juga digembleng
bagaimana menshalihkan orang lain.
***
Cukup padat jalanan kota Makassar
malam itu. Namun, atas izin Allah ‘azza
wa jalla kami pun tiba di lokasi tarbiyah.
Saat kami tiba, di masjid tempat tarbiyah kami dikumandangkan iqomah pertanda
shalat akan segera ditunaikan.
Singkat cerita, sholat isya pun
berakhir. Sembari menunggu ikhwah lain
yang belum kunjung tiba, saya pun tertidur; mengamalkan sunnah Nabi untuk tidur
setelah sholat isya agar bisa bangun di tengah malam (ini hanya alasan,
sebenarnya saya memang mengantuk).
Tidak lama kemudian, sesosok manusia membangunkan tidur pendekku. Oh, ternyata dia adalah teman
tarbiyahku, ia membangunkanku karena sebentar lagi tarbiyah akan segera
dimulai.
***
Tahsinul
qira’ah mengawali tarbiyah malam itu. Bergilir se-ikhwah demi se-ikhwah hingga
lima orang sudah mendapat giliran membaca al-qur’an (jumlah sebenarnya tujuh
orang, namun dua orang berhalangan hadir).
Setelah
tahsinul qira’ah usai…
“Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa
barakatuh…,” Ustadz mulai membuka majelis tarbiyah. Pada tarbiyah malam itu beliau mengajarkan
kepada kami beberapa hal. Namun yang
paling membekas di kepalaku adalah tentang dakwah fardhiyah. Bagaimana kita bisa merebut hati orang yang
akan kita dakwahi. Di antara caranya
adalah mengajaknya untuk makan di warung.
Kurang lebih satu jam tarbiyah kami
berjalan sebelum ustadz menutup majelis.
Akhirnya, majelis tarbiyah malam itu
pun ditutup dan kami bersiap untuk meninggalkan tempat tarbiyah. Malam itu, malam selasa, kami belum makan
malam, padahal siang hari tadinya kami berpuasa. Lapar. Itulah yang kami rasakan.
Tiba-tiba, saat kami beranjak pulang,
ustadz langsung mengajak kami untuk makan bakso. Dengan perasaan agak terkejut, namun guratan
kegembiraan yang tampak pada wajah kami tidak bisa disembunyikan. Meskipun di sisi lain kami bersedih karena
seharusnya kamilah yang memberikan sesuatu untuk ustadz sebagai bentuk rasa
terima kasih kami atas ilmu yang telah beliau ajarkan.
Singkat cerita, warung wakso yang
cukup terkenal di kota kami ini menjadi sasaran. Waktu itu jam sudah menunjukkan pukul
22.00. Di warung tersebut, ustadz
memesan enam mangkok bakso untuk dia dan kami.
Dengan lahapnya, para ikhwa yang sudah sejak lama menahan laparnya
menyantap bakso tersebut.
Saya dan ikhwah lain sudah sepakat, meskipun
yang mengajak makan adalah ustadz, tetapi kamilah yang akan membayarnya. Namun di luar dugaan, ustadz menghabiskan
baksonya lebih cepat daripada kami.
Beliau berdiri menuju kasir untuk membayar. Dengan sigap salah seorang ikhwah
mengeluarkan uang dari dompetnya untuk mendahului ustadz tiba di kasir. Namun ternyata ustadz mencegahnya dan
mengatakan bahwa biar beliau saja yang bayar.
Ikhwah itu pun tak berkutik.
Akhirnya, ustadz jugalah yang membayar.
Di sisi lain, 4 orang ikhwah masih
asyik menyantap bakso yang juga belum habis.
Setelah semuanya menghabiskan jatah baksonya,
kami baru menyadari bahwa ternyata ustadz sudah pulang. Sejenak kami berpikir, makan bakso malam ini
bukan hanya sekedar makan. Ada hakikat
lain yang mesti kami dalami. Apa
itu? Tampaknya ustadz ingin mengajari
kami bahwa beginilah yang seharusnya kami lakukan terhadap orang (baca;mad’u)
yang akan diajak tarbiyah; ajak mereka makan bakso!
Pelajaran: untuk mengajak orang
mengikuti kita dalam kebaikan, dibutuhkan berbagai macam trik dan intrik agar
ia tertarik dengan ajakan kita. Di
antaranya melalui makanan. Orang yang
pernah kita berikan makanan akan merasa berhutang budi kepada kita sehingga
ajakan-ajakan kita akan berat untuk ia tolak.
Gunakan rasa ‘tidak enak’nya kepada kita untuk mengajaknya mengikuti
kegiatan-kegiatan kebaikan semisal tarbiyah islamiyah.
Ibnu Syamsuddin: Sudut Mihrab, 7 Rajab 1433/28 Mei 2012 pukul 14.12 WITA
0 komentar:
Posting Komentar