- Mereka yang lupa atau pura-pura lupa dengan kematian. Mereka tidak senang jika kematian disebut dihadapannya. Mereka itulah orang-orang kafir, para pengejar dunia yang tamak akan harta. Ketika diingatkan tentang kematian kepada mereka, hal itu hanya menambah semangat mereka untuk mengumpulkan dunia. Mereka tidak yakin akan adanya kehidupan setelah kematian. Maka mereka menghabiskan waktunya siang dan malam untuk menikmati dunia. Mencari, menghitung dan akhirnya mereka mati dalam gelimang dunia; menuju murka Allah. Allahul musta'an
- Mereka orang lalai dengan dunia namun tidak lalai dari mengingat kematian. Namun begitu, mereka selalu ditimpa waswas karena merasa belum punya cukup bekal untuk menghadap kepada Rabb-nya. Entah sampai kapan mereka akan terus dihantui was-was.. Tapi ini lebih baik dari golongan yang pertama tadi
- Inilah yang terbaik. Mereka adalah orang-orang yang menanti kematian. Hari kematian adalah hari bahagia buat mereka. Mereka itulah para orang shalih yang paham betul dengan hadits nabi shallallohu 'alaihi wa sallam "Dunia itu penjaranya orang beriman dan surganya orang kafir" (HR Muslim). Kematian mereka anggap sebagai "Keluar dari penjara". Mereka bahagia dengan kematian disebabkan karena mereka akan segera berjumpa dengan Allah azza wa jalla. Mereka sudah sangat siap dengan kematian itu. Mereka sudah mengumpulkan perbekalan yang banyak meskipun mereka sendiri menganggap bekal mereka masih sangat sedikit.
Akhy, lihatlah Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia menangis pada detik-detik terakhir kehidupannya. Apa yang ia tangiskan? Harta? Ia tak punya harta, ia ahlussuffah. Saat ditanya mengapa ia menangis, ia pun berkata "Alangkah jauhnya perjalanan, alangkah sedikitnya bekal". Subhaanallah! Teladan yang agung. Akhy, di antara kita tidak mungkin ada yang tidak mengenal Abu Hurairah, hampir di setiap hadits-hadits yang engkau baca dan engkau dengar, namanya disebut-sebut. Beliaulah sahabat nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling banyak meriwayatkan hadits. Pahala amal jariyahnya terus mengalir hingga hari kiamat. Namun begitu, masih pula ia mengatakan seperti yang ia katakan tadi.
Bagaimana dengan kita akhy? Jangankan meriwayatkan hadits, menghapal sebuah hadits lengkap dengan sanadnya pun tidak. Dengan bekal seperti inikah kita akan menghadap kepada-Nya? Sungguh kitalah yang paling pantas mengucapkan perkataan "Alangkah jauhnya perjalanan, alangkah sedikitnya bekal".
Waffaqoniallohu wa iyyaakum
(al faqiir ilallooh)
0 komentar:
Posting Komentar