Oleh : Abu Muhammad
Di sebuah negeri antah berantah..
Seorang anak manusia melanjutkan pendidikan di sebuah kota, sebut saja kota
M. Di kota tersebut ia belajar di sebuah
perguruan tinggi. Ia juga diajak masuk
bergabung di sebuah lemabaga dakwah di kampusnya. Bak gayung bersambut, dengan senang hati ia
bergabung.
Waktu terus berlalu dan ia pun tahu dan sadar setelah aktif mengikuti
kajian-kajian islam, bahwa kini ia telah mendapatkan hidayah dari Allah untuk
mengenal manhaj (jalan) yang benar dalam berislam, yakni berislam sesuai
tuntunan rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam serta berdasarkan pemahaman para salafusshalih. Ia telah
berbahagia dengan kehidupannya bersama kawan-kawannya sesama aktifis di kota M
tersebut.
"Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213)
Beberapa tahun berlalu, tak terasa kini ia telah menyelesaikan
studinya. Gelar sarjana telah
diperolehnya. Sebagaimana anggapan dan
kebiasaan banyak orang, “pulang kampung” adalah hal yang “wajib” bagi mereka
yang telah sarjana. Disinilah dilema itu
muncul. Ia tahu betul bahwa kondisi
“kampung”nya tidak kondusif untuk menjaga keimanannya. Padahal di Kota M, ia cukup bisa
mempertahankan stabilitas keimanannya. Di
Kota M, banyak kawannya sesama aktifis, pun banyak tersebar kajian-kajian
keislaman. Namun di sisi lain, ia juga
paham bahwa birrul walidain (berbakti
kepada kedua orang tua) adalah amalan yang agung pahalanya di sisi Allah
subhanahu wa ta’ala. Jika ia ingin
birrul walidain secara langsung berarti ia harus pulang kampung dan itu berarti
akan mengancam keistiqomahannya. Apalagi,
kini orang tuanya telah berharap besar bahwa ia segera pulang kampung.
“Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua
orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku
dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka
janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan
akan Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” [Al-‘Ankabuut
(29): 8]
Ia
sebenarnya telah menyusun rencana kehidupannya di kota M, rencana kehidupan
dunia dan akhirat. Ia kini bingung,
haruskah ia “banting setir”? Yah, di
kampungnya mungkin dijanjikan banyak hal duniawi, di samping ia juga bisa
menyenangkan kedua orang tuanya. Namun di
sisi lain, ia takut bahwa ia tidak bisa istiqomah dan ia khawatir jangan sampai
hidayah yang Allah berikan padanya akhirnya dicabut. Sebenarnya ia merasa kurang PD untuk pulang
kampung. Pun, kalau ia mesti pulang, ia
harus berdakwah. Yah, dengan dakwahlah
ia bisa istiqomah. “Metode pertahanan
terbaik adalah menyerang”. Kini, ia
sedang menunggu takdir terbaik dari Allah untuknya. Semoga Allah memudahkan langkahnya untuk bisa
istiqomah dan juga berbakti kepada orang tuanya. Semoga Allah memberinya taufik untuk bisa
menjejakkan kakinya di surga.
Di atas kapal
Feri, Kamis, 16 Rajab 1435/15 Mei 2014)
0 komentar:
Posting Komentar