Pernahkah Anda tinggal sementara waktu di rumah orang
lain, dengan kata lain numpang?
Bagaimana perasaan Anda? Mungkin
senang karena dilayani segala keperluan.
Atau ada perasaan tidak enak?
Yah, itu kembali pada diri Anda.
Numpang alias bertamu
di dalam islam telah diatur etikanya dengan sejelas-jelasnya. Dalam Kitab Arba’in an-Nawawiyah, disebutkan
sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa beriman kepada
Allah dan hari kiamat, hendaknya ia memuliakan tamunya”. Telah diatur juga, bagi tamu, waktu paling
lama ia berhak mendapat “pelayanan” adalah tiga hari. Lebih dari itu, terserah tuan rumah untuk
menjamu atau tidak, sudah tidak ada lagi kewajiban baginya.
Bertamu di atas tiga hari mungkin lebih tepat
dikatakan numpang tinggal. Numpang,
tentu tidak senyaman tinggal di rumah sendiri.
Apalagi, saat kita numpang, tidak ada ‘kontribusi’ berarti dari
kehadiran kita pada tuan rumah. Beban
mental, mungkin itu yang kita rasakan.
Ingin segera pergi, hajat(kebutuhan) belum selesai. Tetap tinggal pun harus menanggung beban
mental.
Sadarkah kita, bahwa saat ini kita sedang numpang
di bumi milik Allah? Pada hakikatnya
rumah yang akta kepemilikannya tertera nama kita, itu hanya pinjaman dari
Allah. Semua yang “rasanya” kita miliki
hanyalah pinjaman dari Allah. Kapan saja
Allah ingin, Dia berhak mengambil pinjaman itu dari kita. Apapun bentuknya, bisa berupa harta, orang
yang kita cintai, pekerjaan atau apapun itu, bahkan tubuh/fisik kita. Allahu ‘alaa kulli syai’in qodiir[1]. Jadi, karena kita hanya numpang, dan semua
ini adalah pinjaman, kita tidak boleh berbuat seenaknya terhadap
pinjaman-pinjaman itu.
Berbuat sesuatu atas tumpangan dan pinjaman tentu akan
membuat sang pemilik tidak senang.
Begitu juga, jangan sampai kita membuat Allah murka karena kita berbuat
kerusakan di atas muka buminya.
Kerusakan-kerusakan itu adalah semua hal yang tidak disukai Allah,
berupa maksiat dan dosa-dosa. Syirik,
adalah hal paling dibenci Allah dari semua ragam dosa yang ada. Syirik artinya menyekutukan Allah, menganggap
ada sembahan lain yang semisal dengan Allah.
Dalam Surah An-Nisa ayat 48[2],
Allah mengancam tidak akan mengampuni orang-orang yang melakukan kesyirikan.
Selayaknya, kita sadar bahwa kita ini hanya menumpang. Allahlah pemilik semuanya.
(catatan terpotong. saat sedang membuat catatan
ini, tiba-tiba seorang ustadz datang meminta tolong untuk diantar ke
stasiun. Akibatnya, tulisan ini pun
urung dirampungkan. Dan juga sekedar
saran bagi pembaca yang mau belajar menulis artikel ringan, tulislah dalam
sekali duduk saja agar idenya tidak buyar)
Al-Hijaz Depok, 16
Dzulqo’dah 1435/12 September 2014 @ 6.37pm
0 komentar:
Posting Komentar