Copas dari jadilahpenyeru.blogspot.com
Ilmu adalah sesuatu paling mulia yang
disenangi oleh orang yang berminat; sesuatu paling utama yang dicari orang
dengan bersungguh-sungguh; dan sesuatu paling berguna yang didapat oleh orang
yang mau mengusahakannya.
Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu pernah berkata kepada
Kumail, "Camkan apa yang aku katakan
kepadamu. Manusia itu ada tiga macam. Pertama, orang berilmu yang rabbani.
Kedua, orang berilmu yang masih tetap belajar di atas jalan keselamatan. Dan
ketiga, orang jembel yang suka ikut-ikutan. Ia selalu mengikuti ke mana arah
angin. Ia tidak mau berpedoman pada cahaya ilmu, dan tidak berlindung pada
pilar yang kokoh. Sesungguhnya ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu akan
menjaga Anda, sedangkan harta, Andalah
yang harus menjaganya. Ilmu dapat mengembangkan amal,sedangkan harta itu
berkurang karena dibelanjakan. Karya ilmu akan dikenang walaupun yang
bersangkutan telah meninggal dunia, sedangkan karya harta akan hilang bersama
meninggalnya orang yang bersangkutan. Para penyimpan harta itu telah mati
kendatipun sebenarnya mereka masih hidup, sedangkan para ulama akan terus abadi
sepanjang zaman. Meskipun jasad mereka telah tiada, namun
keteladanan-keteladanan mereka tetap bersemayam dalam hati."
Pembicaraan tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan
yang didapat oleh orang yang mencarinya dengan sungguh-sungguh adalah pembicaraan
yang sudah sangat jelas dan tidak kedengaran asing di telinga. Maksud kami
bukan itu. Kami ingin menyoroti ilmu sebagai potensi yang mengandung kekuatan amaliyah
dan sekaligus sebagai sarana yang mampu mengantarkan para ulama kita ke derajat
yang tinggi, terutama di mata Allah. Mereka adalah para pelayan agama dan penyebar
ilmu.
Imam Abul Faraj Al-Jauzi Rahimahullah mengatakan, "Heran aku memikirkan.
Untuk mendapatkan segala sesuatu yang mahal dan sangat penting, jalannya berliku-liku dan membutuhkan banyak jerih payah. Begitu pula
dengan ilmu. Untuk mendapatkan sesuatu yang paling mulia ini, orang harus mau
bersusah payah, begadang, dan meninggalkan berbagai kesenangan nafsu. Ada
seorang ulama ahli fiqih yang mengatakan, 'Selama beberapa tahun aku ingin
sekali memakan bubur harisah, tetapi belum juga kesampaian sebab makanan itu
dijual bersamaan dengan waktu aku harus mendengarkan pelajaran'."
Oleh karena itulah, Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan, "Kebabahagiaan ilmu hanya bisa kamu dapatkan jika kamu mau mengorbankan waktu luang, benar-benar berusaha
mencari, dan disertai dengan niat yang benar."
Indah sekali apa yang dikatakan oleh seorang
penyair:
Katakan
kepada orang yang ingin menggapai hal-hal yang luhur tanpa bersusah payah,
"Kamu
mengharapkan sesuatu yang mustahil"
Seseorang yang bercita-cita ingin meraih
hal-hal yang mulia, ia wajib menempuh dengan tekun dan mencintai jalan-jalan
agama yang menjanjikan kebahagiaan, meskipun pada awalnya sulit untuk menghindari
dari berbagai macam penderitaan dan hal-hal yang tidak menyenangkan. Akan
tetapi, jika ia sanggup mengendalikan nafsunya sehingga tunduk dan bersabar
menghadapi segala kesulitan untuk menuju ke sebuah tempat
yang mulia, ia akan mendapati segala kenikmatan. Seperti yang dikatakan oleh
seorang penyair:
Aku
melihat diriku dibawa oleh kesenangan ke batas yang sangat jauh
Ketika
telah sampai dan aku perhatikan keindahannya,
aku yakin
bahwa aku hanya sedang bermain-main
Untuk mencapai kemuliaan
memang harus mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, dan untuk memperoleh
kebahagiaan itu memang harus melewati jembatan kesusahan. Dan perjalanannya
hanya bisa ditempuh dengan bahtera kesungguhan serta perjuangan.
Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim berkata, "Yahya bin
Abu Katsir mengatakan, 'Ilmu itu tidak bisa didapat dengan memanjakan tubuh'."
Orang bijak mengatakan, "Siapa mencari
kesenangan, dia harus meninggalkan kesenangan."
Seandainya semua orang
tahu betapa manis kenikmatan ilmu dan betapa besar nilainya, tentu mereka akan
berjuang mendapatkannya meskipun harus saling pukul memukul dengan menggunakan
pedang. Akan tetapi, manisnya ilmu itu dikelilingi oleh dinding-dinding yang
tidak menyenangkan. Dan mereka disekat dengan sekat-sekat kebodohan sehingga
secara khusus Allah hanya memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki
diantara hamba-hamba-Nya. Allah adalah pemilik karunia yang agung.
Imam Asy-Syafi'i Rahimahullah mengatakan, "Seorang penuntut ilmu yang ingin
memperbanyak ilmunya, ia wajib mengerahkan segenap jerih payahnya, sabar
menghadapi segala kesulitan yang menghadang, ikhlas niat karena Allah dalam
mencari ilmu-Nya,
dan selalu memohon pertolongan Allah."
Seorang penyair mengatakan:
Jangan
kamu kira kemuliaan itu seperti korma yang siap kamu makan
karena
kamu tidak akan mendapatkannya tanpa melewati kesabaran
Untuk mendapatkan ilmu, para ulama harus
menghadapi berbagai macam kesulitan dan penderitaan. Imam Ibnu Hisyam, seorang
ulama ahli ilmu nahwu yang cukup terkenal, penulis kitab Al-Qathar, Al-Mughni, dan kitab-kitab
lainnya, berpesan kepada para penuntut ilmu
supaya sabar menghadapi berbagai kesulitan untuk mendapatkan ilmu karena sabar
adalah syarat memperoleh sesuatu yang mulia dan mahal nilainya. Ia mengatakan:
Siapa yang
bersabar untuk ilmu, ia akan memperolehnya
Siapa
ingin meminang gadis cantik, ia harus sabar untuk berkorban
Siapa
mencari keluhuran namun tidak mau sabar mengatasi nafsu sebentar saja,
selamanya ia akan hidup terhina
Seorang musafir yang ingin menempuh perjalanan
dan sampai ke tempat tujuan, ia harus memiliki
kesungguhan serta semangat yang kuat, termasuk berjalan pada malam hari. Jika
ia menyimpang dari jalan yang sedang ditempuhnya atau tidur semalam suntuk,
kapan ia sampai ke tempat tujuannya?
Siapa
ingin dapat harus giat
dan malas
adalah kegagalan
Siapa
bersusah payah
ia akan
segera mendapat puncak harapan
Oleh karena itu, Anda harus
bersungguh-sungguh, wahai orang yang sedang menuntut ilmu. Niscaya Anda akan
berhasil karena masalahnya adalah seperti yang dikatakan oleh Ibnu Al-Junaid,
"Siapapun yang mencari sesuatu dengan sungguh-sungguh dan benar, niscaya
ia akan mendapatkannya. Seandainya ia tidak mendapatkan seluruhnya, paling
tidak ia akan mendapatkan sebagiannya."
Berikut adalah tanda-tanda
sifat orang yang bercita-cita tinggi dalam menuntut ilmu:
·
Tidak membuang-buang waktu
untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya.
·
Memiliki minat yang besar.
·
Antusias terhadap semua
peluang yang dapat menghasilkan ilmu.
·
Rajin mencari tanpa kenal lelah
dan tidak merasa bosan atas lamanya jarak perjalanan yang harus ditempuh.
·
Menjaga lidah agar jangan
sampai mudah mengucapkan sesuatu yang sia-sia dan mengandung kebodohan. Dikarenakan
sedang menekuni kebenaran, maka harus berpaling dari kebatilan.
Apa yang telah dicontohkan oleh para Salafus-Shalih dalam menuntut ilmu, menyebarkannya, dan
menyusunnya, sungguh mengagumkan. Demi semua itu mereka rela menghabiskan
waktu dan melewatkan masa muda mereka. Akibatnya, mereka berhasil meraih
prestasi dan reputasi yang mencengangkan. Cobalah perhatikan perilaku-perilaku
mereka, ikuti petunjuk mereka, dan turuti jejak langkah mereka.
Seorang penyair mengatakan:
Ceritakan
padaku tentang mereka, wahai Sa'ad
Biar aku
semakin mencintai mereka
Berceritalah
terus padaku, wahai Sa'ad
Seorang penyair lain mengatakan:
Ulangi
terus cerita tentang mereka, wahai Hadi
Kerena
cerita tentang mereka
amat
menyejukkan hatiku yang dahaga
******
(1)
CITA-CITA
TINGGI SALAFUS SHALIH DALAM MENUNTUT ILMU YANG MULIA
Ilmu adalah karya dan aktivitas hati. Jika
Anda tidak mau meluangkan waktu untuk ilmu, tentu Anda tidak akan
mendapatkannya. Dan jika Anda arahkan diri Anda pada kesenangan-kesenangan
nafsu, Anda akan jauh dari ilmu. Orang yang lebih mengutamakan kesenangan
nafsunya daripada kenikmatannya mendapatkan ilmu, selamanya ia tidak akan
mendapatkan derajat ilmu. Akan tetapi, jika ia bisa membayangkan nikmatnya
mendapatkan ilmu, ia masih punya harapan untuk menjadi anggota keluarga besar
orang-orang yang berilmu. Itulah sebabnya kenapa para ulama kita dahulu begitu antusias dalam menuntut dan menghimpun ilmu.
Antusiasme mereka sungguh tidak ada bandingannya. Berikut ini adalah beberapa
contohnya:
Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu berkata, "Pada suatu
hari aku sedang bersama seorang tetanggaku bernama Aus bin Khawali Al-Anshari dari Bani Umayyah bin Zaid. Kami bergantian menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ia menemui beliau pada suatu hari, dan pada hari berikutnya giliran aku yang menemui
beliau. Begitu seterusnya. Selesai bertemu beliau, aku datang menemuinya
dengan membawa berita hari itu tentang wahyu dan yang lainnya. Demikian pula
yang ia lakukan padaku."
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata,
"Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam telah wafat, pada suatu
hari aku berkata kepada seorang shahabat Anshar, 'Mari kita menemui
shahabat-shahabat Rasulullah. Sesungguhnya pada
hari ini mereka cukup banyak.' Ia berkata, 'Aku heran pada Anda, wahai Ibnu
Abbas! Anda lihat sendiri orang-orang sedang membutuhkan Anda dan di antara
mereka terdapat shahabat-shahabat Rasulullah. Jadi siapa di antara mereka yang
akan Anda temui?' Aku tidak menghiraukan hal itu. Aku lalu berangkat untuk
bertanya kepada shahabat-shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Setiap kali
aku mendengar orang yang punya hadits, langsung aku datangi rumahnya. Jika ia sedang
tidur siang, aku rela menunggu di depan pintunya, duduk berbantalkan
sorbanku.
Aku tidak peduli dengan tiupan angin yang menaburkan debu pada wajahku.
Begitu ia keluar dan melihat aku, ia berkata, 'Wahai sepupu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, mengapa Anda datang? Kenapa Anda
tidak suruh orang lain mengundangku saja? Pasti aku akan datang kepada Anda.' Aku berkata, 'Tidak. Akulah yang harus
datang kepada Anda.' Aku kemudian bertanya kepadanya tentang hadits. Orang Anshar itu diam-diam mengikuti aku. Melihat aku sedang
dikerumuni oleh banyak orang yang ingin bertanya kepadaku ia berkata, 'Benar.
Anak muda itu lebih pintar daripada aku'."
Ketika beberapa negara
telah berhasil ditaklukkan oleh kaum Muslimin, Ibnu Abbas lebih
memilih kehausan oleh udara yang panas karena harus menelusuri jalan-jalan kota
Madinah demi mencari ilmu, daripada bernaung
di bawah pohon taman-taman di Syiria, atau di tepi-tepi Sungai Nil, Sungai
Tigris, dan Sungai Efrat.
Ibnu Abbas bercerita, "Ketika
beberapa kota berhasil ditaklukkan oleh pasukan Islam, orang-orang sama mencari
harta dunia, sedangkan aku memilih menemui Umar Radhiyallahu Anhu."
Setiap
anak manusia itu punya keinginan
Dan
keinginanku ialah sehat dan punya waktu luang
guna
mendapatkan ilmu syari'at sebagai bekal ke surga
Untuk hal
seperti itulah seharusnya orang-orang yang berakal saling berlomba
Bagiku,
dunia adalah bekal yang menipu
dan
kebahagiaan sejati itu ada di surga yang abadi tempat segala kenikmatan tak
terbatas
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu bercerita tentang
kegigihannya dalam menuntut ilmu. Ia mengatakan, "Aku biasa datang ke rumah Ubai bin Ka'ab. Ketika ia
sedang tidur, aku rela menunggunya sambil tidur di depan pintunya. Melihat kedudukanku
sebagai kerabat dekat Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam, aku yakin ia
tidak akan marah jika dibangunkan karena kedatanganku. Akan tetapi, aku tidak mau membuatnya
bosan."
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu juga pernah mengatakan, ''Aku sangat dekat
dengan beberapa shahabat Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang senior, baik dari golongan Muhajirin maupun golongan
Anshar. Aku sering bertanya kepada mereka tentang peperangan-peperangan yang
diikuti oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam, dan juga tentang ayat-ayat Al-Qur'an yang menerangkan hal
itu. Aku berusaha menemui siapapun dengan cara menyamar. Hal itu demi
menjaga perasaannya, mengingat aku adalah termasuk kerabat dekat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Pada suatu
hari aku bertanya kepada Ubai bin Ka'ab, seorang yang mempunyai ilmu cukup
mendalam tentang surat-surat Al-Qur'an yang diturunkan di Madinah. Dan ia menjawab,
'Yang diturunkan di Madinah ada dua puluh tujuh surat, dan sisanya diturunkan
di Makkah'."
Asy-Syafi'i
Rahimahullah mengatakan, "Aku hapal Al-Qur'an dalam
usia tujuh tahun dan aku hapal kitab Al-Muwatha'
ketika berusia sepuluh tahun."
Asy-Syafi'i Rahimahullah
mengatakan, "Setelah mengkhatamkan Al-Qur'an, aku masuk masjid
dan bertemu dengan beberapa orang ulama. Begitu mendengar hadits atau masalah
yang lain, aku langsung hapal. Ibuku
tidak punya uang yang bisa ia berikan padaku untuk membeli kertas. Maka begitu
melihat tulang yang bisa digunakan untuk menulis, aku ambil dan aku gunakan
untuk menulis. Dan jika sudah penuh aku simpan tulang itu ke dalam guci kuno
milik keluargaku."
Asy-Syafi'i Rahimahullah
juga mengatakan, "Aku tidak punya uang ketika aku sedang
menuntut ilmu pada usia yang masih sangat muda, yaitu kurang dari tiga belas
tahun. Aku biasa pergi ke kantor pemerintahan untuk minta kertas-kertas bekas
yang masih bisa aku gunakan untuk menulis pelajaran."
Ibnu Abu
Hatim berkata, "Aku pernah mendengar Al-Muzani mengatakan, 'Asy-Syafi'i
ditanya, 'Bagaimana kesenangan Anda terhadap ilmu?' Ia menjawab, 'Setiap kali
mendengar satu kalimat yang belum pernah aku dengar, seluruh anggota tubuhku
merasakan nikmat. Seolah-olah semua bisa mendengar seperti sepasang telinga.'
Asy-Syafi'i ditanya, 'Bagaimana kelobaan Anda terhadap ilmu?' Ia menjawab,
'Seperti seorang materialis yang serakah ketika melihat peluang mendapatkan
harta yang banyak.' Asy-Syafi'i juga ditanya, 'Bagaimana keadaan Anda dalam
mencari ilmu?' Ia menjawab, 'Seperti seorang ibu yang mencari putra
satu-satunya yang hilang'."
Muhammad
bin Salam adalah guru Imam Al-Bukhari. Pada suatu hari ketika Al-Bukhari sedang
tekun menulis hadits yang didiktekan oleh sang guru, tiba-tiba pena yang ia
gunakan patah. Ketika sang guru berseru agar mengganti pena. Maka
beterbanganlah beberapa pena ke arah Al-Bukhari.
Imam Ahmad
bin Hanbal Rahimahullah mengatakan,
"Orang pertama yang mendiktekan hadits kepadaku adalah Abu Yusuf." Selanjutnya,
Imam Ahmad bin Hanbal menerima hadits di Baghdad mulai tahun 179 Hijriyah
sampai tahun 186 Hijriyah. Ia pernah sangat dekat dengan Husyaim bin Basyir bin
Abu Hazim Al-Wasithi, seorang ulama ahli hadits dan atsar di Baghdad, selama
empat tahun. Ia juga biasa mendengar hadits dari Abdurrahman bin Mahdi dan Abu
Bakar bin Iyasy. Ia adalah orang yang terkenal sangat gigih, tekun, dan rajin
dalam mencari ilmu. Menceritakan tentang dirinya ia berkata, "Terkadang
pagi-pagi sekali aku sudah ingin mendengarkan hadits. Ibuku mencegah dengan
memegangi pakaianku." Ia juga mengatakan, "Begitu punya uang sebanyak
lima puluh dirham, aku langsung pergi menemui Jarir bin Abdul Humaid."
Sufyan
Ats-Tsauri Rahimahullah mengatakan,
'Jika aku hendak menuntut ilmu, aku katakan, 'Ya Tuhanku, aku harus punya
penghidupan.' Dan setiap kali melihat ilmu yang harus dipelajari, aku katakan,
'Ya Tuhanku, berikanlah keleluasaan padaku untuk mendapatkannya. Dan tolong
berikan aku bekal yang cukup'."
Begitu
besar tekad Sufyan Ats-Tsauri dalam menuntut ilmu sehingga mendorong ibunya
bersedia membiayainya. Dengan tulus sang ibu berkata, "Wahai putraku,
carilah ilmu. Biarkan aku yang akan mencukupimu dengan uang hasil
tenunanku." Selain belajar ilmu dari beberapa orang guru, ia juga belajar
kepada siapa saja yang punya ilmu.
Begitu
tinggi perhatian dan semangat Sufyan Ats-Tsauri dalam menuntut ilmu.
Diceritakan oleh Abu Nu'aim, "Setiap kali bertemu dengan seorang guru, ia
akan bertanya, 'Apakah Anda mendengar suatu ilmu?' Jika jawabannya 'Tidak,' ia
berkata, 'Semoga Allah membalas jasa baik Anda kepada Islam'."
Di antara
bukti betapa besar perhatian Sufyan Ats-Tsauri terhadap ilmu ialah
pernyataannya, "Orang yang merasa tidak suka anaknya mencari hadits, ia
layak untuk dimintai tanggung jawabnya di akhirat nanti."
Ternyata
perhatian Sufyan Ats-Tsauri terhadap ilmu tidak hanya sekedar mencarinya saja,
melainkan juga mengamalkannya. Ia bersemangat sekali menyebarluaskan ilmu dan
menyerukannya kepada masyarakat.
Diceritakan
oleh Abu Nu'aim, "Sesungguhnya Sufyan Ats-Tsauri pernah mengatakan,
'Selain amal-amal fardhu, amal yang paling utama ialah menuntut ilmu.' Dan ia juga
pernah mengatakan, 'Aku akan terus
mempelajari ilmu selama aku masih mendapati orang yang mau mengajarkannya kepadaku'
."
Tsa'labah mengatakan, "Selama kira-kira lima puluh
tahun, satu kalipun aku tidak pernah melihat Ibrahim Al-Harbi absen dalam
majelis bahasa."
Al-Hafizh Adz-Dzahabi menuturkan tentang biografi Abu Hatim Ar-Razi alias
Muhammad bin Idris yang wafat tahun 277 Hijriyah, "Sesungguhnya Abu Hatim
pernah berkata kepadaku, 'Aku tidak pernah melihat orang yang begitu antusias dalam mencari hadits melebihi Anda.'
Aku katakan, 'Putraku Abdurrahman lebih antusias lagi.' Mendengar jawabanku
itu, ia berkata, 'Siapa yang menyerupai ayahnya, ia tidak berbuat
aniaya'."
Ar-Rammam alias Ahmad bin Ali, salah seorang tokoh sanad hadits, berkata,
''Aku bertanya kepada Abdurrahman tentang prestasinya yang luar biasa
itu. Dan ia menjawab, 'Terkadang sambil makan pun ayahku membacakan hadits
padaku. Sambil berjalan pun ayahku membacakan hadits padaku. Ketika sedang
berada di dalam jamban pun ayahku sempat membacakan hadits padaku. Bahkan,
ketika masuk rumah untuk mencari sesuatu pun ayahku masih sempat membacakan
hadits padaku'."
Tidak heran jika semangat menuntut ilmu yang sangat langka tersebut
membuahkan hasil karya yang sangat besar. Di antaranya ialah:
1)
Kitab Al-Jarhu wa Al-Ta'dil sebanyak sembilan jilid, kitab yang sangat bagus, yang sarat dengan ilmu.
2)
Kitab Al-Tafsir sebanyak beberapa jilid.
3)
Dan
kitab Al-Musnad sebanyak seribu juz.
Adz-Dzahabi Rahimahullah berkata,
"Ali bin Ahmad Al-Khawarzami berkata, 'Ibnu Abu Hatim berkata, 'Aku
tinggal di Mesir selama tujuh bulan. Kami tidak pernah makan kuah. Siang hari
aku gunakan buat berkeliling ke para guru. Sementara malam harinya
aku gunakan buat menulis naskah dan mencari perbandingan. Pernah pada suatu
hari aku dan temanku mendatangi seorang guru. Lalu orang-orang berkata, 'Ia
sakit.' Ketika pulang kami melihat seekor ikan besar. Kami lalu membelinya
untuk dimasak. Akan tetapi, sesampai di rumah tiba waktunya kami harus belajar
kepada seorang guru. Selama tiga hari kami biarkan ikan tersebut sehingga
hampir membusuk. Akan tetapi, kami tetap memasak dan memakannya juga, meskipun
rasanya sangat tidak nikmat. Kemudian, temanku itu berkata, 'Ilmu itu tidak
bisa didapat dengan memanjakan jasmani'."
Seandainya
tidak ada tiga hal,
cintaku
padanya tidak terbendung lagi,
yaitu
mencari riwayat hadits, menulisnya, dan mendalaminya Bagiku, ketiganya
merupakan cinta yang menjanjikan petunjuk
Imam Sulaim bin Ayyub Ar-Razi, salah seorang imam besar madzhab Syafi'i
yang wafat tahun 447 Hijriyah, merupakan
orang yang sangat menghargai waktu. Ia tidak mau menyia-nyiakannya untuk
hal-hal yang tidak berfaidah. Abul Faraj Ghaits bin Ali At-Tanukhi Ash-Shuri
mengatakan, "Aku mendapatkan cerita tentang Sulaim bin Ayyub Ar-Razi. Ia
adalah orang yang sangat menghargai waktu. Ia tidak mau membiarkan waktu
berlalu barang sebentar pun tanpa ada gunanya sama sekali; mungkin untuk
menulis, untuk belajar, untuk membaca, dan lain sebagainya. Syaikh Abul Faraj
Al-Isfirayini, salah seorang muridnya, bercerita kepadaku bahwa pada suatu hari
Sulaim bin Ayyub Ar-Razi datang ke rumahnya. Ketika hendak pamit pulang ia
berkata, 'Dalam perjalanan ke sini tadi aku berhasil membaca satu juz'."
Mu'ammal bin Husain juga bercerita kepadaku bahwa pada suatu hari ia
melihat Sulaim sedang memperbaiki penanya yang patah ketika sedang dipakai untuk
menulis, sementara sepasang bibirnya nampak bergerak-gerak. Belakangan ketahuan
bahwa ketika memperbaiki penanya tadi ia tetap membaca. Rupanya ia tidak mau
membiarkan ada waktu kosong yang berlalu begitu saja.
Ibnu Nashir Al-Hafizh menyifatkan Abu Thahir As-Salafi dengan mengatakan,
"Semangatnya dalam mendapatkan ilmu adalah laksana nyala api."
Khalil bin Ahmad Al-Farahidi Rahimahullah mengatakan, "Saat-saat paling berat bagiku ialah saat harus
makan."
Utsman Al-Baqilawi adalah orang yang sangat rajin berdzikir mengingat
Allah Ta'ala. Ia mengatakan,
"Pada waktu berbuka (puasa) rohku seakan-akan terasa keluar karena aku
harus makan dan berhenti berdzikir."
Ammar bin Raja' mengatakan, ''Aku pernah mendengar Ubaid bin Ya'isy
mengatakan, 'Selama tiga puluh tahun pada waktu malam aku tidak sempat makan
dengan menggunakan tanganku. Adik perempuankulah yang menyuapi aku, ketika aku
sedang asyik menulis hadits'."
Daud Ath-Tha'i adalah orang yang suka menelan remukan roti. Ia pernah
mengatakan, "Selama menelan remukan roti dan memakan rotinya aku berhasil
membaca lima puluh ayat Al-Qur'an."
Imam Ibnu Aqil Rahimahullah mengatakan,
"Saat-saat paling menyiksa aku ialah saat-saat ketika aku harus makan.
Sampai-sampai aku memilih memakan sepotong kue saja yang segera aku susuli
dengan air supaya tidak banyak menyita waktu karena masih banyak hal-hal bermanfaat
yang harus aku kerjakan."
Bahkan,
ada seorang ulama yang merasa sangat sedih sehingga jatuh sakit gara-gara ia
terlambat mendapatkan suatu ilmu.
Ketika Syu'bah mendengar orang-orang menuturkan sebuah hadits yang belum
pernah didengarnya, ia berkata, "Aduh, menyedihkan sekali!" Ia
merasa sangat menyesal sehingga jatuh sakit.
Pada suatu
hari seseorang bertanya kepada Asy-Syu'bi, "Dari mana Anda dapatkan semua
ilmu ini?" Syu'bah menjawab, "Dengan cara membuang sikap malas,
rajin mencari ke mana-mana, bersabar seperti kesabaran seekor keledai, dan
dengan sangat cekatan seperti cekatannya seekor burung gagak."
Di antara
bukti betapa mereka itu sangat antusias terhadap ilmu dan majelis-majelisnya
ialah lalu lalangnya mereka dengan tergesa-gesa di jalan-jalan, seperti yang
Anda lihat sendiri sehingga mereka itu seperti orang-orang gila. Oleh karena
itu, Syu'bah Rahimahullah pernah
mengatakan, "Setiap kali melihat ada orang yang berjalan bolak-balik
dengan tergesa-gesa, aku yakin ia adalah orang gila atau orang yang sedang
sibuk mencari hadits."[1]
Abdurrahman
bin Taimiyah mengutip cerita ayahnya, "Kakekmu kalau masuk ke dalam
jamban, ia berkata kepadaku, 'Bacalah kitab ini dengan suara keras, biar aku
bisa mendengarnya dari dalam'."
Al-Allamah
Abul Ma'ali alias Mahmud Syukri Al-Alusi Al-Baghdadi adalah seorang ulama besar
yang terkenal sangat gigih dalam berusaha dan juga sangat menghargai waktu. Ia
tidak mau absen memberikan pelajaran hanya gara-gara udara sangat panas atau
sangat dingin. Ia tidak segan-segan mengkritik, menegur, memarahi, bahkan
berlaku keras kepada murid-muridnya yang terlambat sekolah karena alasan yang
dianggapnya sepele seperti itu. Salah seorang muridnya yang bernama Bahjat Al-Atsri
menceritakan pengalamannya, ''Aku ingat, pernah pada suatu hari aku tidak masuk
sekolah karena terhalang oleh hujan lebat disertai angin kencang yang
menyebabkan jalanan menjadi becek. Dan aku yakin bahwa beliau juga absen
mengajar. Akan tetapi, pada hari berikutnya beliau mengatakan, "Tidak ada
kebaikan sama sekali pada orang yang dikalahkan oleh udara panas atau
dingin."
Al-Allamah
Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi Rahimahullah,
seorang ulama ahli Al-Qur'an, mengatakan, "Pernah aku datang
kepada seorang guru untuk belajar. Sebelumnya beliau tidak pernah mengenalku.
Beliau bertanya siapa aku dan apa tujuanku. Setelah memperkenalkan identitasku
serta asal usulku, dengan tegas aku jawab bahwa aku bermaksud ingin belajar
ilmu nahwu kepada beliau."
Muhammad
Al-Amin Asy-Syinqithi Rahimahullah menuntut
ilmu semenjak kecil. Ia mempelajari berbagai disiplin ilmu dari beberapa orang
guru. Hal itu karena ia terdorong oleh keinginannya yang kuat dan cita-citanya
yang tinggi untuk bisa mendapatkan banyak ilmu serta menguasainya dalam waktu
yang sesingkat mungkin.
Salah satu
contoh yang membuktikan betapa ketika masih muda ia sudah menaruh perhatian
yang sangat besar terhadap ilmu ialah pengalamannya ketika sedang dalam
perjalanan menunaikan ibadah haji. Ia mengatakan, "Dikarenakan terlalu
sibuk mencari ilmu, aku jadi tidak sempat memikirkan keinginan untuk menikah
karena menurutku hal itu bisa menggangguku. Aku pernah ditawari oleh seorang
temanku untuk menikah dengan seorang wanita yang cukup cantik. Sebenarnya aku
merasa tertarik padanya dan mau menikahinya, dengan syarat ia mau sabar
menunggu aku yang sedang menuntut ilmu. Akan tetapi, mungkin karena terlalu
lama wanita tersebut menjadi putus asa dan tidak sabar. Akhirnya, ia memilih
menikah dengan seorang hartawan. Aku terima kenyataan itu dengan lapang dada.
Aku tidak kecewa karena aku memang belum puas menuntut ilmu. Pada suatu hari
seorang teman berkata kepadaku, 'Menikahlah sebelum terlanjur tua. Saat ini
banyak wanita cantik dari keturunan orang baik-baik yang masih mau menikah
denganmu.' Temanku itu bermaksud supaya aku tergesa-gesa menuntut ilmu. Dan
sebagai jawabannya, aku menulis bait-bait sya'ir."
Orang-orang
itu menasihati aku untuk menikah besok pagi
Mereka
bilang padaku, menikahlah dengan seorang wanita yang genit,
menawan
kerlingannya, anggun, periang, dan lembut
Nanti kamu
akan menemukan selaksa nikmat
Kerlingannya
laksana anak panah yang menembus hati yang luka
Bagiku itu
biasa
Akan
tetapi, berapa banyak terjadi anak panah
yang telah
membunuh seorang pasukan yang lemah
dan tak
bersenjata seperti diriku ini?
Makanya
aku katakan kepada mereka,
"Biarkan
sajalah aku karena saat ini hatiku masih bingung dan menjerit"
Aku masih
asyik dengan wanita pujaanku
yang
parasnya berkilau seakan-akan pagi yang cerah
Aku
melihat ia begitu cantik dengan pakaiannya yang sangat anggun
Aku masih
enggan berpikir untuk meninggalkannya
demi
menikahi wanita yang kalian tawarkan kepadaku itu
* * *
(2)
CITA-CITA
TINGGI MEREKA MEMBACA KITAB-KITAB HADITS DALAM WAKTU YANG SANGAT SINGKAT
Disebutkan dalam biografi Al-Fairuz Abadi, penulis Al-Qamus,
di Damaskus ia membaca kitab Shahih
Muslim hanya dalam waktu tiga hari.
Pengalaman itu ia tulis dalam sya'ir:
Dengan
bersyukur kepada Allah,
aku baca
Jami' Muslim di Damaskus
Di hadapan
Nashiruddin Al-Imam bin Juhail,
seorang Al-hafizh
yang terkemuka dan terkenal
Dan berkat
taufik Allah, selesai selama tiga hari
Al-Hafizh Abul Fadhel Al-Iraqi membaca kitab Shahih Muslim di hadapan Muhammad bin Ismail AI-Khabbaza di Damaskus dalam enam majelis secara
berturut-turut. Lebih dari sepertiga bagian kitab tersebut ia baca pada majelis
yang terakhir, di hadapan Al-Hafizh Zainuddin bin Rajab. Disebutkan dalam Tarikh Al-Dzahabi tentang biografi Ismail bin Ahmad Al-Hairi An-Naisaburi bahwa di Makkah Al-Khathib
Al-Baghdadi membacakan Shahih
Al-Bukhari kepadanya dalam tiga
majelis; dua majelis di antaranya diselenggarakan dalam dua malam secara
berturut-turut. Ia mulai membacanya selepas shalat maghrib dan selesai
menjelang shalat shubuh. Sementara majelis yang ketiga diselenggarakan sejak
pagi hari sampai waktu terbit fajar. Komentar Adz-Dzahabi, "Pada
zamanku, aku tidak pernah melihat seorang pun yang sanggup melakukan hal
tersebut."
Al Hafizh
As-Sakhawi mengatakan, "Apa yang berhasil dilakukan oleh guru kami
AI-Hafizh Ibnu Hajar lebih hebat dari apa yang dilakukan oleh gurunya.
Betapa tidak. Ia pernah membaca Shahih
Al-Bukhari hanya dalam waktu empat puluh jam, Dan dia membaca Shahih Muslim dalam empat majelis, selain
majelis takhtim selama dua hari
lebih sedikit. Ia juga berhasil membaca Sunan
Abi Daud dalam empat majelis, dan membaca Al-Nasa'i Al-Kabir dalam sepuluh majelis, yang setiap majelis
berlangsung selama kurang lebih empat jam." Selanjutnya, As-Sakhawi
mengatakan, "Hebatnya lagi, dalam lawatannya di Syiria Ibnu Hajar pernah
membaca Mu'jam Ath-Thabarani Al-Shaghir hanya
dalam satu majelis yang berlangsung sangat singkat, yakni selepas shalat zhuhur
hingga menjelang shalat ashar. Padahal kitab yang hanya terdiri dari satu jilid
tersebut memuat sekitar seribu lima ratus hadits."
* * *
(3)
CITA-CITA
TINGGI MEREKA DALAM PERGI MERANTAU MENCARI ILMU
Al-Bukhari
Rahimahullah mengatakan, "Jabir
bin Abdullah pergi menempuh perjalanan selama satu bulan menemui Abdullah bin
Anis hanya demi mendapatkan satu riwayat hadits."
Abu Ayyub Al-Anshari meninggalkan Madinah menemui
Uqbah bin Nafi' yang tinggal di Mesir, dengan tujuan untuk mendengarkan satu
riwayat hadits. Begitu tiba di Mesir, ia langsung turun dari untanya tanpa
menambatkannya terlebih dahulu. Dan selesai mendengar satu riwayat hadits dari
Uqbah, ia langsung pulang kembali ke Madinah.
Imam Malik
berkata-seperti yang dikutip oleh Yahya bin Sa'id-, "Sa'id bin Al-Musayyab
mengatakan, 'Selama beberapa hari dan beberapa malam aku pernah bepergian hanya
untuk mencari satu hadits'."
Abul
Aliyah alias Rufai' bin Mihran Ar-Rayyahi Al-Bashari mengatakan, "Ketika
berada di Bashrah, kami mendengar riwayat hadits dari beberapa shahabat
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Akan
tetapi, kami masih harus pergi ke Madinah karena merasa belum puas kalau kami
tidak mendengarnya langsung dari mulut-mulut mereka,"
Al-Hafizh
Ibnu Katsir dalam biografi Imam Al-Bukhari Rahimahullah
mengatakan, "Sedapat mungkin Al-Bukhari berusaha untuk pergi
menemui guru-guru haditsnya yang lain, yang tersebar di berbagai negara. Ia
menulis hadits lebih dari seribu orang guru." Bahkan, menurut Al-Firabri,
''Ada kurang lebih tujuh puluh ribu orang yang pernah mendengar Shahih Al-Bukhari langsung dari Al-Bukhari,
termasuk aku. Akan tetapi, tidak ada seorang pun dari mereka yang masih hidup
selain aku."
Yang cukup
mencengangkan tentang cita-cita tinggi dalam mencari dan mendapatkan ilmu ialah
apa yang pernah dilakukan oleh Ar-Razi. Ia menceritakan pengalamannya,
"Ketika pertama kali pergi merantau mencari ilmu, usiaku baru tujuh tahun.
Aku telah berjalan kaki lebih dari seribu farsakh. Dari Bahrain ke Mesir aku
tempuh dengan berjalan kaki. Lalu perjalanan aku lanjutkan ke Ramlah, kemudian
ke Tharsus juga dengan berjalan kaki. Usiaku waktu itu sekitar dua puluh
tahun."
Akan aku
jelajahi semua negeri untuk mencari ilmu
Atau aku
akan mati sebagai orang asing
Jika
diriku harus mati, aku tidak menyesal karena Allah pasti merahmati aku
Tetapi
jika diriku selamat,
aku akan
segera kembali
Ilmu yang
tersebar di Maroko dan Andalusia, jelas tidak terlepas dari jasa tokoh-tokoh
ulama yang pergi merantau ke Timur dengan mengalami berbagai macam tantangan
dan kesulitan, seperti, Asad bin Al-Farat, Abul Walid Al-Baji, dan Abu Bakar
bin Al-Arabi.
* * *
(4)
DEMI
MENCARIILMU MEREKA RELA MENDERITA
Kitab-kitab
sastra, biografi, sejarah, dan akhlak banyak menjelaskan tentang pengalaman
beberapa ulama. Tentang kemiskinan, kesepian, dan kesabaran mereka dalam
menghadapi berbagai kesulitan yang mencekik. Walaupun demikian, hal itu mereka
anggap sebagai ujian yang masih ringan dan tidak perlu begitu dipedulikan
karena mereka yakin mendapatkan balasan tersendiri dari kesabaran mereka
sebagai orang-orang yang beruntung.
Ada di antara mereka yang menganggap bahwa kemiskinan adalah teman
akrabnya yang tidak mungkin bisa ia tinggalkan begitu saja sehingga hal itu
justru ia nikmati. Ia menulis sya'ir:
Aku
bertanya kepada kemiskinan,
"Di
mana kamu berada?"
Ia menjawab, "Aku berada di sorban para
ulama. Mereka adalah saudaraku
yang tidak
mungkin aku tinggalkan begitu saja"
Imam Syafi'i Rahimahullah, misalnya, ia menganggap sepele kemiskinan karena ia sanggup mengatasi masalah
tersebut dengan kesabarannya. Ia menulis sya'ir:
Aku tak
peduli diguyur hujan di bawah kolong langit Sarandib[2]
Aku pun tak peduli dicampakkan ke
belantara Tukrura[3]
karena selama masih hidup aku
tidak akan takut kelaparan
Dan kalau harus mati, aku tidak
akan kehilangan kubur
Cita-citaku adalah cita-cita Raja
dan semangatku adalah semangat
orang merdeka
yang melihat kenistaan sebagai
kekufuran[4]
Umar bin Hafesh Al-Asyqar bercerita, "Selama beberapa hari kami tidak
mendapati Al-Bukhari
menulis hadits di Bashrah. Setelah dicari ke mana-mana, akhirnya kami
mendapatinya berada di sebuah rumah dalam keadaan telanjang. Ia sudah tidak
punya apa-apa. Atas dasar musyawarah, kami berhasil mengumpulkan uang beberapa
dirham, lalu kami belikan pakaian untuk dipakainya. Selanjutnya, ia mau
bersama-sama kami lagi meneruskan penulisan hadits."
Imam Malik
Rahimahulah berkata, "Hal
itu tidak bisa dicapai sebelum merasakan getirnya kemiskinan."
Ibnul
Qayyim Rahimahullah berkata,
"Demi membiayai tujuan mencari hadits, Imam Malik sampai mencopot atap
rumahnya, lalu papannya ia jual untuk membiayainya."
Yahya bin
Mu'in Rahimahullah diberi
warisan uang sebanyak sejuta dirham, yang kemudian ia gunakan semuanya untuk
biaya mendapatkan hadits, sampai-sampai sandal pun ia sudah tidak punya.
Abu Hatim
mengatakan, "Ketika sedang mencari hadits, keadaanku benar-benar sangat
memprihatinkan karena tidak mampu membeli sumbu lampu. Pada suatu malam aku
terpaksa keluar ke tempat ronda yang terletak di mulut jalan. Aku belajar
dengan menggunakan lampu penerangan yang dipakai oleh tukang ronda. Dan
terkadang kalau ia tidur, aku yang menggantikannya."
* * *
(5)
MEREKA RELA MENDERITA LAPAR
DAN SAKIT KERAS YANG MENGANCAM JIWA DALAM MENUNTUT ILMU
Imam Abu
Hatim Rahimahullah menceritakan
sekelumit pengalamannya ketika ia sedang merantau menuntut ilmu. ia mengatakan,
"Sepulang dari rumah Daud Al-Ja'fari di Madinah, aku, Abu Zuhair Al-Maruzi
yang sudah cukup tua, dan An-Naisaburi langsung menuju ke pantai. Kami bertiga
mengarungi lautan. Angin dingin menerpa wajah kami. Kami berada di tengah
lautan selama tiga bulan. Kami sangat menderita karena kami sudah hampir kehabisan bekal. Setelah sampai di daratan, kami
harus berjalan kaki selama berhari-hari. Sementara bekal kami termasuk air
sudah habis sama sekali. Selama sehari semalam kami berjalan kaki terus tanpa
ada yang kami makan dan kami minum. Begitu pula dengan hari kedua dan hari
ketiga. Setiap hari kami berjalan kaki sampai malam. Jika tiba waktu sore, kami
berhenti untuk menunaikan shalat. Kami tidur di sembarang tempat. Tubuh kami
lemas sekali karena menanggung rasa lapar, haus, dan capai yang luar biasa.
Pada hari keempat, pagi-pagi kami melanjutkan perjalanan dengan sisa-sisa
tenaga yang masih kami miliki. Tiba-tiba Abu Zuhair jatuh pingsan. Kami berdua
menghampirinya untuk membantu menggerak-gerakkan tubuhnya. Dikarenakan tidak
juga sadar, akhirnya kami tinggalkan ia. Kami berdua terus melanjutkan
perjalanan sejauh puluhan mil. Giliran tubuhku yang tidak tahan sehingga
akhirnya aku pun jatuh pingsan. Temanku si An-Naisaburi meninggalkan aku, dan
terus berjalan.
Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat rombongan manusia yang sedang mendekati
sebuah perahu di daratan. Mereka baru
saja turun disumur peninggalan Nabi Musa Alaihis-Salam. Temanku lalu menanggalkan
pakaian yang dikenakannya, kemudian An-Naisaburi melambai-lambaikannya ke arah
mereka sebagai isyarat minta pertolongan. Mereka lalu menghampirinya dengan
membawa bejana berisi air. Setelah diberi minum dan disuruh duduk, An-Naisaburi
berkata kepada mereka, 'Dua temanku sedang pingsan di belakang.' Mereka
menghampiriku. Begitu siuman, aku hanya merasa ada seseorang yang sedang
menuangkan air ke wajahku. Pelan-pelan aku mencoba membuka mata, lalu minta
tolong diberi minum. Setelah memberiku minum, ia membantuku duduk. Lalu aku
katakan kepada orang itu bahwa di belakangku ada temanku yang sedang pingsan
dan perlu ditolong. Beberapa orang segera beranjak untuk menolong temanku. Aku
digandeng dan berjalan tertatih-tatih. Aku terus diberinya minum sedikit demi sedikit.
Akhirnya aku sampai di dekat perahu. Tidak lama kemudian aku melihat mereka
membawa Abu Zuhair, temanku yang sudah tua itu. Kami bertiga dinaikkan ke dalam
perahu, diperlakukan dengan baik. Selama beberapa hari kami tinggal bersama di perahu.
Kemudian, tenaga kami sudah pulih kembali dan keadaan kami pun sudah membaik.
Sebelum meneruskan perjalanan, kami diberi peta menuju ke kota Rayyah dan
dititipi sepucuk surat buat wali kotanya. Selain itu, kami juga diberi bekal
berupa air dan beberapa potong roti.
Berhari-hari kami terus berjalan kaki menelusuri pantai mengikuti petunjuk
peta ke arah kota Rayyah. Kami kembali menanggung haus dan dahaga karena
perbekalan kami sudah habis sama sekali. Saat itu tiba-tiba kami mendapati
seekor kura-kura yang dihempaskan oleh ombak. Kami segera mengambil sebuah batu
besar, lalu kami pukulkan ke punggungnya. Lalu dari punggung binatang tersebut
keluar benda seperti warna kuning telur. Selain itu, kami juga mendapati
beberapa kerang yang dihempas ombak sehingga tercecer di pantai. Kami makan
binatang itu, dan kami jadikan benda tadi untuk mencedok air.
Setelah
merasa kenyang dan segar, kami
meneruskan perjalanan kembali, sampai akhirnya kami tiba di kota Rayyah. Kami
langsung menemui wali kotanya untuk menyampaikan sepucuk surat yang dititipkan
kepada kami. Dengan ramah ia mempersilahkan kami. Kami dijamu dan dimuliakan
layaknya rombongan tamu yang terhormat. Setiap hari kami diberi makan dengan
lauk yang enak-enak. Pada suatu hari ketika salah seorang teman kami berkata
kepada pelayan dengan menggunakan bahasa Persia, sang wali kota yang kebetulan
mendengarnya menemui kami dan berkata, 'Aku juga bisa berbahasa Persia dengan
baik karena nenekku adalah berasal dari suku Harawi.' Setelah beberapa hari
tinggal di rumah wali kota yang budiman tersebut, akhirnya kami memutuskan
memohon pamit untuk meneruskan perjalanan. Kami diberi bekal yang cukup
sehingga kami berhasil sampai di Mesir."
Bakar bin
Hamdan Al-Maruzi berkata, ''Aku pernah mendengar Ibnu Kharrasy mengatakan, 'Demi
mencari ilmu, aku pernah meminum air kencingku sendiri sebanyak lima kali.
Ceritanya, sewaktu sedang berjalan melintasi gurun pasir untuk mendapatkan
hadits, aku merasakan haus yang luar biasa, tanpa ada yang bisa aku minum. Maka
dengan terpaksa aku minum air kencingku sendiri'."
Kenapa kamu cerca aku yang mengais
ilmu dan mencari hadits?
Kamu kira aku sedang
bersenang-senang?
Hai orang yang mencerca aku.
biarkan aku dengan apa yang aku
lakukan ini
karena nilai setiap orang itu
terletak pada apa yang mereka
lakukan dengan baik
Al-Wahsyi
alias Abu Ali Al-Hasan mengatakan, "Di Asqalan, aku ingin mendengar
riwayat hadits dari Ibnu Mushahhih dan ulama-ulama hadits lainnya. Waktu itu
aku kehabisan bekal sama sekali. Aku mencoba bertahan selama beberapa hari
tanpa bisa makan karena memang sudah tidak ada yang bisa aku makan. Tubuhku
sangat lemas. Bahkan, untuk menulis saja aku tak sanggup. Aku lalu pergi ke
sebuah toko roti, lalu aku duduk di dekatnya untuk bisa mencium aroma sedap
roti. Dengan cara begitu aku merasa mendapatkan kekuatan tenaga, sampai
akhirnya Allah memberikan pertolongan kepadaku."
Ibnul Jauzi
Rahimahullah mengatakan,
"Ketika sedang menuntut ilmu, segala penderitaan yang aku alami terasa lebih
manis daripada madu. Sewaktu masih kecil, dengan membawa beberapa potong roti
kering aku pergi untuk mencari hadits. Di tengah perjalanan aku berhenti dan
duduk di tepi Sungai Isa. Soalnya aku tidak bisa memakannya, kecuali ada air di
dekatku. Setiap kali memakan satu suap, aku susuli dengan meminum air dari
sungai tersebut. Mata cita-citaku dengan nanar melihat betapa nikmatnya bisa
mendapatkan ilmu. Dan menurutku, itulah yang membuatku berhasil untuk banyak
mendengar hadits Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam, mengenal perilaku-perilaku, dan adab-adab beliau;
mengenal perilaku-perilaku para shahabat dan perilaku-perilaku para
tabi'in."
Al-Barudi
mengatakan:
Orang yang punya cita-cita tinggi,
ia akan mencintai semua yang
dihadapinya
* * *
(6)
MEREKA HARUS BEGADANG DALAM MENUNTUT ILMU
Seorang
ulama salaf pernah ditanya, "Dengan bantuan apa Anda mendapatkan
ilmu?" Ia menjawab, "Dengan bantuan penerangan lampu dan duduk sampai
subuh." Ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada seorang ulama salaf
yang lain, ia menjawab, "Dengan rajin pergi merantau, begadang, dan bangun
tengah malam."
Al-Khathib
Al-Baghdadi mengatakan, "Waktu belajar yang paling baik ialah waktu malam.
Itulah yang biasa dilakukan oleh ulama-ulama salaf. Sebagian mereka mulai melakukannya
selepas shalat isya' dan baru selesai begitu mereka mendengar seruan azan
shalat subuh."
Bergegaslah melakukan apa yang
kamu inginkan senyampang masih malam
karena malam adalah siang bagi
orang yang tengah menuntut ilmu
Syaikh Abu Ali punya kebiasaan
membuka baju pada malam yang dingin untuk mengusir rasa kantuknya.
Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani Rahimahullah tidak suka tidur pada malam hari. Ia selalu menyediakan air di dekatnya
untuk menghilangkan rasa kantuk. Ia pernah mengatakan, "Sesungguhnya nafsu
tidur itu berasal dari udara panas. Jadi harus diusir dengan air dingin."
Seperti yang dituturkan oleh Ibnu Al-Labbad bahwa Muhammad bin Abdus biasa
melakukan shalat subuh dengan berwudlu terlebih dahulu pada sepertiga malam
yang pertama, selama waktu tiga puluh tahun. Lima belas tahun untuk belajar,
dan lima belas tahun lagi untuk ibadah.
Gelap malam itu turun
Melalaikan orang yang tertipu
Seolah-olah warna hitamnya
laksana pandangan mata yang
menusuk
Seperti yang dikutip oleh Rabi', Fatimah binti Asy-Syafi'i mengatakan, "Dalam waktu semalam aku pernah memberi lampu penerangan untuk ayahku
sebanyak tujuh puluh kali."
Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan, "Pada suatu malam Al-Bukhari bangun
dari tidurnya. Setelah menyalakan lampu, ia menulis apa saja yang terlintas
dalam pikirannya. Kemudian, beberapa saat setelah memadamkan lampu ia bangun
lagi untuk menulis lagi. Begitu yang terjadi berulang-ulang hingga hampir dua
puluh kali."
Asad Al-Furat adalah seorang qadhi di Fairawan. Dia merupakan murid Imam
Malik yang dipercaya menyusun ide-idenya, dan salah seorang panglima perang
yang berhasil menaklukkan wilayah Shiqilayah, meskipun ia sendiri gugur sebagai
pahlawan syahid di wilayah tersebut pada tahun 212 Hijriyah. Pada suatu hari dia berangkat dari Fairawan ke Timur, pada tahun
172 Hijriyah. Setelah mengaji kitab Al-Muwatha' pada Imam Malik di Madinah, ia meneruskan perjalanan ke
Iraq. Di sana ia juga mengaji dan mendalami ilmu kepada beberapa sahabat Imam
Abu Hanifah. Ia sering mendatangi Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani. Dalam
suatu pertemuan, ia berkata kepada Muhammad bin
Al-Hasan, "Aku ini orang asing, tidak punya banyak uang, dan jarang
mengaji kepada Anda yang punya banyak murid. Jadi apa yang bisa saya
perbuat?"
Muhammad bin Al-Hasan menjawab, "Siang hari ikutlah mengaji bersama orang-orang Iraq. Dan malam harinya aku
khususkan buatmu saja. Aku akan mengajar kamu."
Asad Al-Furat berkata, "Kesempatan itu aku pergunakan dengan sebaik-baiknya. Setiap malam aku berada
di rumahnya untuk menimba ilmu. Sebelum memulai pelajaran biasanya ia
menyiapkan segelas air yang diletakkan di dekatnya. Jika malam semakin larut
dan aku kelihatan mengantuk, ia memercikkan air ke wajahku sehingga aku kaget
dan langsung terjaga. Itulah yang terjadi selama beberapa malam, sampai
akhirnya aku berhasil menimba banyak ilmu darinya."
Muhammad bin Al-Hasan adalah seorang guru yang dermawan. Setiap kali tahu
Asad Al-Furat sudah tidak mempunyai uang lagi, ia membantunya. Pada suatu hari
ia memberi uang sebanyak delapan puluh dinar, ketika ia melihat sendiri Asad Al-Furat
meminum di jalanan. Dia juga memberikan ongkos kalau muridnya yang satu ini
ingin pulang ke Iraq.
Abdurrahman bin Al-Qasim Al-Utaqi Al-Mishri, salah seorang sahabat Imam
Malik, Al-Laits, dan lainnya bercerita, "Aku biasa menemui Malik pada
waktu larut malam untuk menanyakan beberapa masalah, dan aku diterima dengan
senang hati serta lapang dada. Ia sama sekali tidak marah atau merasa
terganggu. Oleh karena itulah, aku jadi punya kebiasaan menemuinya pada larut malam.
Pada suatu malam aku duduk di depan pintu rumahnya. Dikarenakan mengantuk,
aku lalu tertidur dengan pulas sehingga aku tidak tahu ketika Malik keluar ke
masjid. Tiba-tiba seorang wanita berkulit hitam mencolek aku dengan kakinya
seraya berkata, 'Tuanmu sudah keluar. Ia tidak malas seperti kamu ini. Ia
selalu bangun larut malam lalu ke masjid selama empat puluh sembilan tahun ini.
Ia sering shalat subuh dengan wudlu larut malam.' Perempuan itu menganggap Imam
Malik sebagai tuanku lantaran aku sering menemuinya.
Lebih lanjut Ibnu Al-Qasim bercerita, "Aku berkunjung ke kediaman
Imam Malik selama tujuh puluh tahun. Di sana segala kebutuhanku tercukupi
sehingga aku tidak perlu menjual apa-apa untuk membeli makanan. Pada suatu
malam, ketika aku sedang bersamanya, datang seorang tamu dari Mesir. Ia masih
cukup muda. Setelah mengucapkan salam kepada kami, ia bertanya, 'Apa di antara
kalian ada yang bernama Ibnu Al-Qasim?' Imam Malik menunjuk ke arah aku. Lalu ia menghampiriku dan serta
merta mencium diantara kedua mataku. Aku mencium aroma yang sangat harum, aroma
seorang anak. Ternyata ia adalah anakku sendiri."
Ibnu Al-Qasim meninggalkan istrinya yang masih saudara sepupunya sendiri,
ketika masih mengandung anaknya tersebut. Ketika hendak berangkat, ia
menyuruhnya memilih untuk ikut bersamanya atau tinggal di rumah, mengingat ia
akan pergi cukup lama. Ternyata istrinya memilih tinggal di rumah.
Abu Ya'la Al-Maushili mengatakan:
Bersabarlah menanggung kepedihan
berjalan larut malam
dan pulang pagi-pagi demi mencari
ilmu
Jangan pernah patah semangat dan
bosan mencarinya karena hal itu akan menghadang kesuksesan
Aku melihat hari-harimu penuh
cobaan, maka tetaplah bersabar
karena kamu akan memperoleh akibat
yang terpuji
Jarang sekali orang yang
bersungguh-sungguh dan sabar mencari sesuatu ia akan menemukan kegagalan
Syaikh Al-Islam An-Nawawi Rahimahullah menceritakan tentang gurunya, Imam Abu Ishak Ibrahim bin Isa Al-Muradi.
Gurunya berkata, ''Aku pernah mendengar Syaikh Abdul Azhim Rahimahullah mengatakan, 'Aku telah menulis kitab karya sendiri tentang
ilmu hadits dan menulis karya orang lain sebanyak tujuh ratus juz'." Kata
guruku, "Aku tidak pernah melihat atau mendengar orang yang sangat gigih
melebihi Syaikh Abdul Azhim Rahimahullah. Siang malam ia selalu tekun menulis. Ketika sekolah di Kairo, aku tinggal
bertetangga dengannya. Setiap tengah malam terbangun, aku pasti melihat lampu
kamarnya masih menyala, pertanda bahwa ia masih tekun belajar dan menulis.
Bahkan, saat sedang makan sekalipun ia masih sempat membaca dan menulis."
Cahaya para ulama salaf memantul dari kegigihan dan kebiasaan mereka
begadang semalaman untuk belajar. Misalnya, yang dilakukan oleh Al-Dhiya' alias
Abu Muhammad Al-Maqdasi. Sepertinya ada cahaya yang memantul dari wajahnya.
Pandangan matanya sudah terasa kabur karena terlalu sering digunakan untuk
menulis dan menangis.
Az-Zamakhsyari menggambarkan keadaan para ulama yang menikmati begadang
semalaman dalam bait-bait sya'irnya berikut ini:
Aku
begadang adalah untuk menjaring ilmu yang tak seberapa
Aku berjaga adalah untuk mengatasi
kesulitan kecil yang terasa sangat nikmat dan manis,
meski sepasang telapak kakiku
bengkak
Suara goresan penaku di atas
kertas lebih indah daripada
nyanyian rindu orang yang sedang
kasmaran
dan lebih merdu daripada bunyi
rebana
yang ditabuh seorang gadis
karena itu aku ingin terus
begadang untuk mendengarkannya
Dan jika kamu tidur, mana mungkinberharap
bertemu denganku?
An-Nawawi Rahimahullah menceritakan tentang pengalamannya ketika pertama kali ia mencari ilmu, "Selama
dua tahun aku tidak sempat meletakkan lambungku di lantai."
Diceritakan oleh Al-Badar bin Jama'ah Rahimahullah,
ketika ditanya tentang tidurnya, An-Nawawi menjawab, "Setiap
kali mengantuk berat, sejenak aku bersandar pada kitab-kitab lalu aku
terbangun lagi." Kata Al-Badar, "Setiap kali aku mengunjungi
An-Nawawi, ia menumpuk kitab-kitabnya supaya ada sedikit tempat untuk aku
duduki."
Al-Hafizh Syaikh Imaduddin Abul Fida' Ismail bin Umar bin Katsir Rahimahullah, seorang ulama besar ahli sejarah Islam, secara teratur
menyempurnakan kitab Imam Ahmad dan ia menambahkan padanya hadits-hadits Kutub Al-Sittah, Mu'jam Al-Thabarani Al-Kabir, Musnad Al-Bazzari, dan Musnad Abu Ya'la Al-Mushili. Dalam hal ini dia telah bekerja keras dan bersusah payah sehingga ia
mencapai hasil luar biasa yang tidak ada bandingannya di dunia. Ibnu Katsir
telah menyempurnakannya, kecuali dari sebagian Musnad Abu Hurairah karena ia keburu wafat
terlebih dahulu sebelum sempat menyempurnakannya. Akibat ketekunan Ibnu Katsir
dalam menulis dan membaca pada malam hari, ia menjadi tuna netra. Ibnu Katsir
pernah bercerita kepada Adz-Dzahabi, "Aku selalu menulis pada malam hari
di bawah cahaya lampu yang lemah sinarnya sehingga mengakibatkan pandangan
mataku hilang. Dan mudah-mudahan Allah berkenan mendatangkan orang yang akan
menyempurnakannya."
Berikut adalah sekelumit sejarah perilaku Imam Ibnu Daqiq Al-'Idi Rahimahullah, yang menjelaskan betapa besar cita-cita dan ketekunannya untuk
begadang dalam mencari ilmu.
Ibnu Daqiq Al-'Idi berkeliling di Fustat, Kairo, Iskandaria, Damaskus, dan
Hijaz untuk menimba ilmu dari sejumlah guru senior satu kurun. Beliau mendalami
dua madzhab, yakni madzhab Maliki dan madzhab Asy-Syafi'i. Beliau mendalami
ilmu hadits, tafsir, tauhid, nahwu, dan sastra. Ia sangat teliti mendalami
kedua madzhab tersebut sehingga ia menjadi seorang mufti. Padahal saat itu
usianya masih relatif cukup muda.
Kata Al-Asnawi, "Ibnu Daqiq Al-'Idi meneliti dua madzhab sekaligus
sehingga ia mendapat pujian dari Syaikh Ruknuddin bin Al-Qari' Al-Maliki."
Terdapat pujian kepadanya dalam sebuah kasidah, yang antara lain berbunyi:
Di usia
yang masih muda
ia telah menguasai ilmu
Teruslah naik dengan cita-citamu
sebagai anak muda
Dia begitu cermat meneliti
dalil-dalil Imam Malik dan Imam Syafi'i
Syaikh Taqiyuddin Rahimahullah adalah seorang ulama yang menghabiskan hidupnya untuk ilmu dan ibadah. Ia
jarang sekali tidur pada malam hari. Hampir seluruh waktunya ia pergunakan buat
belajar, mengais ilmu, menulis, dan meriwayatkan hadits. Waktu luangnya ia
manfaatkan buat berdiri shalat di mihrab, atau duduk sambil membaca Kitab Allah
atau berjalan-jalan sambil memikirkan makhluk
ciptaan Allah, dan memikirkan karya-Nya. Ia menyimpulkan bahwa semua itu
merupakan bukti kekuasaan dan keesaan Allah. Siang malam jasad dan pikirannya
tidak pernah diam. Kalau tidak sedang merenung, ia pasti sedang shalat dan
berdzikir mensucikan Allah Yang Mahakuasa dan Maha Mengetahui. Cermin hidupnya
yang sejati ia ungkapkan dalam ucapannya:
Tubuh ini
hancur untuk kewajiban-kewajiban berkhidmat
Dan hati tersiksa oleh cita-cita
yang tinggi
Usia harus dihabiskan dalam
kepenatan
Dan jika kesenangan telah mati
akan lahir kasih sayang
Dia telah mengerahkan segenap hatinya pada cita-cita tinggi untuk menggapai
tujuan yang mulia. Itulah sebabnya ia gunakan pikirannya untuk mencetuskan
hukum-hukum syari'at, berkhidmat kepada agama dan umat serta mencari bekal
ketakwaan sebanyak mungkin.
As-Subki berkata, "Kegigihannya dalam mencari ilmu dan beribadah pada
malam hari sungguh luar biasa. Terkadang semalaman suntuk ia membaca kitab sampai berjilid-jilid. Terkadang pula
ia membaca satu ayat Al-Qur'an dan mengulang-ulanginya hingga terbit
fajar."
Al-Adafuwi berkata, "Guruku Syaikh Zainuddin Umar Damsyiqiq atau yang
lebih dikenal dengan nama Ibnu Al-Kanani Rahimahullah pernah bercerita kepadaku ketika pagi-pagi sekali aku menemuinya. Kemudian,
dia memberikan padaku sebuah kitab besar seraya berkata, "Kitab ini baru
saja aku tela'ah semalam'."
Al-Adafuwi juga mengatakan, "Ia memang memiliki kekuatan mutala'ah yang luar biasa. Ia memiliki banyak
koleksi kitab-kitab besar. Perpustakaan sekolahannya ada sejumlah
kitab-kitab karya ulama besar, antara lain ada kitab Uyun Al-Akhbar karya Ibnu Al-Qashar, sebanyak kurang lebih tiga
puluh jilid. Aku juga melihat ada kitab Sunan
Al-Kubra karya Al-Baihaqi yang terdiri dari beberapa jilid, ada Tarikh Al-Baghdadi, dan Mu'jam Al-
Thabarani Al-Kabir, dan Mu'jam Al- Thabarani Al-Ausath. Guruku,
Al-Faqih Sirajuddin Ad-Dainuri, melihat kitab Syarah Al-Kabir karya Ar-Rafi'i kemudian langsung membelinya
dengan harga seribu dirham. Gara-gara terlalu rajin bermutala'ah, hanya sempat
menjalankan shalat-shalat fardhu saja. Ketika ditanyakan kepadanya tentang
reputasi Ar-Rafi'i dan reputasi Al-Ghazali dalam hal ilmu fiqih, spontan ia
menjawab, 'Ar-Rafi'i di langit.' Ia memang sangat mengagumi Ar-Rafi'i sebagai
seorang ulama ahli fiqih yang besar."
Ulama lain
yang perilaku sejarahnya dalam sejarah patut dikagumi ialah Muhammad Al-Amin
Asy-Syinqithi Rahimahullah. Seorang
putranya yang bernama Abdullah bercerita, "Ayah bercerita kepadaku bahwa
ketika masih menuntut ilmu di suatu negara, ia pernah membaca kitab Mukhtashar Khalil bab 'Nikah.' Ketika sampai pada ucapan
'Aku punya sepuluh ekor kuda. Kalau sampai sang Sultan menjualnya ia akan
bangkrut,' ia berkata kepadaku, 'Ini pernah dibacakan oleh guruku kepadaku
sesudah ashar. Kajiannya tuntas. Dia akan membaca semua yang ada dalam satu
bab.
Aku lalu
mengambil kitab-kitab syarah Khalil dan
juga catatan-catatan pinggirnya untuk mencermati masalah tersebut. Aku terus
membacanya dengan seksama sampai tiba waktu malam. Kemudian, aku menyalakan
lampu sebagai penerang dan terus membacanya sampai subuh. Aku
tidak sempat tidur, dan
hanya melakukan shalat fardhu saja. Akhirnya aku tahu bahwa si pengulas punya
dua pendapat terhadap ucapan Khalil tersebut. Dan kalau aku bahas dalam
perspektif Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, aku akan mampu mendatangkan keajaiban
bagi umat'."
Jika aku
sedang sibuk dengan gadisku yang parasnya laksana cahaya pagi,
aku enggan berpikir yang lain
Syaikh
Athiyah Salim juga menceritakan tentang kehebatan Ibnu
Daqiq Al-'Idi sebagai berikut, "Memang benar. Dalam mencari ilmu ia selalu
berpikir dan merenung sehingga berbagai kesulitan bisa ia atasi. Ucapannya
sesuai dengan perbuatannya. Ia pernah bercerita kepadaku, 'Pada suatu hari aku
menemui seorang guru untuk mengaji. Ia memang
memberikan penjelasan kadaku dengan gamblang. Akan tetapi, aku masih belum
merasa puas. Ketika pamit pulang, aku merasa membutuhkan penjelasan yang lebih
rinci atas beberapa masalah yang aku anggap musykil. Kala itu waktu dhuhur
telah tiba. Aku mengambil beberapa kitab rujukan, dan aku tela'ah sampai ashar.
Belum sempat menyelesaikan urusan-urusan yang lain, kembali aku menela'ah
sampai maghrib. Akan tetapi, belum juga selesai. Lalu aku suruh pelayanku
membikin api unggun untuk penerangan. Aku masih terus menela'ah. Untuk mengatasi rasa jenuh dan malas, aku meminum teh. Sementara
pelayanku tetap setia menjaga api unggun. Ketika fajar merekah aku masih berada
di tempatku. Setelah shalat subuh dan menyantap sedikit makanan, kembali aku
meneruskan aktivitasku hingga siang hari. Setelah bisa menemukan pemahaman, aku
berhenti lalu tidur. Dan sebelum tidur aku berpesan kepada pelayanku agar
jangan membangunkan aku karena ingin beristirahat yang cukup untuk melepaskan
kelelahan setelah semalaman begadang'."
Al-Allamah
Abul Fadhel Syihabuddin Sayid Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi Rahimahullah menceritakan
tentang pengalamannya ketika mendalami tafsir Al-Qur'an dalam usia kurang dari
dua puluh tahun, "Semenjak kecil aku sudah tekun mengungkap rahasia
Al-Qur'an yang tersembunyi di balik ayat-ayatnya. Begitu tinggi semangatku
sehingga aku rela jarang tidur dan meninggalkan keluarga serta teman-temanku.
Semalam suntuk aku asyik dengan lembar-lembar Kitab Allah. Ketika tidak punya
uang untuk membeli lilin, aku belajar dengan menggunakan penerangan cahaya
bulan. Teman-teman sebayaku waktu itu masih suka bermain-main dan
bersenang-senang karena mereka lebih mengutamakan kenikmatan jasmani daripada
kenikmatan rohani. Mereka menghabiskan waktu buat menuruti kesenangan nafsu. Sebaliknya,
aku tidak mau terpengaruh dan tertipu oleh keadaan mereka."
* * *
(7)
MEREKA SENANG SEKALI
BERKUMPUL DENGAN PARA ULAMA
Salah satu
bentuk kasih sayang Allah kepada umat ini, Dia tanamkan ke dalam hati
ulama-ulama salaf kita terdahulu rasa kecintaan terhadap ilmu dan
majelis-majelisnya, untuk menjaga agama dan menjadi teladan bagi generasi-generasi yang hidup sesudah mereka. Itulah sebabnya mereka tampil
sebagai pemimpin-pemimpin agama yang sangat dihormati oleh umatnya.
Mereka sangat antusias mengadakan dan mendatangi majelis-majelis ilmu.
Dalam hal ini Ja'far bin Darastawaih menceritakan pengalamannya, "Selepas
shalat ashar aku sudah berada di majelis pengajian Ali bin Al-Madini, yang
baru akan diselenggarakan keesokan harinya. Sepanjang malam aku berada di
tempatku karena khawatir tidak mendapatkan tempat untuk mendengarkan
pengajiannya. Bahkan, aku pernah melihat seorang kakek yang terpaksa harus
buang air kecil di jubahnya, juga karena khawatir tempatnya akan diduduki orang
lain jika ia harus meninggalkannya untuk buang air kecil."
Yahya bin Hassan juga menceritakan pengalamannya, "Aku sudah berada
di samping Sufyan bin Uyainah yang akan meriwayatkan hadits. Aku melihat
sekelompok orang berebut tempat yang sedang diduduki oleh seorang kakek yang
lemah. Mereka menarik tangan sang kakek supaya mau menyingkir sehingga sang
kakek berteriak minta tolong kepada Sufyan. Dikarenakan suasana sedang gaduh,
Sufyan tidak mendengarnya. Sufyan mengawasi seorang di antara mereka dan
bertanya, 'Apa yang dikatakan oleh si kakek tadi?' Ia menjawab dengan bohong,
'Tidak apa-apa. Kami ingin mendengar riwayat hadits dari Anda lagi'."
Husyaim Rahimahullah meninggal dunia
gara-gara dikerubuti oleh para penuntut ilmu. Sebagaimana yang diceritakan oleh
Al-Khithabi, "Para pencari hadits berebut mendekati Husyaim dengan
berdesak-desakan sehingga ia terjatuh dari keledainya. Dan itulah yang
menyebabkan ia meninggal dunia."
Abu Bakar bin Al-Khayyath An-Nahwi Rahimahullah melewatkan seluruh waktunya untuk belajar. Termasuk ketika ia sedang dalam
perjalanan sehingga terkadang ia pernah jatuh ke dalam lereng bukit, atau
diinjak oleh binatang.
Konon Tsa'lab selalu memegangi kitab yang tengah dipelajarinya. Bahkan,
ketika harus memenuhi undangan seseorang, ia minta disediakan tempat yang agak
longgar untuk meletakkan kitabnya, untuk dibaca. Penyebab kematiannya ialah
ketika ia baru saja keluar dari masjid jami' pada hari Jum'at selepas shalat
ashar. Ia tuli sehingga susah untuk bisa mendengarkan. Ketika sedang membaca
kitab di pinggir jalan, ia ditabrak oleh seekor kuda sehingga ia terlempar ke
sebuah jurang. Dalam keadaan pingsan, ia digotong ke rumahnya. Ia mengeluh
karena kepalanya terasa sakit. Dan pada hari berikutnya ia meninggal dunia.
Semoga Allah merahmatinya.
Imam Baqyu bin Makhlad Al-Andalusi pada suatu hari pergi ke Baghdad dengan
berjalan kaki. Tujuan utamanya ingin bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah untuk menimba ilmu darinya. Lebih lanjut ia menceritakan
pengalamannya, "Ketika sudah hampir tiba di Baghdad, aku mendengar kabar tentang
cobaan yang sedang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal. Penguasa setempat melarang
siapapun menemuinya dan mendengarkan pengajiannya. Saat itu aku bingung sekali.
Aku lalu menyewa kamar di sebuah penginapan. Setelah menaruh barang-barang,
secara diam-diam aku menuju masjid jami'. Di sana aku ingin memperoleh
informasi tentang Imam Ahmad bin Hanbal dari sekelompok orang yang sedang
mengadakan majelis pertemuan.
Aku bergabung di tengah-tengah mereka. Lalu tiba-tiba muncul seseorang
yang menarik perhatianku. Ia sedang memberikan pelajaran hadits. Dikarenakan
penasaran, aku bertanya kepada orang yang berada di sebelahku, 'Siapa orang
itu?' Ia menjawab, 'Dia adalah Yahya bin Mu'in.' Melihat ada tempat kosong di
sampingnya, aku segera menghampiri dan bertanya, 'Wahai Abu Zakaria, semoga
Allah selalu merahmati Anda. Aku ingin bertanya kepada Anda, dan aku harap Anda
jangan meremehkan aku.' Ia berkata kepadaku, 'Katakan saja apa yang ingin kamu
tanyakan.' Aku lalu menanyakan tentang beberapa ulama ahli hadits yang pernah
aku temui. Sebagian ada yang adil, dan sebagian lagi ada yang dha'if.
Terakhir, aku menanyakan tentang seorang ulama ahli hadits bernama Hisyam
bin Ammar karena aku sering mendengar riwayat darinya. Ia berkata, 'Nama
panggilannya ialah Abul Walid alias Hisyam bin Ammar. Orang yang tekun shalat
ini adalah penduduk Damaskus. Ia adalah seorang perawi yang sangat jujur.'
Kemudian, orang-orang di majelis itu memprotes aku karena mereka juga ingin
mengajukan pertanyaan. Akan tetapi, aku tidak memedulikan, dan berpura-pura
tidak mendengar protes mereka. Aku lalu bertanya lagi, 'Lalu siapa itu Ahmad
bin Hanbal?' Mendengar pertanyaanku itu, Yahya bin Mu'in menatapku dengan
heran, kemudian berkata, 'Kita seharusnya mengenal siapa Imam Ahmad bin
Hanbal. Beliau itu imam terbaik kaum Muslimin.'
Selanjutnya, aku keluar untuk mencari informasi di mana kediaman Imam
Ahmad bin Hanbal. Setelah menemukan tempat kediamannya, aku mencoba mengetuk
pintu. Ia keluar untuk membukakan pintu. Sejenak ia melihat aku yang belum
dikenalnya. Maka bergegas aku katakan, 'Wahai Abu Abdullah, aku baru pertama
kali datang di negeri ini. Aku ini pencari hadits dan penghimpun Sunnah Nabi.
Aku datang ke sini hanya ingin bertemu Anda.' Ia berkata, 'Silahkan masuk.
Jangan sampai ada yang melihat kamu ke rumahku ini.'
'Dari mana asalmu?' tanyanya. 'Maroko,' jawabku.
'Kamu tinggal di Afrika?' tanyanya.
'Lebih jauh lagi. Dari negeriku untuk sampai ke Afrika aku harus
menyeberangi lautan,' jawabku.
'Tempatmu jauh sekali,' katanya, 'sebenarnya aku ingin sekali menolong
orang sepertimu. Akan tetapi, sayang saat ini aku sedang dicekal. Mungkin kamu
sudah mendengarnya.'
'Benar. Aku memang sudah mendengarnya ketika aku hampir tiba di negeri
Anda ini dalam perjalanan untuk menemui Anda,' kataku.
'Wahai Abu Abdullah, ini kunjunganku yang pertama di negeri ini. Dan masih
banyak hal-hal yang belum aku ketahui di sini. Aku harap Anda tidak keberatan
jika setiap hari aku menemui Anda untuk mengajukan beberapa pertanyaan. Jika
Anda keberatan, kita bisa bertemu di tempat lain. Meskipun setiap hari aku
hanya mendengar satu riwayat hadits saja dari Anda, bagiku itu sudah cukup,'
kataku.
'Baiklah,' jawabnya, 'tetapi dengan syarat, jangan sampai ada yang
mengetahui. Termasuk oleh para pencari hadits lainnya.'
'Akan aku penuhi syarat Anda,' kataku.
Sambil membawa tongkat dan mengenakan ikat kepala serta menyiapkan pena
dan kertas di kantong, aku berjalan tertatih-tatih seperti seorang kakek. Aku
memang sengaja menyamar supaya tidak diketahui siapapun. Pagi-pagi buta aku
sudah berada di depan pintu rumahnya. Mengetahui aku yang datang, ia
mempersilahkan aku masuk lalu segera mengunci kembali pintu rumahnya. Dalam
setiap pertemuan, aku berhasil mendapatkan minimal dua sampai tiga riwayat
hadits darinya.
Hal itu berlangsung selama beberapa hari. Sampai akhirnya penguasa setempat
yang mencekalnya meninggal dunia, dan digantikan oleh penguasa dari golongan
Ahlus-Sunnah wal Jama'ah. Sejak saat itulah Ahmad bin Hanbal mulai berani
menampakkan diri di tengah-tengah masyarakat. Namanya semakin harum dan semakin
dihormati sebagai imam masyarakat. Aku merasa bersyukur karena ia tahu akan
kesabaran serta kegigihanku.
Aku merasa mendapat tempat terhormat di matanya. Hal itu terbukti setiap
kali aku ikut majelis pengajiannya, ia menyuruhku untuk duduk di dekatnya.
Kepada murid-muridnya yang lain, ia mengatakan sambil menunjuk ke arahku,
'Inilah contoh penuntut ilmu yang sejati.' Selanjutnya, kepada mereka ia
menceritakan kisah pengalamannya bersamaku.
Pernah pada suatu hari aku jatuh sakit sehingga tidak bisa ikut hadir di
majelis pengajiannya. ia menanyakan aku. Dan ketika dijawab bahwa aku sedang
sakit, seketika itu ia pergi menjengukku dengan ditemani beberapa orang
muridnya. Aku sedang tergolek di kamar kontrakanku yang acak-acakan, dan di
dekat kepalaku tergeletak beberapa kitab yang belum sempat aku taruh di tempatnya.
Pemilik penginapan kaget bukan main ketika melihat Imam Ahmad bin Hanbal
beserta rombongan datang ke tempatnya. Dengan tergopoh-gopoh ia menuju ke
kamarku dan berkata, 'Hai Abu Abdurrahman, lihat itu! Imam Ahmad bin Hanbal
datang hendak menjenguk kamu!'
la segera masuk ke kamarku, dan duduk di dekat kepalaku. Murid-murid yang
menemaninya pun ikut masuk sehingga kamar kontrakanku yang tidak begitu luas
menjadi sesak. Mereka semua membawa pena dan kertas untuk menulis setiap apa
yang diucapkan olehnya. Terpaksa di antara mereka harus mengalah berada di
luar. Sejenak suasana hening. Dan tiba-tiba aku mendengar ia berkata kepadaku,
'Wahai Abu Abdurrahman, berbahagialah dengan pahala dari Allah. Hari-hari
sehat tidak ada sakit, dan hari-hari sakit tidak ada sehat. Semoga Allah lekas
memberimu kesehatan dan mengelus jiwamu dengan tangan-Nya yang lembut.' Secara
serentak mereka semua mencatat apa yang diucapkannya tadi.
Setelah dijenguk oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan rombongan, pemilik
penginapan menjadi sangat baik sekali kepadaku. Segala kebutuhanku, termasuk
yang paling kecil sekalipun dilayaninya dengan senang hati. Aku benar-benar
sangat dimanjakan oleh para pelayan penginapan tersebut. Bahkan, aku yang
sedang sakit merasa mendapatkan pelayanan yang melebihi pelayanan keluargaku
sendiri. Dan aku sadar, hal itu adalah berkat kunjungan orang shalih bernama
Ahmad bin Hanbal."
Akhirnya Baqyu bin Makhlad meninggal dunia pada tahun 27 Hijriyah di Andalusia.
Semoga Allah senantiasa merahmatinya.
Banyak ulama bergelar al-hafizh berusaha dengan sungguh-sungguh mendapatkan guru sebanyak mungkin untuk
menimba ilmu. Sampai-sampai Imam Abu Sa'ad alias Abdul Karim As Sam'ani
Al-Maruzi memiliki tujuh ribu orang guru. Dan karena pengalamannya menjelajahi
berbagai negara, berhasil menulis kitab Mu'jam
Al-Buldan 'kamus negara-negara', dan juga berhasil menulis Mu'jam Syuyukhi 'kamus guru-guru' sebanyak beberapa jilid. Al-Qasim bin Daud Al-Baghdadi mengatakan, "Aku telah menulis dari
enam ribu orang guru." Dan konon jumlah guru Imam Al-Hafizh Ibnu Asakir Rahimahullah mencapai seribu tiga ratus orang, delapan puluhan di
antaranya adalah guru wanita.
* * *
Ketika Zaid bin Tsabit Radhiyallahu Anhu wafat, setelah upacara pemakaman, Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, "Hai
orang-orang, siapa yang ingin tahu bagaimana hilangnya ilmu, beginilah
hilangnya ilmu. Demi Allah, pada hari ini telah hilang banyak ilmu. Telah
meninggal dunia seseorang yang mengetahui sesuatu yang tidak diketahui orang
lain. Ia pergi berikut apa yang bersamanya. Dan -sambil menunjuk ke kubur Zaid-
pada hari ini telah dikuburkan ilmu yang banyak."
Yahya bin Al-Qasim mengatakan, "Ibnu Sukainah adalah seorang berilmu
yang mengamalkan ilmunya. Ia tidak pernah menyia-nyiakan waktunya barang
sedikitpun. Setiap kami menemuinya, ia berkata, 'Jangan menambahkan masalah
pada salamun alaikum.' Hal ini dikarenakan begitu besar semangatnya
dalam membahas ilmu, dan menetapkan hukum."
* * *
(8)
MEREKA SANGAT JELI
MEMANFAATKAN WAKTU DEMI MENDAPATKAN ILMU
Pada suatu hari Syu'bah bin Al-Hajjaj datang menemui Khalid Al-Hadza'
yang sedang menderita sakit.
"Wahai Abu Manazil, Anda punya hadits. Tolong ceritakan
kepadaku," kata Syu'bah.
"Aku sedang sakit," jawab Khalid.
"Satu saja," desak Syu'bah.
Khalid lalu menceritakannya. Setelah selesai, Syu'bah berkata,
"Sekarang
kamu boleh meninggal dunia."
Yahya bin
Mu'in adalah orang yang bersemangat
untuk menemui para guru dan mendengar hadits dari mereka karena khawatir mereka keburu meninggal dunia. Abdu bin
Humaid menceritakan pengalamannya, "Pada suatu hari Yahya bin Mu'in datang
menemuiku. Begitu duduk, ia langsung meminta supaya aku meriwayatkan hadits
kepadanya. Aku berkata, 'Dengarkan baik-baik, 'Aku mendapatkan riwayat dari
Hammad bin Salamah ....' Tiba-tiba
ia memotongku, 'Harus dari catatanmu sendiri!' Ketika aku bangkit hendak
mengeluarkan catatanku serta merta ia memegang pakaianku dan berkata, 'Diktekan
saja padaku karena aku khawatir tidak bisa bertemu kamu lagi.' Aku lalu
mendiktekan kepadanya. Setelah itu, aku baru mengambil catatanku dan aku
bacakan padanya."
Ibnu Ishak
berkata, "Aku pernah mendengar Makhul mengatakan, 'Demi mencari ilmu aku
telah merantau keliling dunia'."
Abu Wahab
meriwayatkan dari Makhul, ia berkata, "Aku mendapat status merdeka di
Mesir. Setiap ilmu yang ada di sana aku himpun. Kemudian, aku pindah ke Iraq,
lalu pindah ke Madinah. Sedapat mungkin aku juga berusaha untuk menghimpun
setiap ilmu yang ada di kedua kota tersebut. Kemudian, aku pindah lagi ke
Syiria untuk mengembara." ltulah kepintaran Makhul yang ingin memanfaatkan
waktu sebaik-baiknya karena khawatir ia tidak bisa bertemu dengan para perawi
dan para ahli hadits yang keburu meninggal dunia.[5]
* * *
(9)
CITA-CITA TINGGI MEREKA
DALAM MENGHAPAL DAN MEMPELAJARI ILMU
Ibrahim
An-Nakh'i mengatakan, "Siapa yang ingin menghapal hadits, hendaklah ia
menceritakannya, sekalipun kepada orang yang tidak menginginkannya. Apabila ia
mau melakukannya, maka hal itu seperti buku di dadanya."
Diceritakan dari Ibnu Syihab, sesungguhnya setelah mendengar
hadits dari Urwah dan lainnya, ia lalu menemui budak perempuannya yang sedang
tidur. Ia kemudian membangunkannya dan berkata, "Dengarkan, hadits si
Fulan yang ini dan hadits si Fulan yang ini." Budak perempuan itu
bertanya, "Apa urusanku dengan hadits ini?" Ibnu Syihab menjawab,
''Aku tahu kamu tidak bisa mengambil manfaatnya. Akan tetapi, aku baru saja
mendengarnya, dan aku ingin kamu ikut mengingatnya."
Zaid bin Sa'ad bercerita, "Aku pergi bersama Az-Zuhri ke tanah kelahirannya
di Syu'ab. Di sana Az-Zuhri mengumpulkan
beberapa orang yang fasih berbahasa Arab, lalu ia menceritakan hadits kepada
mereka. Az-Zuhri ingin menguji hapalannya."
Ada sementara ulama yang suka menghapal sendiri ilmunya. Mereka
suka duduk menyendiri dan mengeraskan suaranya supaya mereka lekas hapal.
Ja'far bin Al-Maraghi bercerita, "Ketika sedang berziarah di pekuburan
Tustar, aku mendengar seseorang berteriak cukup lama, 'Al-A'masy, dari Abu
Shalih, dari Abu Hurairah. Al-A'masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah.'
Setelah mencari sumber suara teriakan itu, akhirnya aku melihat Ibnu Zuhair
sedang belajar sendiri menghapalkan hadits Al-A'masy."
Abdurrazaq bercerita, "Sufyan Ats-Tsauri berkunjung ke rumahku. Pada
tengah malam aku mendengar ia mengigau membaca Al-Qur'an. Lalu ia bangun untuk
shalat. Setelah selesai, ia duduk lalu membaca, 'Al-A'masy, Al-A'masy, Al-A'masy.
Manshur, Manhsur, Manshur. Al-Mughirah, Al-Mughirah, Al-Mughirah.' Aku
bertanya, 'Wahai Abu Abdullah, apa maksudmu ini?' Ia menjawab, 'Aku tadi
shalat sambil menghapalkan hadits'."
Al-Qathbu Al-Yunini bercerita tentang Imam An-Nawawi Rahimahullah, ia berkata, "An-Nawawi adalah orang yang tidak mau
membuang-buang waktu, baik siang atau malam. Ia selalu sibuk dengan urusan
ilmu. Bahkan, saat sedang dalam perjalanan pun ia tetap sibuk menghapal atau
membaca pelajaran. Ia menjalani kebiasaannya tersebut selama enam tahun."
Ketika pertama kali menuntut ilmu, setiap hari An-Nawawi membaca dua belas
pelajaran sekaligus di hadapan guru-gurunya; dia membaca dua pelajaran kitab Al- Wasith, tiga pelajaran kitab Al-Muhadzab, satu pelajaran kitab Al-Jam'u baina Al-Shahihain,
lima pelajaran kitab Shahih Muslim, satu pelajaran kitab Al-Luma' karya Ibnu Jani yang membahas tentang ilmu nahwu. Dia membaca satu
pelajaran kitab Ishlah Al-Manthiq karya Ibnu As-Sakir yang membahas tentang ilmu bahasa, satu pelajaran tentang
ilmu sharaf, satu pelajaran tentang ushul fiqih, satu pelajaran tentang
nama-nama perawi, satu pelajaran tentang pokok-pokok agama alias tauhid.
Terkadang membaca kitab Al-Luma' karya Abu Ishak, terkadang membaca kitab Al-Muntakhab
karya Al-Fakhru Ar-Razi. An-Nawawi berkata, "Aku sanggup
mengomentari semua penjelasan yang dianggap musykil, menerangkan ungkapan-ungkapan,
dan menguraikan bahasa. Semoga Allah senantiasa melimpahkan berkah atas waktu
dan kesibukanku serta menolongku."
Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abu Bakar Al-Hanbali menela'ah kitab Al-Mughni tulisan Al-Muwafiq Ibnu Qadamah sebanyak dua puluh tiga
kali sehingga ia hampir hapal.
* * *
(10)
CITA-CITA TINGGI MEREKA
DALAM MENGHAPAL HADITS
Abu Zura'ah mengatakan, "Ahmad bin Hanbal mampu menghapal sejuta
hadits." Imam Ahmad ditanya, "Apa resep Anda?" Ia menjawab,
"Aku mempelajarinya dan selalu mempelajarinya."
Sulaiman bin Syu'bah berkata, "Mereka menulis dari Abu Daud sebanyak
empat puluh ribu hadits, padahal ia tidak membawa kitab."
Abu Zura'ah Ar-Razi mengatakan, "Aku hapal dua ratus ribu hadits
seperti orang menghapal surat Al-Ikhlas. Dan jika dengan mengingat keras aku
bisa hapal tiga ratus ribu hadits."
Hisyam Al-Kalbi mengatakan, "Aku bisa hapal sesuatu yang orang lain
tidak hapal, dan bisa lupa sesuatu yang orang lain tidak lupa. Aku punya
seorang paman yang selalu mendorongku agar menghapal Al-Qur'an. Pada suatu hari
aku masuk rumah, lalu aku bersumpah tidak akan keluar sebelum aku hapal Al-Qur'an.
Dan hanya dalam tempo tiga hari aku sudah hapal."
Abu Ahmad alias Abdullah bin Ady Al-Hafizh berkata, "Aku mendengar
beberapa orang guru bercerita, 'Pada suatu hari Muhammad bin Isma'il tiba di
Baghdad. Para ulama ahli hadits yang mendengar berita itu segera berkumpul.
Mereka telah menyiapkan seratus hadits yang sengaja telah dibolak-balik matan
serta sanadnya. Mereka menunjuk sepuluh orang wakil yang masing-masing akan
menyodorkan sepuluh hadits kepada Al-Bukhari. Selanjutnya, mereka bersama-sama
menemui Al-Bukhari. Salah seorang dari mereka mulai membacakan sepuluh hadits
yang telah dipersiapkan. Dan ketika ditanyakan kepada Al-Bukhari, ia menjawab
'Aku tidak tahu.' Giliran yang lain yang mencoba lagi, dan Al-Bukhari juga
menjawab, 'Aku tidak tahu.'
Para ulama
ahli fiqih yang ikut hadir di majelis itu saling memandang satu sama lain.
Mereka yakin bahwa Al-Bukhari hanya berpura-pura. Ia sebenarnya tahu. Sementara
yang lain menganggap Al-Bukhari memang benar-benar tidak tahu. Orang ketiga
sampai yang ke sepuluh melakukan hal yang sama, Al-Bukhari tetap menjawab, 'Aku
tidak tahu.'
Ketika
tahu mereka semua sudah selesai, barulah Al-Bukhari menoleh kepada mereka satu
persatu seraya menjelaskan dengan hapalan yang tepat hadits-hadits yang mereka
tanyakan. Bahkan, ia juga sanggup membenarkan matan serta sanad-sanadnya yang
telah mereka bolak-balik sedemikian rupa. Semua yang hadir tercengang
menyaksikan kehebatannya. Salah seorang dari mereka, yang bernama Ibnu Shaid,
setiap kali mengingat peristiwa itu ia mengatakan, 'Ia benar-benar laksana
seekor kambing kibas yang suka menanduk'."
Ibnu An-Najjar
berkata, "Aku pernah mendengar guruku Abdul Wahab bin Al-Amin bercerita,
'Pada suatu hari aku sedang bersama Al-Hafizh Abul Qasim bin Asakir dan Abu
Sa'id bin As-Sam'ani. Ketika kami sedang dalam perjalanan mencari hadits dan
menemui para guru, kami bertemu seorang guru. Ibnu As-Sam'ani meminta sang guru
itu untuk berhenti sebentar supaya ia bersedia membacakan hadits untuknya. Akan
tetapi, hadits yang dibacakannya, setelah dicocokkan ternyata tidak ada dalam
catatannya. Ia (Ibnu As-Sam'ani) merasa kesal. Ibnu Asakir segera menghampiri
Ibnu As-Sam'ani dan bertanya, 'Apa rujukannya?' Ibnu As-Sam'ani menjawab,
'Kitab Al-Ba'tsu wa Al-Nusyur
tulisan Ibnu Abu Daud. Katanya ia mendengar riwayat tersebut dari
Abu Nasher Az-Zainabi.' Ibnu Asakir berkata kepada Ibnu As-Sam'ani, jangan
sedih.' Kemudian, ia membacakan hapalannya yang cocok dengan catatan Ibnu
As-Sam'ani. Setelah itu, kami bertiga lalu melanjutkan perjalanan."
Ibnu Al-Amid
bercerita, "Sebelumnya aku tidak mengira di dunia ini ada sesuatu yang
manis, semanis memegang kekuasaan yang aku alami. Sampai akhirnya aku
menyaksikan sendiri mudzakarah yang berlangsung antara Ath-Thabarani dan Abu
Bakar Al-Ji'abi. Kelebihan Ath-Thabarani terletak pada hapalannya yang sangat
banyak. Adapun Abu Bakar Al-Ji'abi, kelebihannya terletak pada kecerdasannya
dan suaranya yang lantang. Abu Bakar Al-Ji'abi mengatakan, 'Aku punya sebuah
hadits yang di dunia ini hanya aku saja yang punya.' Ath-Thabarani berkata,
'Coba bacakan.' Abu Bakar Al-Ji'abi pun membacakan haditsnya, 'Aku mendapatkan
riwayat dari Abu Khalifah, Abu Sulaiman bin Ayyub....' Ath-Thabarani yang
mendengar itu segera memotongnya, 'Aku, Sulaiman bin Ayyub mendengar riwayat
dariku yang kemudian didengar oleh Abu
Khalifah, kemudian Abu Khalifah menceritakannya kepada Ali dariku.' Mendengar
sanggahan Ath-Thabarani tersebut, Abu Bakar Al-Ji'abi merasa malu. Aku tertawa
dan gembira melihat hal itu."
Diceritakan oleh Muhammad bin Ahmad Al-Wa'idh, "Pada suatu hari Abu
Bakar bin Al-Baghindi sedang shalat. Setelah takbiratul ihram, ia membaca,
'Aku mendapatkan riwayat dari Muhammad bin Sulaiman bin Luwain.' Menyangka ia
melakukan kesalahan, aku segera membaca tasbih untuk mengingatkannya. Akan
tetapi, ia malah terus membaca surat Al-Fatihah."
Muhammad bin Ahmad Al-Wa'idh juga menceritakan, "Aku sangat mencintai
hadits. Aku biasa melihat Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, tetapi aku tidak pernah berkata, 'Tolong, doakan aku kepada
Allah.' Akan tetapi, aku memilih bertanya kepada beliau, 'Wahai Rasulullah,
mana di antara kedua orang ini yang lebih kuat haditsnya, Manshur atau Al-A'masy?'
Beliau menjawab, 'Manshur, Manshur'."
Ibnu Katsir berkata, "Terkadang tanpa sadar aku suka menyebut suatu
hadits dalam shalat atau dalam tidur."
Setiap hari, sejak siang sampai malam hari Yahya bin Hilal bin Mathar
duduk untuk mendengarkan hadits-hadits yang telah dicatat. Dan setiap bulan ia
bisa menyempurnakan bacaannya.
Imam Abu Ishak Asy-Syairazi penulis kitab Al-Muhadzab bercerita, "Setiap pelajaran aku ulangi sampai seratus
kali. Jika dalam satu masalah ada sebuah bait sya'ir yang dijadikan sebagai
bukti penguat, aku hapalkan seluruh kasidahnya."
Adz-Dzahabi berkata, "Aku pernah mendengar Syaikh Taqiyuddin
mengatakan, 'Syaikh Ibnu Maliki mengatakan, 'Sesungguhnya Allah Subhnahu wa
Ta'ala telah melembutkan pemahaman kepada Majduddin bin Taimiyah (kakek Ibnu
Taimiyah), sebagaimana Dia telah melunakkan besi bagi Nabi Daud Alaihis
Salam.' Ibnu Taimiyah juga berkata, 'Sesungguhnya kakekku (Majduddin)
memiliki suatu keistimewaaan. Bahwa seuatu ketika seorang ulama bertanya kepadanya
tentang suatu masalah ilmiah. Kakekku berkata kepadanya bahwa jawaban masalah
itu ada enam puluh cara. Kemudian ia mengemukakannya satu persatu. Ulama itu
berkata, "Cukup engkau mengulanginya." Sungguh dia tercengang-cengang
dengan kecerdasannya itu.
Ibnu Taimiyah juga berkata, "Sesungguhnya dia memang orang yang
sangat istimewa pada zamannya dalam menukil matan dan menghafal beberapa mazhab
tanpa sedikitpun merasa kesulitan dalam hal itu." Dia meninggal dunia pada
tahun 652 H.
Salah satu karya peninggalannya yang termasyhur adalah kitab Muntaqiyul
Akhbar yang menjadi referensi banyak ulama di setiap masa. Dalam kitab itu
penulisnya mengumpulkan hadits-hadits yang memuat soal fiqih yang dijadikan
dalil dan rujukan bagi ahli mazhab. Pada akhir hayatnya dia meminta seorang
ulama mujtahid besar dari Yaman, yakni Al-'Alamah Muhammad bin Ali Asy-Syaukani
(wafat 1255 M) untuk mensyarahinya menjadi delapan jilid tebal dengan
judul Nailul Authar. Dia tergolong sebagai buku yang yang berbobot di
bidang ilmu pengetahuan dan pengajaran dan penjelasan karena buku itu memang
sangat analitis dan sistematis serta dijamin oleh luasnya wawasan penulis dan
kejelian hatinya.[6]
Syaikh Taqiyuddin mengatakan, "Kami kagum atas kehebatannya mengemukakan
matan dan menghapal pendapat dengan sangat lancar. Pada suatu hari ia mengajak
saudara sepupunya pergi ke Iraq untuk membantunya. Tengah malam saat terbangun,
saudara sepupunya itu mendengar ia mengulang-ulang masalah khilafiyah, sampai
ia hapal masalahnya."
Syaikh Ahmad bin Al-Hasan bin Anu Syarwan Ar-Rumi Al-Hanafi (652-745 Hijriyah)
setiap hari sanggup menghapal tiga ratus baris pelajaran. Selama lebih dari
tujuh belas tahun ia tinggal di Damaskus untuk belajar.
Abu Shalih Ayyub bin Sulaiman menekuni ilmu arudl[7] sampai hapal. Ketika ditanya alasannya kenapa setelah dewasa ia tetap
menekuni ilmu tersebut, ia mengatakan, "Pada
suatu hari aku pernah berada di tengah-tengah kaum yang banyak bicara sehingga
aku merasa rendah diri. Sejak itulah aku bertekad untuk mendalami ilmu
ini."
* * *
(11 )
MEREKA SANGAT MENCINTAI BUKU
Para ulama adalah orang-orang yang sangat mencintai buku. Mereka memiliki
hubungan yang kuat dengan buku. Mereka senang sekali menela'ahnya karena mereka menganggap buku sebagai
gudang dan sumber ilmu.
Al-Mubarrad mengatakan, "Setahuku, ada tiga orang ulama yang sangat
rakus terhadap ilmu. Mereka ialah Al-Jahidz, Al-Fathu bin Khaqan, dan Ismail
bin Ishak Al-Qadhi. Jika Al-Jahizh sedang memegang buku apa saja, ia akan
membacanya sampai habis. Al-Fathu suka menyelipkan buku di khuf-nya. Dan
ketika berdiri meninggalkan Khalifah Al-Mutawakkil untuk keperluan buang air kecil atau untuk shalat, ia keluarkan
bukunya lalu ia baca sambil bejalan sampai ke tempat yang ditujunya. Pulangnya,
ia melakukan hal yang sama sampai tiba di tempat semula. Sementara
Ismail bin Ishak, setiap kali aku bertemu dengannya, pasti ia sedang memegang
buku dan dibacanya, atau sekedar dibolak-balik
untuk mencari informasi buku-buku baru."
Abu Bakar Al-Khayyath An-Nahwi menggunakan seluruh waktunya untuk belajar,
termasuk saat sedang dalam perjalanan. Akibat hobinya itu, ia pernah jatuh ke
dalam lereng bukit, dan diinjak oleh binatang.
Pada suatu hari seorang menteri yang sedang menerima rombongan tamu
memanggil pelayannya, "Hai pelayan! Siapkan untukku teman kesepian dan
pengisi waktu luangku." Mereka mengira sang menteri sedang minta diambilkan minuman kesukaannya. Ternyata si pelayan
muncul dengan membawa keranjang berisi buku yang cukup banyak.
Ahmad bin Imran mengatakan, "Pada suatu hari aku sedang bersama Abu
Ayyub alias Ahmad bin Muhammad bin Syuja' di rumahnya. Ia menyuruh salah seorang pelayannya menemui Abu Abdullah Al-A'rabi yang terkenal
suka berbuat aneh-aneh untuk menyampaikan pesan supaya ia datang menemuinya.
Tidak lama kemudian, si pelayan datang dan berkata, 'Pesan Anda sudah aku
sampaikan. Katanya, ia sedang menerima beberapa orang tamu dari dusun. Kalau
selesai menemui mereka, ia akan segera kemari. Padahal aku tahu persis tidak
ada siapa-siapa di rumahnya. Di depannya hanya ada setumpuk buku yang
dilihatnya satu persatu.'
Belum selesai si pelayan menyampaikan laporan,
tiba-tiba Abu Abdullah muncul. Ia segera disambut oleh Abu Ayyub, 'Wahai Abu Abdullah, Mahasuci Allah! Kenapa lama sekali kamu tidak berkunjung
ke sini. Anda sibuk terus dengan hobimu, ya? Kata pelayanku, tadi tidak ada
siapa-siapa di rumahmu. Akan tetapi, kenapa kamu bilang kalau sedang ada tamu,
dan kamu akan ke sini setelah menemani mereka? Apa maksudmu?' tanya Abu Ayyub.
Abu Abdullah menjawab dengan membacakan sya'ir."
Kami punya teman-teman duduk
Dan kami tak pernah bosan
berbicara dengan mereka
Mereka bisa dipercaya saat aku ada
di rumah maupun sedang pergi
Mereka memberiku ilmu, kepintaran,
pendidikan, dan pendapat yang benar tanpa menimbulkan fitnah yang ditakuti dan
perlakuan buruk Aku juga tidak mengkhawatirkan kejahatan lidah dan tangannya
Jika kamu bilang mereka mati, kamu
tidak bohong
Dan jika kamu bilang mereka hidup,
kamu juga tidak berdusta
Yang unik, konon Al-Jahizh pernah mengontrak beberapa toko buku dan
alat-alat tulis. Malam hari ia suka tidur di tempat tersebut agar bisa membaca
kitab-kitab yang ada.
Ibnu Al-Jauzi Rahimahullah mengatakan,
"Jalan kesempurnaan dalam menuntut ilmu ialah suka menela'ah buku-buku
yang sarat dengan ilmu. Dengan demikian, sebagai seorang yang sedang menuntut
ilmu Anda akan mengetahui kualitas dan kuantitas ilmu para ulama dahulu serta
cita-cita mereka yang sangat tinggi sehingga diharapkan hal itu dapat membantu
melecut semangat belajar Anda. Setiap buku pasti mengandung manfaat. Betapapun
Anda harus membaca perjalanan hidup para ulama salaf, membaca karangan-karangan
mereka, dan memperhatikan kisah-kisah mereka, niscaya Anda akan mengetahui
siapa mereka sebenarnya, seperti kata seorang penyair:
Aku akan melihat perkampungan rumah dengan mata kepalaku
supaya aku
bisa melihat perkampungan rumah yang pernah aku dengar
Aku ingin memberitahukan tentang keadaanku sendiri bahwa aku
tidak merasa kenyang untuk membaca buku. Setiap kali melihat sebuah buku yang
belum pernah aku lihat, aku seakan-akan berada di sebuah gudang penyimpanan
harta.
Aku pernah melihat buku-buku yang diwakafkan di madrasah An-Nizhamiyah.
Jumlahnya ada enam ribuan jilid. Di antaranya ada buku-buku karya Imam Abu
Hanifah, karya Al-Humaidi, karya Syaikh Abdul Wahab bin Nashir, karya Abu
Muhammad bin Al-Khasysyab, dan masih banyak lagi buku-buku yang tidak bisa aku
ketahui satu persatu.
Selama menuntut ilmu, aku telah membaca buku sebanyak dua puluh ribu
jilid. Dengan rajin membaca buku, aku bisa mengetahui sejarah para ulama salaf,
cita-cita mereka yang tinggi, hapalan mereka yang luar biasa, ketekunan
ibadah-ibadah mereka, dan ilmu mereka yang aneh-aneh. Semua itu jelas tidak
mungkin diketahui oleh orang yang malas membaca.
Itulah sebabnya dalam hal hobi membaca aku mempunyai kelebihan tersendiri
dibanding kebanyakan manusia. Aku sangat prihatin atas cita-cita para penuntut
ilmu sekarang ini. Dan segala puji adalah milik Allah."
Selain mengandung banyak manfaat yang melimpah ruah dan merupakan
kebanggaan besar, buku adalah harta yang paling mulia dan keindahan yang paling
berharga. Buku adalah teman duduk yang paling setia, pelipur lara yang paling
menyenangkan, dan teman keluh-kesah yang paling bisa dipercaya. Itulah
sebabnya para ulama sangat antusias dalam mengoleksi buku-buku dan membacanya.
Ibnu Hajar Rahimahullah, misalnya, dalam kitabnya Al-Durar Al-Kaminat
menceritakan tentang Ibnul Qayyim, "Ia sangat hobi mengoleksi buku
sehingga ia berhasil memiliki koleksi buku yang tidak bisa dihitung jumlahnya.
Setelah ia meninggal dunia, anak-anaknya menjual buku-buku peninggalannya dalam
waktu yang cukup lama karena saking banyaknya, kecuali buku-buku tertentu yang
mereka gunakan sendiri."
Yahya bin Mu'in meninggalkan warisan buku sebanyak seratus empat-belas
lemari dan empat tas berukuran sangat besar, yang semuanya penuh dengan buku.
Tentang Ibnu Al-Mulaqqan, Ibnu Hajar mengatakan, "Ia mengoleksi banyak buku. Pada suatu hari aku
mendengar kabar -ketika penyakit tha'un tengah melanda negerinya- ia bermaksud
untuk menjual buku-buku hadits miliknya dengan harga yang berlaku saat itu.
Merasa tertarik, aku segera ke rumahnya dengan membawa uang dirham satu tas.
Aku berhasil memborong kitab-kitabnya, termasuk di antaranya ialah kitab Musnad Imam Ahmad seharga tiga puluh
dirham."
Al-Hafizh Adz-Dzahabi dalam kitabnya Sair
A'lam Al-Nubala' bercerita tentang Al-Qadhi Abdurrahim bin Ali Al-Lakhmi,
yang terkenal suka mengoleksi buku, "Aku dengar koleksi bukunya mencapai
seratus ribu jilid. Dan ia mendapatkannya dari berbagai negara."
Muhammad bin Abdullah As-Sulami Al-Marasi Al-Andalusi adalah seorang ulama
yang gemar menulis, membaca, dan mengumpulkan kitab-kitab berharga yang cukup
banyak jumlahnya. Pada peristiwa penaklukan Andalusia, ia ikut menyumbang uang
hasil dari penjualan sebagian bukubukunya.
Al-Adfawi mengatakan, "Guruku, Al-Qadhi Abu Abdullah alias Muhammad
bin Jama'ah, pernah bertemu dengan Amin Al-Hakam di Kairo. Amin Al-Hakam sedang
giat mengupayakan harta buat anak-anak yatim. Ia bercerita kepadaku, 'Pada
suatu hari aku kedatangan Syaikh Taqiyyudin Ibnu Daqiq Al-'Idi. Ia mengaku
punya hutang kepada anak-anak yatim. Aku lalu berusaha menjadi perantara dan mempertemukan
ia dengan Amin Al-Hakam. Untuk membayar tanggungannya, aku lalu memutuskan Ibnu
Daqiq Al-'Idi wajib mengajarkan pelajaran agama di madrasah Al-Kamiliyah tanpa
digaji. Setelah itu aku meminta ma'af kepada Ibnu Daqiq. Dan ia menjawab, 'Ini
terjadi padaku gara-gara hobiku mengoleksi kitab'."
Istri Imam Az-Zuhri Rahimahullah pernah berkata, "Demi Allah, buku-buku ini lebih memberatkan aku
daripada tiga orang madu."
Sulaiman Al-Amiri mengatakan:
Perempuan itu berkata,
kenapa kamu belanjakan seluruh
uang yang kamu dapat untuk membeli kitab?
Aku jawab, "Biar saja,
barangkali aku akan dapatkan kitab
yang akan membuat aku menerima kitab catatan amal dengan tangan kananku di
akhirat nanti"
Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan, "Pada suatu hari aku menjenguk seseorang yang sedang terserang penyakit pusing dan demam. Saat aku
tiba di rumahnya, kebetulan ia sedang tidur. Sementara di dekat kepalanya
terdapat sebuah buku. Setiap kali terbangun ia membacanya, dan setiap kali
mengantuk ia meletakkannya kembali. Melihat hal itu, sampai-sampai dokter yang
memeriksanya memberikan nasihat, 'Kamu jangan banyak bergerak, termasuk membaca
sebab hal itu akan memperlambat proses kesembuhanmu'."
Seorang dokter mengunjungi Abu Bakar Al-Anbari yang sedang menderita sakit cukup parah. Setelah memeriksa air seni
pasiennya, sang dokter berkata, ''Anda biasa melakukan sesuatu yang tidak lazim
dilakukan oleh siapapun." Ketika akan pamit pulang, sang dokter bertanya,
"Sebenarnya apa yang Anda lakukan?" Abu Bakar Al-Anbari menjawab,
"Setiap minggu aku sanggup menulis sebanyak sepuluh lembar."
Syaikh Raghib Ath-Thabbakh Rahimahullah berkata, "Syaikh Ahmad Al-Hijar Rahimahullah suka mengoleksi buku. Konon kabarnya, setiap kali melihat
ada buku dijual, sementara ia tidak membawa uang, ia tidak segan-segan menanggalkan salah satu pakaian yang tengah
dikenakannya untuk dijual, lalu seketika itu uangnya ia gunakan untuk membeli
buku tersebut."
Pada suatu hari Syaikh Ala'uddin alias Ibnu Nafis
masuk ke sebuah tempat pemandian yang terletak di dekat pintu gerbang monumen
Zahumah. Saat sedang mandi, tiba-tiba ia menuju ke tempat ganti pakaian dan
minta kepada pelayannya agar diambilkan tinta, pena, dan kertas. Setelah menulis
sebuah artikel tentang masalah kedokteran, ia kembali lagi untuk meneruskan mandinya.
* * *
(12)
CITA-CITA TERTINGGI MEREKA
DALAM MENGAJARKAN DAN MENYEBARLUASKAN ILMU
Diceritakan oleh Amr bin Sawad, "Imam Asy-Syafi'i pernah bercerita kepadaku,
'Aku dilahirkan di Asqalan. Pada usia dua tahun, aku dibawa ke Makkah. Aku
punya dua cita-cita: pandai memanah dan bisa menuntut ilmu. Cita-cita yang pertama berhasil aku raih
karena bidikan panahku hampir selalu tepat mengenai sasaran. Yang belum tercapai
ialah ilmu. Akan tetapi aku selalu meyakinkan kepada diriku sendiri, 'Demi
Allah, kamu akan berhasil di bidang ilmu daripada di bidang memanah'."
Asy-Syafi'i juga dikenal piawai dalam bidang sastra dan tata bahasa. Al-Qadhi
Ibnu Khalkan mengatakan, "Al-Ashmu'i (122-212 Hijriyah), seorang ulama besar di bidang sastra dan tata bahasa, pernah
membacakan sya'ir-sya'ir kaum Hudzili kepada Asy-Syafi'i. Al-Ashmui berkata,
'Pada suatu hari seorang ulama ahli silsilah keturunan dari Iraq berbicara
dengan Asy-Syafi'i tentang ilmu ini. Dikarenakan mereka sama-sama ahlinya,
maka pembicaraan berlangsung cukup seru dan menarik. Beberapa lama kemudian
Asy-Syafi'i berkata kepada si Ulama dari Iraq tadi, 'Orang seperti kita ini
tidak layak membicarakan silsilah keturunan laki-laki dari jalur ayah.
Sebaiknya mari kita bicara saja tentang silsilah mereka dari jalur ibu'."
Pada suatu hari di Fistat, Asy-Syafi'i bertemu dengan beberapa orang yang
sedang menuntut ilmu. Setelah berbicara sebentar, mereka yakin Asy-Syafi'i memiliki pengetahuan yang mendalam tentang
disiplin ilmu kedokteran yang secara khusus sedang mereka tekuni. Mereka
meminta kesediaan Asy-Syafi'i meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan mereka.
Ia kemudian menunjuk beberapa orang ulama ahli fiqih yang sedang berdiri
menunggunya di dekat pagar masjid jami' Amr bin Al-'Ash seraya berkata, 'Bilang
kepada mereka (beberapa ulama ahli fiqih yang sedang menunggu), apakah mereka
mau memberikan waktu kepadaku untuk memenuhi permintaan kalian terlebih
dahulu?'"
Rabi' bin Sulaiman Al-Muradi (174-270 Hijriyah), seorang perawi kitab-kitab tulisan Asy-Syafi'i dan salah seorang teman istimewanya, juga
orang yang pertama mendiktekan hadits di masjid jami' Ibnu Thalun, bercerita,
"Ketika Asy-Syafi'i tiba di Fistat, ia bergaul dengan Abdullah bin Al-Hakam
dan beberapa teman diskusinya. Wajah Asy-Syafi'i yang cukup tampan ditambah
akhlaknya yang baik, membuat ia disenangi oleh banyak penduk Mesir, terutama
para ulama ahli fiqih dan kaum intelektual. Setiap kali selesai shalat subuh,
ia biasa mengadakan halaqah di masjid jami' Amr bin 'Ash. Para ulama ahli Al-Qur'an
sama berdatangan, dan mereka menanyakan beberapa pertanyaan kepadanya tentang
masalah-masalah yang menyangkut Al-Qur'an. Memasuki waktu pagi, giliran para
ulama ahli hadits yang berdatangan. Mereka menanyakan tentang makna-makna dan
tafsir hadits. Ketika hari beranjak siang, halaqah dibuka untuk umum. Setelah
itu halaqah dibuka untuk para ulama ahli bahasa Arab, ahli nahwu, dan ahli
sastra, dan berakhir menjelang waktu dhuhur. Selepas shalat dhuhur, Asy-Syafi'i
baru bisa pulang ke Fistat.
Selama empat tahun tinggal di
Fistat, Asy-Syafi'i telah mendikte seribu lima puluh hadits, menyelesaikan
kitab Al-Umm setebal dua ribu lembar,
kitab As-Sunan, dan karya-karyanya yang lain. Semua itu ia selesaikan
dalam waktu selama empat tahun. Padahal waktu itu ia sedang menderita sakit
ambeien yang sudah cukup serius. Bahkan, saat menaiki kendaraan ia mengeluarkan
darah sehingga celana dan sepatu yang dipakainya berlumuran darah."
Sufyan
Ats-Tsauri pernah berkata, "Jika para ulama
ahli hadits tidak datang kepadaku, maka akulah yang mendatangi rumah
mereka."
Ia juga
berkata, "Begitu aku tahu ada
seseorang yang sudah berniat mencari hadits, aku akan datangi rumahnya untuk
menceritakan hadits kepadanya."
Ibnul
Qasim alias Isa bin Dinar pernah memberikan pesan, "Singgahlah kamu di kota
besar Andalusia. Dan jangan singgah di suatu tempat yang membuat ilmumu menjadi
tidak ada gunanya."
Imam Al-Hammam
alias Ibnu Hazm Al-Andalusia Rahimahullah adalah
sosok ulama yang punya cita-cita sangat tinggi. Ia pernah mengatakan dalam
bait-bait sya'irnya:
Obsesiku di dunia
adalah ilmu-ilmu yang akan aku
sebarkan di setiap dusun dan kota
Seruan mendalami Al-Qur'an dan as-sunnah
yang sudah banyak dilupakan
oleh orang-orang pada zaman
sekarang
Berjuanglah di daerah perbatasan
musuh dan saat perang berkobar
Akulah orang pertama yang akan
maju ke medan laga tanpa rasa gentar
Aku akan berjuang mati-matian
melawan kaum kafir
karena bagi anak muda, kematian
paling terhormat ialah mati melawan orang kafir
Ya Rabb, tolong peliharalah
semangatku ini
dan jangan jadikan aku termasuk
orang-orang yang takut masuk ke liang kubur
* * *
(13)
CITA-CITA
TINGGI MEREKA DALAM MENULIS
Abdurrahman Al-Khathib Al-Baghdadi mengatakan, "Aku pernah mendengar
Ali bin Abdullah bin Abdul Haffar Al-Lughawi bercerita, 'Sesungguhnya Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (wafat
tahun 310 Hijriyah) selama empat puluh tahun tinggal di rumah. Setiap hari ia
mampu menulis sebanyak empat puluh lembar'."
Ini artinya, Muhammad bin Jarir Ath-Thabari telah menulis
hampir lima ratus delapan puluh empat ribu (584.000) lembar. Bukan main. Benar-benar fantastis.
Orang yang tidak mengenal ulama besar dalam sejarah umat manusia yang satu
ini, sangat boleh jadi merasa bingung dan tercengang melihat angka yang sangat
fantastis tersebut. Akan tetapi, ia tidak perlu lagi bingung jika mengetahui
reputasi ulama ini yang begitu besar, cita-citanya yang sangal tinggi,
hasratnya yang luar biasa, dan semangatnya yang selalu menyala-nyala. Ulama ini
memanfaatkan setiap detik waktunya sekalipun ketika sudah hampir menjelang
ajal. Dia memiliki tanggung jawab terhadap misi yang diembannya. Usianya yang
panjang namun penuh berkah diisi dengan keikhlasan dan kejujuran niatnya. Kita
akan dapat memahami produktivitas ilmunya yang luar biasa tersebut.
Dalam biografi Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Ustadz Muhammad Kurdi Ali
mengatakan, "Ia sama sekali tidak mau kehilangan waktunya barang satu
detik pun untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya."
Karangan-karangan Imam Ath-Thabari Rahimahullah dalam berbagai displin ilmu serba prima, baik dari segi ketajaman,
kesungguhan, metode, sistematika, keluasan, kedalaman, dan kematangannya. Tidak heran jika
tokoh-tokoh ulama ahli sejarah maupun ahli tafsir sangat menaruh respek
kepadanya. Bahkan, ia diberi gelar sebagai pemilik madzhab fiqih yang spesifik.
Sehubungan dengan kedudukannya yang sangat tinggi lewat tulisan-tulisannya tersebut, saya jadi ingat pada apa yang pernah dikatakan oleh
Abu Hamid Ahmad bin Abu Thahir Al-Isfirayini, "Seandainya seseorang pergi
ke China dan mendapatkan kitab Tafsir Muhammad bin Jarir, hal itu bukanlah sesuatu yang aneh."
Kitab tafsir yang disebutkan tadi, yang dicetak dalam tiga puluh juz karena saking besar dan
luasnya memang sangat spektakuler. Abdurrahman Al-Khathib
Al-Baghdadi bercerita, "Pada suatu hari Abu Ja'far (Muhammad bin Jarir) Ath-Thabari
bertanya kepada sahabat-sahabatnya,
'Apakah kalian
ingin mengulas tafsir Al-Qur'an karyaku?'
'Ada berapa
lembar?' tanya mereka.
'Tiga puluh
ribu lembar,' jawabnya.
Seketika mereka terkesima dan berkata, 'Seumur hidup
kami tidak sanggup melakukannya.' Akhirnya, Ath-Thabari meringkasnya hanya
menjadi tiga ribu lembar saja.
Kemudian,
Ath-Thabari juga bertanya kepada mereka,
'Apakah kalian juga ingin mengulas kitab sejarah dunia mulai dari Nabi
Adam hingga sekarang ini?'
'Ada berapa
lembar?' mereka balik bertanya. 'Sama seperti kitab tafsirku tadi,' jawabnya.
Lagi-lagi mereka terkesima dan berkata, 'Seumur hidup kami tidak sanggup
melakukannya.' Mendengar itu ia berkata, 'Inna lillahi. Matilah
cita-cita!' Selanjutnya, ia mendiktekan hanya sekitar tiga ribu lembar
saja."
Imam Al-Baihaqi menulis kitab seribu juz.
Semuanya merupakan tulisan murni yang langka dan sarat dengan faidah. Untuk
menyelesaikan karyanya ini, ia sampai harus berpuasa selama tiga puluh tahun.
Prestasi yang sama juga dicapai oleh Imam Abul Wafa' alias Ali bin Aqil Al-Hanbali Al-Baghdadi yang wafat
pada tahun 513 Hijriyah. Tentang ulama besar yang satu ini, Imam Ibnu Taimiyah
memberikan komentarnya, "Sesungguhnya ia adalah termasuk salah satu orang
jenius dunia. Rupanya waktu yang ia pelihara dengan baik telah membuahkan hasil
sebuah karya kitab sangat besar yang ia perkenalkan kepada dunia." Itu
adalah kitab Al Funun yang sebanyak delapan ratus jilid.
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam biografi Abul Wafa' Ali bin Aqil Al-Hanbali
Al-Baghdadi berkata, "Karya Ali bin Aqil Al-Hanbali Al-Baghdadi yang
paling besar ialah kitab Al-Funun. Kitab yang sangat besar ini penuh dengan faidah tentang nasihat, tafsir,
fiqih, ushul, nahwu, bahasa, sya'ir, sejarah, dan hikayat. Kitab ini juga
memuat sejumlah catatan diskusinya dengan teman-temannya, ungkapan-ungkapan
kekhawatirannya, dan hasil-hasil pikirannya."
Ibnu Al-Jauzi mengatakan, "Ali bin Aqil Al-Hanbali
Al-Baghdadi mempunyai pikiran yang cemerlang dan pengamatan yang cermat. Konon
nama kitabnya Al-Funun sangat cocok
dengan pikiran-pikiran dan realitas-realitas
dirinya. Siapa yang mau memperhatikan realitas-realitas ulama ini, ia akan tahu
yang sebenarnya."
Cucu Ibnu Al-Jauzi mengatakan, "Kakekku meringkas
kitab Al-Funun tersebut ke dalam sepuluh jilid, yang ia muat dalam
beberapa karangannya. Aku membaca sebagiannya di Baghdad, di hadapan keluarga
besar Al-Ma'mun. Di dalamnya ada
hikayat-hikayat, perdebatan-perdebatan, keanehan-keanehan, dan
sya'ir-sya'ir."
Al-Hafizh Adz-Dzahabi mengatakan, "Kitab Al-Funun yang terdiri lebih dari empat ratus jilid, yang berisi tentang
kisah perjalanan hidupnya bersama tokoh-tokoh utama dan para muridnya dengan
sangat cermat."
Adz-Dzahabi dalam kitabnya Tarikh Al-Dzahabi juga mengatakan,
"Di dunia ini tidak ada karangan yang lebih besar daripada kitab ini.
Selain dari Ibnu Rajab, aku juga mendapat cerita dari Abu Hafash Umar bin Ali
Al-Qazuwaini di Baghdad, yang mengaku
pernah mendengar dari gurunya bahwa kitab tersebut sebanyak delapan ratus
jilid."
Al-Hafizh Ibnu
Asakir menulis kitabnya Tarikh Damsyiq sebanyak delapan puluh jilid yang cukup tebal.
Imam Abu Hatim Ar-Razi menulis kitabnya Al-Musnad sebanyak seribu juz. Imam Abul Faraj alias Abdurrahman bin
Ali bin Muhammad Al-Jauzi, murid Ibnu Aqil yang wafat
pada tahun 597 Hijriyah, dan salah seorang ulama terkemuka yang menjadi panutan
dalam hal menghargai waktu, pernah berkata, "Pada akhir usianya, aku
pernah mendengar Abu Hatim Ar-Razi berkata di atas mimbar, 'Aku tulis dua ribu
jilid kitab ini dengan tanganku sendiri. Ada seratus ribu orang yang bertaubat
dan dua puluh ribu orang Yahudi serta orang Nasrani yang masuk Islam setelah
membaca kitabku ini'."
Syaikh Abul Faraj juga berkata, "Kalau kita perkirakan yang ia baca
sebanyak dua puluh ribu jilid, lalu kita hitung secara rata-rata setiap
jilidnya ada tiga ratus lembar, maka jumlah yang telah dibacanya ada enam juta
lembar. Itu baru yang ia revisi dan ia baca. Belum yang ia tulis dan ia
susun!"
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah dalam kitabnya Ujubat Al-Mishriyat mengatakan, "Syaikh Abul Faraj adalah seorang mufti agung yang
memiliki banyak tulisan atau karangan tentang berbagai disiplin ilmu. Sepanjang
yang saya tahu, ada seribu lebih."
Al-Hafizh Adz-Dzahabi mengatakan, "Setahu saya, tidak ada seorang
ulama pun yang mampu menulis seperti ulama yang satu ini."
Hampir setiap disiplin ilmu ditulis oleh Abul Faraj. Sebagian ada yang tebalnya sampai
dua puluh jilid, dan sebagian lagi merupakan risalah kecil.
Al-Muwaffiq Abdul Lathif, sebagaimana yang dikutip oleh Adz-Dzahabi
mengatakan, "Sesungguhnya ia adalah seorang ulama yang tidak mau
membuang-buang waktunya barang sekejap pun."
Abul Faraj Rahimahullah sendiri pernah
mengatakan, "Aku melihat banyak orang yang mencoba menyeretku dalam
tradisi melakukan kunjungan-kunjungan, dan mereka menamakan hal itu sebagai
khidmat. Sambil duduk-duduk mereka membicaraan hal-hal yang tidak ada
manfaatnya. Bahkan, terkadang sampai mempergunjing orang lain.
Itulah yang dilakukan oleh banyak orang pada zaman kita sekarang ini,
terutama pada hari raya dan pada hari-hari tertentu lainnya. Anda lihat mereka
saling mengunjungi satu sama lain. Mereka tidak hanya sekedar saling
mengucapkan selamat. Juga saling berbicara dan bercanda ke sana ke mari dengan
membuang-buang waktu.
Bagiku, sesungguhnya waktu adalah sesuatu sangat mulia, yang wajib
dimanfaatkan untuk melakukan kebajikan-kebajikan. Oleh karena itulah,
menghadapi mereka aku berada dalam sebuah dilema. Kalau aku mengingkari tradisi
mereka itu, aku akan sendirian. Akan tetapi, kalau aku menerimanya, aku pasti
akan kehilangan banyak waktu. Akibatnya, aku jelas akan rugi.
Kemudian, aku meluangkan waktu-waktu tertentu untuk bertemu dan
bercakap-cakap dengan mereka supaya waktuku tidak ada yang berlalu kosong
begitu saja. Aku menunjuk seorang asisten yang bertugas mendaftar tamutamu
yang ingin bertemu denganku. Demi efesiensi waktu, tenaga, dan pikiran hal ini
harus aku lakukan."
Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah menulis lebih dari empat ratus karangan tentang berbagai disiplin
ilmu. Ibnul Qayyim memberikan komentar, "Aku melihat kekuatan Syaikh Al-Islam
Ibnu Taimiyah dalam tradisi-tradisinya, ucapannya, dan keberaniannya. Ia adalah
seorang penulis yang sangat produktif."
Ibnu Nafis Rahimahullah merupakan salah
seorang ahli kedokteran, juga seorang penulis hebat pada zamannya. Imam At-Taju
As-Subki mengomentarinya, "Dalam bidang kedokteran, di muka bumi tidak
ada orang yang sepertinya. Selain Ibnu Sina, tidak ada yang sanggup menandingi
reputasinya. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa Ibnu Nafis Rahimahullah lebih hebat daripada Ibnu Sina."
Dokter penemu ini berhasil menulis sebuah kitab tentang
kesehatan yang ia beri judul Al-Syamil. Tentang kitab yang sangat monumental ini, At-Taju As-Subki memberikan
komentar, "Konon ada yang mengatakan, 'Kalau disempurnakan, kitab ini bisa
sebanyak tiga ratus jilid. Akan Tetapi, ia hanya menulis delapan puluh jilid
saja.' Hebatnya, ia sanggup mendiktekan tulisan-tulisannya di luar
kepala."
Jika Ibnu Nafis Rahimahullah hendak menulis,
terlebih dahulu ia menyiapkan pena-penanya. Dan setelah menoleh ke sana ke
mari, ia mulai menulis dengan penuh konsentrasi. Ia menulis seperti air bah
yang terus mengalir deras. Jika penanya patah, ia segera menggantinya dengan
pena lain yang sudah ia sediakan sebelumnya supaya ia tidak sampai
membuang-buang waktu.
As-Suyuthi diberi gelar "anak kitab". Ceritanya, pada suatu hari
ayahnya menyuruh istrinya untuk mengambilkan kitab di perpustakaan pribadi.
Dan ketika berada di ruang perpustakaan itulah ibunya melahirkan As-Suyuthi
sehingga ia diberi gelar "anak kitab." Gelar terhormat tersebut patut
disandang oleh As-Suyuthi, yang setelah dewasa mendapatkan gelar tambahan,
"bapak kitab." Karangan-karangannya mencapai sekitar enam ratus. Dan
itu tidak termasuk yang ia hapus.
* * *
(14)
CITA-CITA
MEREKA TIDAK MENGENAL USIA TUA
Al-Bukhari Rahimahullah dalam kitabnya Shahih Al-Bukhari mengatakan, "Beberapa
orang shahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam belajar pada usia tua mereka."
Diceritakan oleh Nu'aim bin Hammad, "Pada suatu hari Ibnu Al-Mubarak
ditanya, 'Sampai kapan Anda akan terus menuntut ilmu?' Ia menjawab, 'Insya
Allah sampai mati'."
Mu'adz berkata, ''Aku bertanya kepada Abu Amr Al-Ala', 'Sebaiknya sampai
kapan seseorang belajar?' Ia menjawab, 'Selama ia masih hidup'."
Al-Imam Ibnu Aqil Rahimahullah, yang ketika dalam usia sepuluh tahun sudah punya cita-cita yang tinggi
menceritakan pengalamannya, "Pantang bagiku membuang-buang usia hidupku
barang sekejap pun. Bahkan ketika lidahku sedang tidak aku gunakan untuk
membaca pelajaran mataku juga sedang tidak aku gunakan untuk melihat pelajaran,
maka di senggang aku gunakan pikiranku untuk tetap berproduksi. Aku sama sekali tidak mau menganggur. Aku merasa pada usia delapan tahun hasratku
mendapatkan ilmu jauh lebih besar daripada ketika aku sudah berusia sepuluh
tahun."
Tekadku,
semangatku, akhlak-akhlakku,
kesetiaanku, agamaku, dan kemuliaanku
tidak akan pernah tua
meski kepalaku sudah nampak tua
Bagiku, uban di kepala itu tidak
sama seperti uban dalam cita-cita
Az-Zarnuji mengatakan, "Hasan bin Ziyad memperdalam agama ketika ia sudah berusia delapan puluh tahun, dan selama
empat puluh tahun ia tidak pernah tidur nyenyak di atas ranjang."
Al-Hafizh Adz-Dzahabi dalam biografi Abul Faraj bin Al-Jauzi mengatakan
sebagai berikut, "Abul Faraj belajar membaca Al-Qur'an yang baik kepada
Ibnu Al-Baqilani ketika ia sudah berusia delapan puluh tahun. Waktu itu ia
ditemani putranya, Yusuf. Demikian yang dikutip oleh Ibnu Naqthat dari Al-Qadhi
Muhammad bin Ahmad bin Al-Hasan."
Imam Ibnu Al-Jauzi mengatakan sendiri:
Aku selalu
memohon kepada Allah semoga Dia memperpanjang usiaku
sehingga aku mendapatkan nikmat-nikmat
yang ada dalam niatku
Aku punya cita-cita mendapatkan
ilmu sebanyak mungkin
karena hal itu merupakan surga
yang penuh karunia
Bagiku, majelis ilmu itu laksana
surga
Imam Al-Qaffal[8]
menuntut ilmu ketika usianya sudah mencapai empat puluh tahun. Kendatipun dalam
usia yang sudah relatif tua tersebut, ia tetap bersemangat. Pada
suatu hari ia menyaksikan seseorang sedang menarik seekor sapi. Tiba-tiba
talinya tersangkut seonggok batu besar. Dan karena terus-terusan digesek,
akhirnya batu itu pecah. Ia lalu menghampiri orang itu dan berkata,
"Carilah lagi, dan jangan pernah bosan mencarinya."
Carilah,
dan jangan bosan mencari
Petaka bagi yang mencari ialah
rasa bosan
Kamu lihat seutas tali yang
terus-menerus
digesekkan pada batu besar akan
pecah
Al-Qaffal terus menekuni mencari ilmu, sampai akhirnya ia menjadi salah seorang imam besar,
sekaligus kritikus dunia.
Diceritakan bahwa Imam Abu Muhammad bin Hazm Rahimahullah menuntut ilmu ketika ia sudah berusia dua puluh enam tahun.
Abu Muhammad bin Al-Arabi mengatakan, "Sejak akil baligh hingga berusia
genap dua puluh enam tahun, Abu Muhammad tinggal di lingkungan penguasa. Pada
suatu hari ia merasa gelisah karena di usianya yang sudah cukup dewasa tersebut
ia belum tahu banyak tentang tata cara shalat."
Dalam riwayat lain, Abu Muhammad bin Al-Arabi mengatakan, "Syaikh Al-Imam
Abu Muhammad alias Ali bin Ahmad bin Sa'ad bin Hazm bercerita kepadaku bahwa
alasan kenapa ia memperdalam ilmu fiqih ialah ketika pada suatu hari ia melihat
jenazah seorang kakek teman akrab ayahnya. Ibnu Hazm masuk masjid sebelum waktu
shalat ashar. Di sana sudah ada banyak orang. Ia langsung duduk tanpa melakukan
shalat tahiyatul masjid terlebih dahulu. Melihat hal itu gurunya berkata,
'Berdirilah. Kamu harus shalat tahiyatul masjid dahulu.' Dia hanya diam saja
karena tidak paham. Ia benar-benar tidak tahu kalau ucapan gurunya itu
ditujukan kepadanya. Orang-orang yang duduk di sebelahnya berkata sambil
mengejek 'Setua ini kamu ternyata belum tahu kalau shalat tahiyatul masjid itu
wajib.'[9] Mendengar
ejekan mereka itu, dia lalu bangkit untuk shalat. Belakangan dia baru menyadari
bahwa ucapan guruku tadi ditujukan kepadanya.
Selesai menshalati jenazah bersama kaum kerabat dekat keluarga yang sedang
berduka, dia masuk masjid dan langsung shalat. Akan tetapi, tiba-tiba
seseorang berkata kepadanya, 'Duduklah. Ini bukan waktunya shalat.' Seketika
itu dia keluar dengan perasaan sedih. Dia merasa, sangat terhina. Beberapa hari
setelah peristiwa yang memalukan itu dia menemui gurunya. Dia meminta gurunya untuk menunjukkan rumah seorang ulama ahli fiqih yang
bernama Abu Abdullah bin Dahun. Dia ingin bertemu dengan ulama tersebut.
Setelah mendapatkan alamatnya, dia segera ke sana. Setelah menceritakan
pengalamannya, dia lalu meminta ulama tersebut untuk mengajarinya membaca
kitab. Dia diajari membaca kitab Al-Muwatha', karya Imam Malik bin Anas Radhiyallahu
Anhu. Selain kepada Abu Abdullah bin Dahun selama tiga tahun dia
juga mengaji kepada ulama-ulama lainnya sehingga akhirnya dia sudah mulai berani
berdebat."
Umar bin Wajib bercerita, "Aku sedang bersama ayahku di Balnasiah mengaji tentang berbagai
madzhab kepada Abu Muhammad bin Hazm. Aku sangat kagum padanya. Ketika
menanyakan kepada seorang peserta pengajian tentang suatu masalah fiqih, ia
mendengar jawaban yang bernada menyangkal dan mengejek. Seketika itu ia
langsung berdiri dan masuk ke rumahnya. Lama sekali ia tidak pernah keluar
rumah. Beberapa bulan berikutnya kami datang lagi ke tempat tersebut. Kami
melihat ia sedang berdebat dan mampu menguasainya. Ia mengatakan, 'Sedapat
mungkin aku hanya mengikuti kebenaran. Aku tidak terikat dengan suatu
madzhab'."
Dalam kitab Akhbar Al-Ulama' diceritakan tentang biografi Yahya An-Nahwi, "Sesungguhnya ia adalah seorang
nelayan yang menjual jasa menyeberangkan manusia dengan perahunya. Ia sangat
mencintai ilmu. Pada suatu hari ketika tengah menyeberangkan rombongan santri
yang mengaji di semenanjung Iskandaria, ia mendengar mereka berdiskusi
membicarakan berbagai ilmu. Seketika itu ia merasa tertarik untuk ikut menuntut
ilmu. Ia selalu memikirkan keadaan dirinya yang sudah berusia empat puluh lima
tahun namun belum mengerti apa-apa, selain hanya tahu tentang urusan perahu.
Saat sedang merenung itulah, tiba-tiba ia melihat seekor semut yang sedang
berusaha keras membawa naik sebutir biji korma yang nampaknya sangat berat.
Setelah bersusah payah akhirnya semut itu berhasil. Ia lalu berkata dalam
batin, 'Binatang lemah seperti semut ini saja mampu mewujudkan keinginannya
dengan berusaha keras. Masak aku tidak mampu?'"
Seketika itu ia lalu keluar rumah untuk menjual perahunya. Setelah
mendapatkan uang, ia lalu belajar di sebuah pesantren. Setelah dengan tekun mempelajari ilmu nahwu, bahasa, dan manthiq,
lama-lama ia sanggup menguasai ilmu-ilmu tersebut dan menjadi terkenal. Bahkan,
akhirnya ia sanggup menulis beberapa kitab sehingga sampai-sampai Amr bin Al-Ash
sangat kagum padanya."
- Syaikh Izzuddin Abdus
Salam seorang ulama besar, pada mulanya adalah orang yang sangat miskin dan
sombong.
- Syaikh Ahmad bin Ibrahim bin Al-Hasan Al-Qina'i mendalami ilmu fiqih,
nahwu, dan lainnya ketika ia sudah berusia tiga puluh tahun. Dan berkat
ketekunannya ia menjadi pintar. Di negerinya ia mengajar orang banyak. Ia mampu menghapal empat ratus baris
isi kitab hanya dalam waktu satu hari. Kemudian, sisa-sisa hari tuanya ia
habiskan buat melakukan ketaatan-ketaatan kepada Allah hingga wafat pada tahun
728 Hijriyah.
- Syaikh Yusuf bin Ruzqullah adalah orang yang dikaruniai usia panjang oleh Allah. Dia berusia sampai sembilan puluh
tahun. Kendatipun pendengarannya sudah tidak normal lagi, namun
indera-inderanya yang lain masih cukup tajam. Semangatnya masih seperti
semangat orang yang baru berusia tiga puluh tahun. Ia wafat ketika sedang
melakukan penandatanganan di Shafad pada tahun 745 Hijriyah.
Dengan ketekunan dan kesabaran, Syaikh Ahmad bin Abdul Qadir Al-Qisi
Al-Hanafi An-Nahwi berhasil mendapatkan banyak ilmu, bahkan ia sanggup menguasainya. Pada masa akhir hayatnya, ia
memfokuskan diri untuk mencari hadits. Pada suatu hari ia diejek oleh seseorang
ketika menceritakan hadits kepadanya karena
dianggap sudah tidak punya pendengaran yang normal sehingga riwayat haditsnya
perlu diragukan. Ia lalu menulis beberapa bait sya'ir:
Setelah tua begini,
pendengaranku diragukan oleh
banyak orang yang memang suka mengejek
Mereka bilang, aku ini imam yang
sudah punya banyak ilmu
tetapi masih serakah pergi mencari
dan mendengar hadits
Aku katakan, mereka itu tidak tahu
kenapa aku harus pergi
Apakah aneh jika seseorang gigih
mengejar kemuliaan yang terlambat ia raih?
* * *
(15)
MEREKA BERCITA-CITA TINGGI
DALAM MENCARI DAN MENGAJARKAN ILMU SAMPAI AKHIR HAYAT
Diceritakan oleh Al-Mu'afa bin Zakaria dari seorang perawi yang bisa dipercaya,
sesungguhnya ia ikut menunggui Abu Ja'far Ath-Thabari Rahimahullah saat ia hendak
menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dan ketika mendengar ada yang membaca doa
ijazah dari Ja'far bin Muhammad, Abu Ja'far Ath-Thabari minta diambilkan tinta,
pena, dan kertas lalu ia menulisnya. Seorang temannya bertanya dengan heran, "Dalam keadaan seperti ini
Anda masih sempat menulis doa?" Ia menjawab, "Seseorang harus tetap
menimba ilmu sampai mati."
Diceritakan oleh Furqad bahwasanya imam masjid Bashrah yang bernama Sufyan
ketika tengah menghadapi ajal dijenguk oleh beberapa temannya. Seorang di antara
mereka menceritakan hadits kepada Sufyan. Merasa tertarik, Sufyan lalu
menyelipkan tangannya ke bawah tikar kemudian mengeluarkan papan tipis dan
menulisnya. Mereka bertanya dengan heran, "Dalam keadaan seperti ini Anda
masih sempat menulis hadits?" Sufyan menjawab, "Ini adalah kebajikan.
Jika masih tetap hidup setidaknya aku telah mendengar kebajikan, dan jika aku
harus mati setidaknya aku sudah menulis kebajikan. "
Diceritakan oleh Al-Faqih Abul Hasan alias Ali bin Isa Al-Walwaji,
"Aku menjenguk Abu Raihan Al-Biruni saat menjelang ajal. Dadanya terasa
sesak dan nafasnya tersengal-sengal. Dalam keadaan kritis seperti itu ia masih
sempat bertanya kepadaku, 'Bagaimana tentang masalah bagian pusaka seorang
nenek dari jalur ibu yang kamu katakan kepadaku tempo hari itu?' Dengan heran
sekaligus kasihan aku menjawab, 'Dalam keadaan seperti ini Anda masih
menanyakan masalah tersebut?' Ia menjawab, 'Aku merasa lega meninggalkan dunia
dengan mengetahui masalah tersebut daripada belum mengetahuinya.' Aku lalu
mengulanginya lagi sampai ia paham. Setelah itu aku lalu pamit pulang. Namun
baru sampai di jalan, dari rumahnya aku mendengar suara-suara jeritan."
Al-Qadhi Ibrahim bin Al-Jarrah Al-Karafi, murid Al-Qadhi Imam Abu Yusuf
alias Ya'qub bin Ibrahim Al-Anshari, yang wafat pada tahun 182 Hijriyah. Beliau
mengatakan, "Ketika Abu Yusuf sakit, aku datang menjenguknya. Aku
mendapati ia sedang pingsan. Begitu siuman ia bertanya kepadaku, 'Ibrahim,
masalah apa yang hendak kamu katakan?' Dengan heran aku balik bertanya, 'Dalam
keadaan seperti ini Anda masih sempat menanyakan masalah?' Ia menjawab, 'Tidak
apa-apa. Kita harus tetap belajar. Barangkali ini bisa menyelamatkan orang yang
sesat.' Setelah diam beberapa saat, kembali ia bertanya kepadaku, 'Hai Ibrahim,
tentang melempar jumrah dalam ibadah haji, mana yang lebih baik: dengan cara
berjalan kaki atau naik kendaraan?' Aku menjawab, 'Lebih baik dengan naik
kendaraan.' Ia berkata, 'Kamu salah.' Aku menjawab, 'Dengan berjalan kaki.' Ia
berkata, 'Kamu salah lagi.' Aku berkata, 'Jadi bagaimana? Katakanlah, mudah-mudahan
Allah meridhai Anda.'
Imam Abu Yusuf berkata, 'Jika seseorang bisa berhenti di dekat jumrah untuk
berdoa, sebaiknya ia melempar jumrah dengan berjalan kaki. Akan tetapi, jika ia
tidak bisa berhenti di dekatnya, sebaiknya ia melemparnya dengan naik
kendaraan.'
Aku lalu
pamit pulang. Namun baru sampai di
pintu rumahnya, aku mendengar suara-suara teriakan tangis pertanda ia baru saja
meninggal dunia. Semoga Allah merahmatinya."
Dalam
sebuah perjalanan mencari hadits,
seseorang melihat Imam Ahmad yang sudah ia kenal sebelumnya. Ia menghampiri
Imam Ahmad dan menyatakan kekaguman tentang banyaknya yang dihapal, ditulis,
dan diriwayatkannya. Walaupun demikian, Imam Ahmad masih rajin menambah ilmu;
terkadang ia ke Kuffah dan terkadang ke Bashrah untuk mencari ilmu. Ia
bertanya, "Sampai kapan Anda berhenti?" Imam Ahmad menjawab,
"Sampai aku diusung ke kubur dengan membawa tempat tinta."
0000000
-------- PASAL KEDUA --------
KAUM SALAF BERCITA-CITA TINGGI DALAM BERIBADAH DAN BERISTIQAMAH
Sesungguhnya
orang-orang salaf kita yang shalih sama mengenal Allah secara dekat. Mereka
selalu memikirkan hakikat dunia, dan tempat kembali mereka di akhirat. Mereka
berusaha menghindari fitnah dunia dan menjaga hati mereka dari sifat serakah
terhadapnya. Cita-cita mereka sangat tinggi. Anda lihat mereka sangat tekun
shalat dan berpuasa, menangis, dan menghiba-hiba. Sejarah hidup mereka
menggambarkan betapa mereka sangat antusias untuk bertaubat dan bersikap
istiqamah. Mereka sangat gigih dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada
Allah. Berikut ini adalah beberapa cuplikan tentang ibadah mereka:
Al-Hasan
mengatakan, "Siapa yang mengajakmu bersaing dalam urusan agama maka
layanilah dia. Dan siapa yang mengajakmu bersaing dalam urusan dunia, maka
lemparkanlah dunia itu ke lehernya."
Wahab bin
Al-Warad mengatakan, "Jika kamu mampu tidak didahului dalam berlomba
menuju Allah oleh siapapun, maka lakukanlah."
Syaikh
Syamsuddin alias Muhammad bin Utsman At-Tarkastani mengatakan, "Setiap
kali aku mendengar seseorang melakukan suatu ibadah, aku berusaha menandinginya
selangkah lebih maju darinya."
Seorang
ulama yang sangat tekun beribadah mengatakan, "Seandainya seseorang
mendengar ada orang lain yang lebih taat kepada Allah daripada dirinya, lalu
orang itu meninggal dunia karena bingung, ini merupakan sebuah tragedi. "
Nafi'
pernah ditanya, ''Apa yang dilakukan oleh Ibnu Umar di rumahnya?"
Ia
menjawab, "Berwudlu setiap kali hendak shalat dan rajin membaca
Al-Qur'an."
Setiap
kali terlambat melakukan shalat jama'ah, Ibnu Umar menggantinya dengan
berpuasa satu hari. Ia menghidupkan waktu malamnya dengan ibadah, dan dia suka
memerdekakan budak.
Sebelum
meninggal dunia, Abu Musa Al-Asy'ari Radhiyallahu
Anhu masih sempat dengan gigih melakukan ijtihad. Ketika diminta
untuk berhenti, ia menjawab, "Seekor kuda kalau dilepas dan posisi
kepalanya menoleh ke belakang, maka ia akan mengeluarkan seluruh kemampuannya.
Dan ajalku yang masih tersisa tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan hal
itu." Ia terus berijtihad sampai akhirnya meninggal dunia.
Seperti
yang dikutip oleh Qatadah, Muaraq Al-Ajli mengatakan, "Aku tidak menemukan
perumpamaan bagi seorang Mukmin di dunia, selain seperti perumpamaan seseorang
yang terapung di atas papan di tengah lautan seraya berkata, 'Ya Tuhanku, ya
Tuhanku…' dengan harapan semoga Allah berkenan menyelamatkannya."
Usamah
mengatakan, "Orang yang memperhatikan Sufyan Ats-Tsauri, ia akan
melihatnya seolah-olah sedang berada di sebuah perahu dan merasa khawatir akan
tenggelam sambil terus menerus berkata meminta tolong, 'Ya Tuhan, selamatkan
aku. Selamatkan aku ....'."
Ja'far
mengatakan, "Pada suatu hari kami menjenguk Abu Tayyah yang sedang sakit.
Abu Tayyah berkata, 'Demi Allah, seorang Muslim yang merasa prihatin melihat
orang lain yang terkesan meremehkan perintah Allah, niscaya Allah akan
menambahi semangat dan kesungguhannya.' Kemudian, ia pun menangis."
Fatimah
binti Abdul Malik, istri Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah bercerita, "Setahuku,
dia adalah orang yang paling rajin shalat dan berpuasa. Dan dia adalah orang
yang paling dekat dengan Tuhannya. Setelah shalat isya', biasanya ia akan
duduk bersimpuh sambil menangis sampai tertidur. Setelah terbangun sebentar, ia
menangis lagi sampai tertidur lagi. Pada suatu malam ketika tengah tidur
seranjang denganku, dia menyebut-nyebut tentang masalah akhirat. Kemudian, ia
menggelepar laksana seekor burung pipit yang menggelepar karena terkena air. Ia
lalu duduk sambil menangis, kemudian aku pun menyelimutinya."
Al-Mughirah
bin Hakim berkata, "Fatimah binti Abdul Malik pernah mengatakan kepadaku,
'Hai Mughirah, sangat boleh jadi ada orang yang lebih rajin shalat dan puasa
daripada Umar bin Abdul Aziz. Akan tetapi, setahuku dia adalah manusia yang
paling takut kepada Tuhannya. Setiap kali masuk rumah, ia langsung menuju ke
tempat shalatnya, lalu menangis dan berdoa sampai tertidur sendiri. Itulah yang
ia lakukan semalam suntuk'."
Abu
Ubaidah bin Uqbah bin Nafi' bercerita bahwa pada suatu hari ia menemui Fatimah
binti Abdul Malik. Ia bertanya, "Aku harap Anda bersedia menceritakan
tentang Umar." Ia berkata, "Semenjak diangkat sebagai khalifah, aku
tidak pernah melihat mandi karena jinabat atau mimpi basah."[10]
Al-Aswad
bin Yazid adalah orang yang sangat tekun dalam beribadah. Pada hari yang sangat
panas, ia tetap berpuasa sampai tubuhnya kelihatan sangat pucat. Pernah Al-Qamah
bertanya kepadanya, "Kenapa kamu siksa dirimu?" Ia menjawab,
"Dikarenakan aku menginginkan diriku mulia." Ia sangat rajin berpuasa
sehingga tubuhnya nampak kurus, dan pernah jatuh ketika sedang melakukan
shalat. Pada suatu hari Anas bin Malik dan Al-Hasan menemuinya. Mereka
berkata, "Sesungguhnya Allah Yang Mahamulia lagi Mahaagung tidak menyuruh
Anda melakukan semua ini." Ia menjawab, "Aku ini hanyalah seorang
budak yang dimiliki. Setiap kali melihat sesuatu yang menjanjikan ketenangan,
pasti akan aku lakukan."
Seseorang
bertanya kepada Amir bin Abdullah, "Bagaimana Anda bisa begitu sabar
begadang malam, dan menanggung haus pada siang yang sangat panas?" Ia
menjawab, "Aku hanya sekedar mengalihkan makan siang ke malam, dan
mengalihkan tidur malam ke siang. Dan itu bagiku bukan sesuatu yang
berat." Apabila tiba waktu malam ia berkata, "Panas api neraka bisa
menghilangkan nafsu tidur." Kemudian, ia tidak tidur sampai subuh.
Al-Hasan
berkata, "Amir bin Qais berkata kepada beberapa orang yang sedang
menyebut-nyebut masalah dunia, 'Berbeda dengan kalian yang menganggapnya
sebagai sesuatu yang sangat penting, aku demi Allah sama sekali tidak.' Dan itu
ia buktikan dalam hidupnya sampai ia meninggal dunia."
Ahmad bin
Harb mengatakan, "Aku heran pada orang yang tahu kalau surga itu
bertengger di atasnya dan neraka menyala-nyala di bawahnya, tetapi ia bisa
tidur dengan lelap di tengah-tengahnya."
Abu Muslim
Al-Khaulani menggantungkan sebuah cemeti di mushalla rumahnya dengan maksud
untuk menakut-nakuti dirinya sendiri. Ia mengatakan kepada dirinya sendiri, "Ayo,
bangkitlah. Demi Allah, aku akan membuatmu merangkak sampai kamu yang kelelahan,
bukan aku." Bahkan, dia mengambil cemetinya itu, lalu ia gunakan untuk
memukuli diri sendiri seraya berkata, "Kamu lebih pantas dipukul daripada
binatang ternakku." Ia juga pernah mengatakan, "Apakah
shahabat-shahabat Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam itu mengira
kalau karena beliau mereka merasa lebih utama daripada kami? Tidak. Demi Allah,
akan kami ajak mereka bersaing supaya mereka tahu bahwa mereka meninggalkan
generasi hebat di belakang mereka."
Jika
melihat Manshur Al-Mu'tamir, Anda akan mengatakan ia adalah orang yang perlu
dikasihani karena ia selalu begadang sambil menangis dan berdoa, sampai-sampai
membuat ibunya merasa sedih memikirkannya seraya berkata, "Apa yang selalu
kamu lakukan itu? Kenapa kamu tidak berhenti menangis? Kenapa kamu siksa dirimu
sendiri?" Namun, dengan tenang ia menjawab, "Ibu, aku lebih tahu apa
yang harus aku perbuat."
Husyaim,
salah seorang murid Manshur bin Zadzan, ketika ada yang berkata kepadanya bahwa
malaikat maut sudah berada di ambang pintu, ia malah semakin bersemangat untuk
beramal.
Sepasang
betis Shafwan bin Sulaim menjadi sangat keras karena selalu ia gunakan berdiri
lama-lama dalam shalat. Begitu bersungguh-sungguhnya ia sehingga ketika ada
yang mengatakan kepadanya, "Besok Hari Kiamat", ia malah bertambah
semangat. Ia berdoa, "Ya Allah, dikarenakan aku suka bertemu Engkau, aku
mohon Engkau juga suka bertemu aku."
Anas bin
Iyadh bercerita, "Aku pernah melihat Shafwan bin Sulaim diberitahu bahwa
besok Hari Kiamat akan tiba. Akan tetapi, ia malah semakin bersemangat
beribadah."
Abdurrahman
bin Mahdi mengatakan, "Ketika ada yang berkata kepada Hammad bin Salamah,
'Anda besok akan meninggal dunia', ia malah semakin bertambah semangat
beramal."
Musa bin
Ismail bercerita, "Kalau aku katakan kepada kalian bahwa aku sama sekali
tidak pernah melihat Hammad bin Salamah tertawa, aku tidak bohong kepada
kalian. Ia selalu sibuk sendiri; mungkin meriwayatkan hadits, mungkin membaca,
mungkin berdzikir, mungkin shalat, dan lain sebagainya. Waktu siangnya sudah
ia bagi buat amalan-amalan tersebut."
Putri
Rabi' bin Khaitsam pernah bertanya kepada ayahnya, "Wahai ayah, kenapa aku
melihat orang-orang suka tidur, tidak seperti Anda?" Rabi' menjawab,
"Wahai putriku karena ayahmu takut pada kematian yang datang mendadak pada
waktu malam."
Ibrahim
mengatakan, "Si Fulan berkata, 'Selama dua puluh tahun aku sama sekali
belum pernah melihat Rabi' bin Khaitsam mengeluarkan ucapan yang tidak
santun'."
Pengakuan
yang sama juga disampaikan oleh seorang ulama, "Selama dua puluh tahun
berteman dengannya, sekali-pun aku belum pernah mendengar Rabi' mengeluarkan
kata-kata yang bernada mencela."
Malik
bercerita, "Aku melihat Ayyub As-Sakhtayani sebanyak dua kali ketika
menunaikan ibadah haji di Makkah, namun aku belum sempat menulis hadits
darinya. Dan aku melihat ia yang ketiga kalinya sedang duduk di dekat sumur
Zamzam. Ketika mendengar nama Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam disebut-sebut, ia menangis sampai aku merasa
kasihan padanya. Dan saat itulah aku berhasil menulis hadits darinya."
Salmah bin
Alqamah mengatakan, "Aku biasa duduk bersama Yunus bin Humaid, tetapi aku
tidak sanggup menyampaikan satu kalimat pun padanya."
Harus Musa
berkata, "Pernah Aun menceritakan sebuah hadits kepadaku dengan jenggot
yang basah oleh derasnya air mata."
Abu Ali
bin Syihab berkata, "Aku pernah mendengar Abu Abdullah bin Bathat berkata,
'Aku pernah meriwayatkan empat puluh hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam
mimpiku'."
Al-Qasim
bin Rasyid Asy-Syaibani berkata, "Seorang lelaki jembel singgah di kampung
kami. Ia membawa seorang istri dan beberapa anak perempuan. Pada suatu malam
aku melihat orang itu lama sekali melakukan shalat. Selesai shalat ia berteriak
dengan suara lantang, 'Hai kafilah yang lupa daratan, apakah semalaman suntuk
kalian harus tidur terus? Apakah kalian tidak bangun lalu segera melanjutkan
perjalanan?' Seketika itu nampak beberapa orang saling berlompatan. Lalu dari
sana sini terdengar ada yang menangis, ada yang berdoa, ada yang membaca
Al-Qur'an, dan ada yang berwudlu. Ketika fajar terbit, ia kembali berteriak
dengan suara lantang, 'Pada dini hari seperti ini orang-orang yang mulia
seharusnya sudah berdzikir kepada Allah'!"
Diceritakan
oleh Waki', "Hampir selama tujuh puluh tahun Al-A'masy tidak pernah
ketinggalan takbiratul ihram. Dan selama lebih dari enam puluh tahun
bersamanya, aku tidak pernah melihat ia mengqadha' shalat barang sekalipun.
"
Abu Hayyan
menceritakan kisah dari ayahnya, ia berkata, "Pada suatu hari Rabi' bin
Khaitsam yang sedang terserang penyakit stroke dituntun untuk shalat berjama'ah. Seseorang berkata kepadanya, 'Anda
diberikan kemurahan untuk tidak ikut shalat berjama'ah.' Ia menjawab, 'Soalnya
aku tadi mendengar seruan hayya
alash shalat 'ayo menunaikan
shalat'. Jadi sedapat mungkin datangilah walaupun dengan merangkak'."
Diceritakan oleh Hammad bin Salamah, "Setiap kali bertemu Sulaiman At-Taimi pada jam-jam di mana orang
harus melakukan ketaatan kepada Allah, aku pasti mendapati ia sedang melakukan
ketaatan. Pada jam-jam shalat, aku mendapati ia sedang shalat. Dan pada jam-jam
di luar shalat, aku mendapati ia mungkin sedang wudlu, atau sedang menjenguk
orang sakit, atau sedang ikut mengantarkan jenazah, atau sedang duduk di
masjid. Aku melihat ia seperti orang yang tidak mampu berbuat maksiat kepada
Allah Yang Mahamulia lagi Mahaagung."
Diceritakan oleh Isa bin Umar, "Pada suatu malam Amr bin Utbah bin
Farqad keluar rumah dengan menunggang kuda. Setiba di sebuah pekuburan, ia
berhenti dan berkata, 'Hai para penghuni kubur! Lembaran-lembaran telah
dilipat dan amal-amal telah dilaporkan kepada Allah.' Kemudian, ia menangis
sambil terus berdiri sampai subuh. Baru setelah itu ia pulang kemudian
menunaikan shalat subuh."
Abul Mawahib bin Shashra menceritakan tentang keadaan Imam Abu Al-Qasim
bin Asakir, ''Aku tidak pernah melihat orang yang sepertinya. Selama empat
puluh tahun, aku melihat ia begitu setia shalat jama'ah di shaf yang pertama,
kecuali ada uzur. Dia selalu beri'tikaf pada bulan Ramadhan dan pada tanggal
sepuluh Dzul Hijjah, dan tidak begitu tertarik pada urusan duniawi. Ia berpaling
dari kedudukan dan jabatan yang ditawarkan kepadanya. Dan ia sangat rajin
melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, tanpa terpengaruh oleh cercaan orang yang
suka mencerca."
Bisyru bin Al-Hasan, seorang perawi hadits yang bisa dipercaya, diberi
gelar Ash-Shaji 'orang yang
berada di shaf depan' karena selama lima puluh tahun ia selalu shalat
berjama'ah pada shaf yang pertama di masjid jami' Bashrah.
Ibrahim bin Maimun Al-Maruzi adalah sahabat Atha' bin Abu Rabbah, seorang
mubaligh yang juga ahli hadits. Ia punya keahlian membentuk emas dan perak
menjadi perhiasan. Akan tetapi, orang-orang lebih mengenalnya sebagai seorang
ulama ahli fiqih yang gemar melakukan amar ma'ruf nahi mungkar. Bahkan, menurut
Ibnu Mu'in, ia adalah sosok orang yang sangat gigih dalam pendirian.
Seseorang berkata kepada Al-Ahnaf bin Qais Radhiyallahu Anhu, "Sesungguhnya dalam
diri Anda ada kesabaran yang luar biasa." Ia menjawab, "Kecuali jika
telah tiba waktu shalat, aku tidak bisa menahan kesabaranku untuk langsung
shalat."
Katsir bin Ubaid Al-Hamshi ditanya alasannya kenapa ia sama sekali tidak
pernah lupa dalam shalat, padahal ia telah menjadi imam bagi penduduk Hamash
selama enam puluh tahun penuh. Ia menjawab, "Aku sama sekali tidak mau
memasuki pintu masjid jika di hatiku masih ada selain Allah."
Seorang hakim agung Syiria yang bernama Sulaiman bin Hamzah Al-Maqdasi - masih
termasuk keturunan Ibnu Qudamah, penulis kitab AlMughn - mengatakan, "Hanya dua kali saja aku shalat fardhu
sendirian, dan seakan-akan aku tidak pernah melakukan hal itu." Padahal
usianya sudah hampir sembilan puluh tahun. Semoga Allah merahmatinya.
Syarafuddin bin Muhammad Rahimahullah mengatakan, "Selama beberapa hari Ibnu Daqiq Al-'Idi pernah tinggal
di kediaman kami di Mesir. Setiap malam kami melihatnya sedang shalat, atau
sedang berjalan di sekitar rumah sambil memikirkan terbitnya fajar. Dan ketika
fajar terbit, ia shalat subuh kemudian baru tiduran."
Ash-Shahib Syarafuddin berkata, "Aku pernah mendengar Syaikh Syihabuddin
alias Ahmad bin Idris Al-Qarafi Al-Maliki mengatakan, 'Selama empat puluh tahun
Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyah) tidak pernah tidur malam. Sesudah shalat
subuh, ia hanya sempat tiduran beberapa jam saja karena harus segera melakukan
shalat dhuha'."
Diceritakan oleh Ibnu Ahmad Al-Hanbali dalam kitabnya Syadzarat Al-Dzahab, "Setiap kalimat yang
aku ucapkan dan setiap perbuatan yang aku lakukan, aku telah mempersiapkan
jawabannya di hadapan Allah kelak." Ucapan ini juga dikutip oleh As-Subki.
Al-Hafizh Quthubuddin Al-Halbi mengatakan tentang Syaikh Taqiyyuddin,
"Ia tidur malam hanya sebentar saja. Selebihnya, waktu malam ia gunakan
untuk membaca, berdzikir, dan shalat tahajjud sehingga ia punya kebiasaan
begadang. Seluruh waktunya ia gunakan untuk amal-amal yang mulia. Pada zamannya
tidak ada orang yang sepertinya."
Orang-orang salaf yang shalih terdahulu juga terkenal dermawan dan penuh
toleransi kepada sesama. Misalnya, yang ditunjukkan oleh Abdullah bin Thalib
sekeluarga. Pada suatu hari ia kedatangan seorang tamu yang mengeluh bahwa ia
tidak punya harta untuk persiapan pernikahan putrinya.
Abdullah
bin Thalib punya seorang putri yang
tinggal bersama ibunya dan suka mengunjunginya, terutama pada hari-hari raya.
Ia menulis surat kepada istrinya, 'Tolong dandani putriku. Kenakan ia pakaian
yang indah dan perhiasan. Dan suruh ia menemiku.'
Istri dan
putrinya itu mau memenuhi permintaannya. Ia menyambut mereka
dengan gembira. Kemudian, ia berkata kepada istrinya, 'Si Fulan itu baru saja
datang menemuiku. Ia mengeluh karena tidak punya harta untuk persiapan
pernikahan putrinya. Oleh karena itu, aku ingin memberikan pakaian dan semua
perhiasan yang dipakai oleh anak kita itu. Dan lain kali aku akan menggantinya
yang lebih banyak.' Mendengar itu, istrinya tidak merasa keberatan.
Mereka
itulah manusia sejati
Celaka orang yang tidak bisa
seperti mereka
Alangkah ruginya kamu yang
menghabiskan usia untuk bermalas-malasan
Sementara mereka telah berada di
ujung jalan keselamatan
dan bersiap melangkah pelan-pelan
ke tempat tujuan yang mulia
[1] Al-Hafizh Abu Ismail Al-Harawi Al-Anshari Rahimahullah
mengatakan, "Seorang ahli hadits harus sanggup
berjalan dengan cepat, menulis dengan cepat, dan membaca dengan cepat."
Bisa ditambahkan "Makan dengan cepat." Kata Sahnun, "Ilmu tidak
layak dimiliki oleh orang yang makan sampai kenyang. "
As-Suyuthi Rahimahullah
mengatakan: Guru kami, Syaikh Al-Kanani, bercerita kepada
kami dari ayahnya yang seorang orator, "Orang yang berilmu itu punya tiga
ciri khas: Makannya cepat, berjalannya cepat, dan menulisnya cepat"
Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa orang-orang yang mengemban tugas-tugas
agama seperti seorang hakim, mufti, guru, imam, mubalig, mu'azin, dan lain
sebagainya, biasanya mereka tidak peduli dengan kekayaan. Alasannya adalah
seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun, "Sesungguhnya hasil adalah nilai
karya manusia, dan itu sifatnya relatif sesuai sejauh mana karya itu
dibutuhkan. Jika menyangkut hajat orang banyak, tentu nilainya sangat besar dan
sangat dibutuhkan.
Orang-orang yang mengemban tugas agama memang tidak begitu dibutuhkan oleh
mayoritas orang, kecuali oleh orang-orang relijius yang memang membutuhkan jasa
serta peranan mereka. Fatwa dan hukum, misalnya, hanya dibutuhkan untuk
mengatasi perselisihan-perselisihan yang tidak setiap waktu terjadi. Oleh
karena itulah, kebanyakan masyarakat kurang membutuhkannya. Akan tetapi,
seorang penguasa wajib selalu memikirkan kemaslahatan mereka. Ia harus bisa
membagikan kesejahteraan kepada mereka sesuai dengan tingkat kebutuhan. Tugas-tugas
berat dan mulia yang diemban oleh mereka, seharusnya menjadi pertimbangan
tersendiri. Ia tidak boleh menyamakan mereka dengan anggota masyarakat secara
umum. Jarang sekali penguasa yang memperhatikan masalah ini. Namun, sebagai
orang-orang yang berjiwa mulia, mereka biasanya tidak mau tunduk kepada para
penguasa, meskipun mereka diberikan kesejahteraan. Bahkan, mereka tidak mau meluangkan
waktu untuk memikirkan hal itu karena mereka lebih memilih sibuk dengan tugas-tugas
mereka yang mulia daripada memikirkan masalah materi. Mereka tidak mau
melakukan kompromi dengan orang-orang yang sibuk dengan urusan-urusan duniawi.
Mereka berusaha menjauhinya. Oleh karena itulah, biasanya mereka tidak peduli
dengan masalah harta.
Dalam konteks ini saya pernah berdebat dengan seorang ulama. Semula ia tidak
setuju dengan pikiran saya. Namun, setelah saya sodorkan dokumen-dokumen berisi
daftar aset kekayaan pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun berikut kesejahteraan yang
ia berikan kepada para qadhi, para imam masjid, dan para mu'azin, akhirnya ia
setuju."
[5] Ini
adalah salah satu fenomena kaidah yang ditetapkan oleh penerus Imam
Ahmad bin Hanbal, yaitu Yahya bin Mu'in Rahimahullah yang
pernah mengatakan, "Jika kamu menulis hadits, maka tulislah semua yang
kamu dengar dan himpunlah. Dan jika kamu menceritaka hadits, maka
telitilah."
[6] Ibnu Taimiyah,
Pustaka Mantiq, Hal. 40-41
[8] Al-Qaffal
berarti 'tukang membuat kunci'. Disebut seperti itu karena ia memang pandai
membuat kunci. Lihat, Syadzarat AI-Dzahab 1Il/207
[9] Menurut
sebagian besar ulama ahli fiqih, shalat tahiyatul masjid itu hukumnya sunnat.
Sementara menurut ulama-ulama madzhab Zhahiri, hukumnya wajib.
[10] Sesungguhnya
Rasulullah adalah manusia yang paling bertakwa di muka bumi ini, beliau juga
seorang pemimpin dan juga panglima perang, namun beliau juga tetap menggauli
istri-istri beliau, beliau shalat tetapi juga tidur, beliau puasa tetapi juga
berbuka.
0 komentar:
Posting Komentar