Pages

Labels

Rabu, 07 September 2016

Mahalnya Hidayah

Meneruskan saja..

[Pelajaran dari Kyai Aswaja Indonesia yang mendapat hidayah sunnah]

"Mahalnya Hidayah"
Oleh: Ustadz Abu Fairuz Ahmad Ridwan, MA hafidzahullah
(Radio Hang FM Batam)

Lelaki itu yang menjadi pengantarku dari TV Rodja menuju hotel tempatku menginap. Untuk mengisi waktu dan memecah kesunyian antara kami, aku sempatkan diri bertanya padanya awal mula dia mendapatkan hidayah.

Ia bertutur: ”Dahulu saya adalah seorang guru agama yang ditokohkan di lingkunganku. Dengan bekal ilmu-ilmu yang kudapat ketika nyantri di salah satu pesantren tradisionil di Jombang, aku dapat membuka halaqah-halaqah kajian yang ketika itu lumayan ramai dihadiri orang-orang kampungku.

Berbekal bisa baca kitab kuning dan sedikit retorika, aku berhasil menarik hati masyarakat desa dan jadi vigur bagi mereka.
Ringkasnya aku lumayan terpandang dan dimuliakan dengan profesiku ini sehingga segala bentuk khidmat, hadiah, pemberian mengalir deras kepadaku. Apalai usaha sampinganku sebagai supir, Alhamdulillah membuatku dapat membeli rumah dan ruko sebagai aset untuk anak dan istriku.

Sekitar tahun 2006 aku mulai mengenal 2 lelaki yang sangat berbeda penampilan dan tata cara ibadahnya dengan kami. Sebagai seorang Kyai, aku berusaha mempengaruhi keduanya agar tidak menyelisihi masyarakat setempat. Dan aku berusaha meyakinkan keduanya dengan berbagai argumen yang kutahu. Tetapi anehnya mereka selalu membawakan padaku dalil atas apa yang mereka lakukan dalam ibadah mereka.

Hal yang paling membuatku geram adalah, tatkala keduanya menyatakan padaku tentang kitab monumental “Ihya Ulumuddin” karya Imam Ghazali- rahimahullah- yang kukenal sebagai “hujjatul Islam” karena keilmuannya -menurut mereka- banyak mengandung hadits-hadits yang palsu dan banyak memuat tata cara ibadah dan zikir yang tidak ada panduannya dari Nabi....
Sontak membuatku marah dan berkata pada keduanya: ”Apa seluruh ulama dari zaman ke zaman bodoh semuanya dan tidak mengetahui apa yang kalian ketahui?”.

Tetapi anehnya mereka mendatangkan juga kritik para ulama semisal Hafiz Al-Iraqi di zamannya, yang menyatakan bahwa Ghazali telah memuat bukunya dengan hadits-hadits yang palsu dan membinasakan.... membuat aku semangkin bingung dan penasaran.

Lalu contoh-contoh hadits yang dianggap palsu itu kucatat dan kubawakan kepada para kyai yang kuanggap lebih alim dariku. Dari satu kyai ke kyai yang lain kudatangi untuk meminta jawaban dan tanggapan mereka tentang tuduhan ini...namun anehnya setelah menunggu berhari, bahkan berbulan dan bertahun...mereka bungkam seribu bahasa tidak bisa mengomentari hadits-hadits tersebut. Cuma satu hal yang kuingat bahwa mereka memperingatkanku agar tidak menyelisihi orang banyak dan tidak terinveksi virus Wahabi yang membahayakan.

Aku semangkin penasaran, dan mulai kulahap satu demi satu buku-buku maupun majalah-majalah sunnah yang akhirnya membuatku yakin dan memutuskan untuk keluar dari cara beragama masyarakatku yang tidak sesuai dengan sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- .
Persis sebagimana Imam Besar Abu Hasan Al-Asyari yang keluar dari Paham Muktazilah dengan mengumpulkan orang banyak dihadapannya dan berpidato di atas mimbar dengan melepas bajunya dan berkata: ”Aku telah melepaskan semua akidah dan paham Muktazilah yang kupelajari dan kuyakini bertahun-tahun sebagaimana aku melepaskan bajuku ini”...maka seperti itu pulalah yang kulakukan.

Kukumpulkan para jamaahku dan kuberitahukan bahwa sejak saat itu aku tidak lagi dapat beramal seperti amalanku yang dulu, dan sejak itulah penderitaan demi penderitaan datang setia menghampiriku.
Mulanya aku bingung untuk membuat keputusan...antara mengikuti kebiasaan dan keyakinan orang banyak yang telah menokohkan diriku dengan segala bentuk kenikmatan dunia yang kudapat tetapi beresiko menuai murka Allah, karena menolak kebenaran yang datang...atau memilih istiqomah di atas sunnah Nabi dengan resiko ditinggalkan manusia, dikucilkan bahkan mungkin diusir mereka dari kampung halamanku.

Dengan taufiq dan bantuan Allah jualah akhirnya kupilih jalan Allah untuk tetap meniti sunnah Nabi, sekalipun ditinggalkan dan dimusuhi manusia. Sejak saat itu, seluruh jadwal kajianku dihapus dan aku tidak boleh lagi menjadi imam. Aku benar-benar dimusuhi orang sekampungku, bahkan keluarga dan istriku.

Suatu ketika terjadi pertengkaran hebat antara aku dan istriku disebabkan diriku yang telah berubah menurutnya. Dengan didukung seluruh keluarganya bahkan keluargaku sendiri...aku terusir dan diusir dari rumahku sendiri, persis bagaikan seekor anjing diusir oleh tuannya. Bedanya bahwa hakikatnya rumah itu adalah milikku dan hasil dari usahaku...dengan terpaksa atas desakan mereka kutinggalkan. Tidak sampai di situ, bahkan ruko milikku juga diambil alih, dan aku ingat sekali bahwa hari itu aku pergi hanya membawa baju yang melekat di badan. Allahul musta’an.

Pernah juga sekali waktu disidang oleh semua ketua RT dan RW karena dianggap membawa paham sesat. Bukan saja mereka bahkan perangkat masyarakat dari para tokoh-tokohnya juga hadir mengerumuni aku sendiri. Subhanallah, meskipun sendiri... tapi tidak seorang dari mereka yang dapat membantah hujjah-hujjahku yang ketika itu kubawakan pada mereka dalil-dalil atas apa yang aku yakini dan ku amalkan.

Mulailah kujalani hari-hari yang pahit, hidup terlunta-lunta tak bertempat tinggal, berpindah-pindah dari satu tempat kajian ke tempat kajian lainnya. Alhamdulillah kawan-kawan sepengajianku begitu sayang dan kasih kepadaku dan berupaya memberikan bantuan-bantuan mereka padaku yang membuat aku tegar dan tidak merasa sendiri lagi di atas jalan dakwah ini.

Kini aku telah berpindah ke Jakarta dan puji bagi Allah, kini aku telah menikah dan istriku telah mengaji sunnah, berhijab dengan sempurna bahkan jauh lebih muda 10 tahun dariku. Meskipun masih hidup dengan mengontrak, tapi sungguh kurasakan kebahagian dapat mengamalkan sunnah dan mengaji sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- .

Semua kenangan masa laluku yang pahit telah kukubur hidup-hidup, seiring dengan hijrahku ke Ibu Kota ini tempat aku mencari penghidupan dan mendatangi kajian-kajian.
Semoga hidayah ini dapat abadi hingga aku menutup mata dan kembali ke hadirat Ilahi Rabbi. Amin”.

Iapun menutup kisahnya yang penuh pelajaran.
Kisahnya mengajarkan kita bahwa untuk dapat tegak di atas jalan kebenaran ini, membutuhkan pengorbanan dan perjuangan, penuh dengan resiko dan tantangan, mengajarkan kepada kita untuk lebih mengutamakan apa yang diinginkan Allah daripada meng-aminkan apa yang diinginkan manusia.

Semoga Allah menjaga beliau dan kita semua dalam Islam dan mewafatkan kita di atas Sunnah. Amin.

Batam, 29 Dzulhijjah 1435 / 24 Oktober 2014
Kenangan manis kajian di Jakarta
”sejenak bersama pak supir”.

Abu Fairuz
# [truncated by WhatsApp]

0 komentar:

Posting Komentar