Pages

Labels

Selasa, 29 Mei 2012

Kenapa harus Antum akhy?

Sebut saja Andreana, akhwat Facebookers. Andrena memiliki banyak foto dalam album akun Facebooknya. Bahkan ketika masa kelam, ketika dia belum begitu mengenal dunia Islam dengan baik, dia sempat berfoto dengan temannya yang bukan mahram berdua. Ya, walaupun tidak ada unsur mesra, hanya pendokumentasian semata, tetapi tetap saja berdua.
Alhamdulillah, Allah menggiringnya ke dalam kehidupan yang lebih baik. Dipertemukanlah dia dengan saudaranya semuslim yang selalu mengingatkan dalam kebaikan. Sehingga, terbentuk ikatan sakral penuh makna dalam barisan dakwah, ikatan ukhuwah. Ikatan ukhuwah itu begitu mesra terjaga bahkan dalam media sosial Facebook. Fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan) menjadi moto gerak barisannya pada saat itu.
Lalu, korelasinya dengan paragraf pertama? Baik, kita kupas kasusnya.
Cerita pertama, tiba-tiba ada seorang ikhwan yang menyapanya melalui Facebook chat, kemudian ditunjukkanlah foto ketika Andreana berfoto berdua dengan teman non-mahramnya. Spontan, Andrea shock, terkejut. Mengapa harus ikhwan yang mengingatkan hal sesensitif ini.
Tak lama setelah itu, kemudian Andreana mengunci semua album di Facebook-nya, tanpa kecuali. Tak ada satu pun foto yang bisa dilihat oleh umum.
Cerita kedua, adalah ketika Andreana sedang mengikuti kajian diskusi keislaman yang dilaksanakan lewat jam setengah delapan malam. Hal ini mengakibatkan dia harus pulang di atas jam 9. Ketika jarum jam menggantungkan arahnya tepat pada jam 9.15 malam, HPnya berdering. Si ikhwan itu mengingatkannya untuk segera pulang.
“Tak baik akhwat berkeliaran di luar, apalagi lewat pukul sembilan malam,” katanya.
Dia menekankan pada perasaan Sang Ibu Akhwat jika mengetahui kelakuan anaknya ketika berada di perantauan. Bagaimana perasaan Ibu yang pasti mengkhawatirkan anak perempuannya berada di luar semalam itu?
“Ingatlah Ridha Allah ada pada ridha orang tuamu, terlebih Ibumu. Surga Allah berada di telapak kaki Ibumu. Ingatlah.”
Lagi, Andreana terkejut dengan pesan saudaranya itu. Bergegaslah dia pulang bersama akhwat lain. Dia bersama saudarinya berjanji untuk bisa lebih saling mengingatkan. Jangan sampai kesalahan-kesalahan itu kembali dikritisi oleh saudaranya yang bukan mahram. Tekad bulat untuk mempererat ukhuwah, mengingatkan ketika lalai menjadi program utama bersama dengan saudaranya.
Cerita ketiga, kembalilah ikhwan itu mendatangi Andreana dengan komentar yang tak kalah mengejutkan dengan yang sebelumnya. Ujarnya, “Coba kamu lihat lagi, foto yang kamu punya. Yang diupload oleh temanmu, ditandai temanmu.”
Kekecewaan berkecamuk kembali dalam pemikiran dan batinnya, seketika dia mendapati foto yang baru saja ditandai (tagged) oleh temannya ketika dia berada di alam bebas tanpa mengenakan kaos kaki yang bisa menutupi aurat kakinya.
Astaghfirullah. Kenapa harus seorang ikhwan yang mengingatkan? “Kenapa harus Antum, Akhi? Tidakkah saudariku yang lain menyadari hal ini sebelumnya? Serapuh ini kah ukhuwah sesama muslim akhwat dalam barisan dakwah ini?” pikirnya.
Melalui tiga cerita di atas, saya merefleksikan betapa pentingnya kekuatan untuk saling memperhatikan sahabat segender, dalam lelah, lemah, gelisah dan masalah. Sejauh mana kita bisa mengingatkan dalam kebenaran. Jangan sampai ada pihak lain, terutama teman perjuangan yang bukan mahram mengambil alih perhatian saudarimu. Dekatilah lebih dalam lagi. Saudarimu, sedang membutuhkan hangatnya sapaan dan pesan perbaikan dari dirimu, ukhti fillah. Cemburulah ketika dia hendak didekati oleh kumbang yang tak sejatinya hinggap di kehidupan pribadinya. Semangat berbenah diri untuk saudara/i-mu. Wallahu a’lam.

Senin, 28 Mei 2012

Maaf, ini Surat Cinta Untukmu…


Ada sebuah tema, yang pembahasannya tak akan pernah berujung.  Tak lekang oleh zaman.  Berbicaranya tentangnya adalah keindahan, namun tak jarang ia menyebabkan kehancuran. 
Karenanya, seorang berpangkat bisa terikat, orang mulia menjadi hina serta seorang raja menjadi budak.   Di sisi lain, hasil didikan mereka telah melahirkan sosok-sosok hebat dalam sejarah. 

Senampan Ber-5

Oleh : Abu Muhammad Risaluddin

Sebanyak apa pun engkau memiliki harta, engkau tak akan mampu menyatukan dua hati yang berpecah.  Bahkan jika engkau menginfakkan semua isi dunia untuk menyatukan dua hati itu, engkau pun tetap tak akan mampu.  Allah telah berfirman dalam surah Al-Anfaal ayat 63:

“dan Dia (Allah) yang Mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang

Pelajaran Usai Tarbiyah; Bakso yang Berberkah

Sebagai aktifis dakwah yang telah menghibahkan diri kita kepada Rabb al ‘izzah, kita pasti akan selalu berkecimpung dalam kesibukan-kesibukan tiada henti.  Kesibukan itu adalah kesibukan mengurusi agama Allah.  Duhai, adakah kesibukan yang lebih baik dari kesibukan ini?  Sebagai da’i, kita dituntut untuk banyak belajar.  Mengilmui, mengamalkan kemudian mendakwahkannya kepada manusia serta bersabar di atasnya.
Berpindah dari satu musyawarah ke musyawarah lain, dari satu agenda ke agenda lain, dari satu majelis ilmu ke majelis ilmu yang lain menjadi kesibukan para aktifis dakwah.  Majelis ilmu paling ‘keramat’ dalam sepekan yang harus kami hadiri yakni tarbiyah islamiyah.  Bagaimana tidak, dalam tarbiyahlah kita dididik bukan hanya menjadi seorang yang saleh pada diri sendiri namun juga digembleng bagaimana menshalihkan orang lain.
***

Jumat, 25 Mei 2012

Suara Hati Seorang Aktifis

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari.  Namun mata ini belum mampu terpejam.  Tubuh ini belum bisa merebah.  Bukan karena kantuk belum mendera, namun karena amanat yang begitu berat.  Antrian pekerjaan yang belum dan mesti diselesaikan membuat otak ini tidak juga berhenti berproses bagaikan sebuah prosesor komputer yang ‘CPU Usage’nya sudah hampir mencapai 100%, bahkan lebih!