Pages

Labels

Sabtu, 05 April 2014

RASA YANG BERUBAH

Oleh: Abu Muhammad*

Manusia, adalah makhluk yang unik.  Allah menciptakannya dalam bentuk paling sempurna dibanding makhluk yang lain.  Allah berfirman dalam al-Qur’an surah at-Tiin ayat 4: “dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.   Allah berikan hati kepada manusia.  Dengan hati itu, manusia bisa membedakan yang baik dengan yang buruk. 


Dalam sebuah hadits shohih Rasulullah telah menyampaikan, “Sesungguhnya dalam jasad manusia ada segumpal darah, jika ia baik maka baiklah seluruh jasad, dan jika ia buruk maka buruklah seluruh jasad.  Ketahuilah bahwa segumpal darah tersebut adalah al-qalb (jantung).   Secara maknawi al-qolb yang dimaksud adalah hati.

Dengan hati itu pula, manusia mampu membedakan rasa.  Yah, manusia memiliki perasaan.  Perasaan ini jika telah diaduk dengan nafsu oleh setan maka akan memiliki dampak buruk yang dahsyat.  Contohnya, atas nama cinta, zina pun dilakukan.  Ingin membantu orang lain, mencuri dihalalkan –seperti kisah fiktif Robin Hood.

Perasaan manusia bersifat sangat fluktuatif.  Artinya, sangat mudah berubah kondisinya dari satu kondisi ke kondisi lain yang bahkan mungkin saling berkebalikan.  Sebagai manusia, kita yang tidak mampu memenej perasaan dengan baik akan terjatuh dalam penyesalan demi penyesalan.  Bagaimana tidak, setiap tindakan yang kita lakukan adalah representasi dari hati dan perasaan kita. 

Kita ambil contoh.  Marah misalnya.  Marah biasanya akan disalurkan dalam bentuk umpatan, caci maki, wajah yang merengut memerah bahkan bisa dalam bentuk perkelahian.  Namun apa setelah itu?  Sangat sering kita dapatkan orang-orang yang marah lalu bertindak membabi buta, setelah ia melihat akibat kemarahannya, ia pun diliputi penyesalan yang mendalam.   Ia pun berpikir andai ia menahan saja marahnya dan mengalah.  Namun apa daya, nasi telah menjadi bubur.

Kebanyakan pemuda-mungkin kita termasuk- biasanya akan sangat mudah terpengaruh oleh keelokan wajah atau akhlak lawan jenisnya.  Dari situlah muncul sebuah rasa yang mereka namakan cinta.  Mereka pun berjuang agar cintanya tak bertepuk sebelah tangan.  Jadilah mereka pejuang-pejuang cinta.  Terkadang rasa cinta ini mampu membuat si ahli ibadah menjadi tidak khusyuk lagi dalam ibadahnya.  Di tempat lain, si aktifis mendadak berubah menjadi pasifis, atau paling tidak, jika ia jatuh cinta pada sesama aktifis, maka ia sulit untuk mendapatkan keikhlasan dalam perannya sebagai aktifis, tidak terkecuali aktifis dakwah.

Terjebak.  Yah, seharusnya kita bisa berpikir lebih mendalam dan bijak.  Bahwa cinta itu adalah sebuah rasa yang mudah berlalu jika ia tak dipupuk.  Sama dengan perasaan yang lain, ia begitu fluktuatif.  Hari ini kita cinta dengan segala yang ada pada diri yang kita cintai, namun besok?  Siapa yang menjamin?  Mungkin, dengan satu saja kekurangan yang kita saksikan pada dirinya, rasa cinta itu tiba-tiba buyar dan menghilang bak ditelan bumi. 

Sudahlah, tak perlu terlalu berlebihan dalam menyikapi cinta.  Sudah banyak buktinya.  Masih ingat kasus cinta segitiga yang melibatkan seorang pemuda dan dua pemudi di Jakarta?  Salah seorang dari mereka akhirnya harus tewas di tangan dua lainnya.  Banyak contoh lain yang bisa kita dapatkan sebenarnya, namun bukan disini tempatnya.

Hanya cinta yang dilandasi taqwalah yang akan kekal.  Kita yang sudah memiliki kemampuan, menikahlah segera.  Jangan menjadi pengkhayal-pengkhayal cinta yang menjadikan waktu habis dalam lamunan dan angan-angan.

Ingat, perasaan kita sangat mudah berubah.  Bak cuaca, tiba-tiba hujan, semenit kemudian langsung panas.  Olehnya itu, jangan selalu terbawa perasaan sehingga Anda akan disesatkan oleh perasaan Anda.  Jadikanlah Al-Qur’an dan sunnah Nabi sebagai landasan kita dalam mengelola rasa.  Semoga kita bisa menjadi manusia-manusia yang mampu memenej perasaan agar selalu berada di atas koridor yang Allah tetapkan. Wallaahu a’lam. (Makassar, 5 April 2014)



* penulis adalah aktifis pengelola GASBIT (Gerakan Anti Syirik, Bid’ah dan Khurofat)

0 komentar:

Posting Komentar