Pages

Labels

Jumat, 01 Juni 2012

Memadu Cinta di Atas Kuburan

Para pembaca yang budiman, semoga Anda tidak merinding dan ketakutan saat membaca judul tulisan ini.  Isi dari tulisan ini pun tidak berisi hal-hal yang akan membuat anda takut kepada kuntilanak, genderuwo ataupun hantu-hantu lokal lainnya.  Tidak pula akan membuat Anda takut dengan hantu-hantu internasional semacam vampire, dracula, atau zombie dan sebangsanya.  Saya hanya ingin mengajak pembaca untuk mengambil ibroh dari sebuah kejadian memilukan dan memalukan yang saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri.

Melalui tulisan ini, saya ingin menyajikan kepada para pembaca tentang realitas kondisi manusia khususnya umat islam hari ini. 

Saya menyaksikan kejadian ini dengan sangat singkat, namun membuat hati saya terguncang saat menyaksikannya dan untuk beberapa waktu membuat saya merasa tidak tenang.

Begini ceritanya…

***

Kota Makassar. Malam itu, saya mengendarai motor dan membonceng ayah saya.  Kami dari arah veteran dan bergerak menuju jalan Kumala.  Sesampai di ujung jalan Veteran, kami berbelok ke arah kiri memasuki jalan Sultan Alauddin.  Cukup jauh jika mesti memutar dan melewati ujung jalan A. Tonro, maka saya pun memutuskan untuk mengambil jalan potong.

Saat melintasi jalan Alauddin, saya melihat ada lorong di sebelah kanan, maka saya pun mengarahkan motor memasuki lorong tersebut.  Saya tak tahu apa nama lorong itu, karena malam itulah pertama kali kulalui jalan itu.  Beberapa tikungan telah kami lewati namun tak juga tembus ke jalan A. Tonro.  Sudah cukup jauh rasanya.  Hingga tiba-tiba kulihat jalan di depan buntu.  Beruntung, ada seorang kakek yang sedang nongkrong di pinggir jalan yang bisa kutanyai.  “Buntu di depan Pak?”, tanyaku. “Tidak, jalan terus miki”, begitu kira-kira jawabnya.  Kulanjutkan menyusuri jalan tersebut.  Masih kuingat dengan jelas, kami belok kiri, kemudian kanan, terus… hingga kami memasuki area yang sangat gelap. Tak ada lampu disitu selain lampu motorku yang sudah mulai redup.  Kupandangi sebelah kananku, ternyata area pemakaman umum Jalan Andi Tonro.  “Alhamdulillah, sekarang kutahu sedang berada dimana, sebentar lagi akan segera tiba di jalan besar,” gumamku dalam hati.

Terus kupacu motoru.  Setelah beberapa meter, ada sebuah tembok yang membuat kami harus membelokkan motor mengikuti jalan setapak untuk bisa tembus ke Jalan Andi Tonro.  Sebentar lagi kami akan tiba.  Namun, saat kubelokkan motorku, sebuah pemandangan miris yang memilukan sekaligus memalukan kusaksikan di depan mataku, juga ayahku.

Di tengah gelapnya malam, tak ada lampu, di tengah kuburan.  Tidak, tepatnya di atas kuburan.  Ah, tak mampu rasanya kusampaikan kepada pembaca.  Tak sampai kuberpikir bahwa masih ada manusia yang berani melakukannya di tempat yang seperti  itu, di tengah pekuburan.

Para pembaca yang budiman, mungkin bagi kalian ini bukan hal mengagetkan.  Tapi bagiku ini hal yang… (tak bisa diungkapkan dengan kata-kata).  Seorang laki-laki dan seorang perempuan sedang berkencan di atas sebuah kuburan!  Sang perempuan menyandarkan kepalanya di atas paha sang lelaki.  Di sekeliling mereka ada dua lelaki lain yang juga duduk di atas kuburan yang lain seakan mereka adalah “pengawal” yang bertugas menjaga berlangsungnya kemaksiatan tersebut.

Dalam kegelapan, mereka lakukan kemaksiatan, di atas kuburan pula!  Sulit untuk berprasangka baik bahwa mereka adalah pasangan sah.  Jika iya, maka cara cara kencan mereka termasuk ekstrim.

Galau.  Itulah yang kurasakan.  Terus kupacu motorku melewati mereka seakan tak percaya dengan apa yang baru kusaksikan.  Semuanya berlalu begitu cepat.  Banyak pikiran yang berkecamuk dalam kepalaku. 

Pertama, berani-beraninya mereka bermaksiat kepada Allah di tempat yang seharusnya disana kita bisa melelehkan air mata karena mengingat kematian, mengingat kegelapan kubur dan fitnahnya.  Bahkan kita dianjurkan oleh Nabi kita untuk melembutkan hati dengan berziarah kubur agar bisa mengingat kematian.  Tapi mereka, jangankan mengingat kematian, justru di tempat itu mereka berbuat pelanggaran.  Sudah sekeras itukah hati mereka?

Kedua, saat kusaksikan mereka duduk di atas kuburan, ku teringat dengan larangan Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam untuk duduk di atas kuburan.  Nabi bersabda “Seseorang dari kalian duduk diatas bara api sehingga terbakar bajunya hingga sampai ke kulitnya lebih baik baginya dari pada duduk di atas kuburan” (HR. Muslim).  Bahkan kita pun diperintahkan untuk melepaskan alas kaki ketika akan berjalan di sela-sela kuburan.

Ketiga, yang paling kusesalkan, kenapa tak kucegah mereka?  Hanya kebencian akan perbuatan mereka yang berkecamuk dalam hati.  Tak ada tindakan yang kuambil.  Inikah selemah-lemah iman? Allahu al musta’an.

Keempat, kuberharap para da’I dan da’iyah yang membaca tulisan ini agar semakin meningkatkan agresivitasnya dalam mendakwahkan agama ini.  Apa yang mereka lakukan di atas kuburan itu adalah dampak dari jahilnya mereka dengan dien yang mulia ini.  dibutuhkan dai untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar.

Kelima, kejadian seperti itu mungkin terjadi juga di tempat lain, bahkan banyak yang lebih parah kadar pelanggarannya.  Olehnya itu, dimana dan kapanpun berada, kita yang sudah tahu sedikit tentang agama ini hendaknya tidak berlemah-lemah dalam berdakwah.  Jika saja hati mereka para pelaku maksiat itu diberikan kesempatan untuk berteriak dan meronta, tentu ia akan berteriak dan meronta sejadi-jadinya sebagai tanda ketidaksetujuan akan perilaku tuannya.  Karena hati yang lurus akan selalu cinta pada kebenaran dan benci dengan kemaksiatan.

***

Di tengah banyaknya pikiran yang menghantam otakku, ternyata aku telah sampai di rumah. (Makassar, Jumat, 11 Rajab 1433/1 Juni 2012)

1 komentar: