Pages

Labels

Jumat, 12 September 2014

Begini rasanya numpang..

oleh: Abu Muhammad

Pernahkah Anda tinggal sementara waktu di rumah orang lain, dengan kata lain numpang?  Bagaimana perasaan Anda?  Mungkin senang karena dilayani segala keperluan.  Atau ada perasaan tidak enak?  Yah, itu kembali pada diri Anda.

Numpang alias bertamu di dalam islam telah diatur etikanya dengan sejelas-jelasnya.  Dalam Kitab Arba’in an-Nawawiyah, disebutkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaknya ia memuliakan tamunya”.  Telah diatur juga, bagi tamu, waktu paling lama ia berhak mendapat “pelayanan” adalah tiga hari.  Lebih dari itu, terserah tuan rumah untuk menjamu atau tidak, sudah tidak ada lagi kewajiban baginya.


Bertamu di atas tiga hari mungkin lebih tepat dikatakan numpang tinggal.  Numpang, tentu tidak senyaman tinggal di rumah sendiri.  Apalagi, saat kita numpang, tidak ada ‘kontribusi’ berarti dari kehadiran kita pada tuan rumah.  Beban mental, mungkin itu yang kita rasakan.  Ingin segera pergi, hajat(kebutuhan) belum selesai.  Tetap tinggal pun harus menanggung beban mental.

Sadarkah kita, bahwa saat ini kita sedang numpang di bumi milik Allah?  Pada hakikatnya rumah yang akta kepemilikannya tertera nama kita, itu hanya pinjaman dari Allah.  Semua yang “rasanya” kita miliki hanyalah pinjaman dari Allah.  Kapan saja Allah ingin, Dia berhak mengambil pinjaman itu dari kita.  Apapun bentuknya, bisa berupa harta, orang yang kita cintai, pekerjaan atau apapun itu, bahkan tubuh/fisik kita.  Allahu ‘alaa kulli syai’in qodiir[1].  Jadi, karena kita hanya numpang, dan semua ini adalah pinjaman, kita tidak boleh berbuat seenaknya terhadap pinjaman-pinjaman itu.

Berbuat sesuatu atas tumpangan dan pinjaman tentu akan membuat sang pemilik tidak senang.  Begitu juga, jangan sampai kita membuat Allah murka karena kita berbuat kerusakan di atas muka buminya.   Kerusakan-kerusakan itu adalah semua hal yang tidak disukai Allah, berupa maksiat dan dosa-dosa.  Syirik, adalah hal paling dibenci Allah dari semua ragam dosa yang ada.  Syirik artinya menyekutukan Allah, menganggap ada sembahan lain yang semisal dengan Allah.  Dalam Surah An-Nisa ayat 48[2], Allah mengancam tidak akan mengampuni orang-orang yang melakukan kesyirikan.

Selayaknya, kita sadar bahwa kita ini hanya menumpang.  Allahlah pemilik semuanya.

(catatan terpotong. saat sedang membuat catatan ini, tiba-tiba seorang ustadz datang meminta tolong untuk diantar ke stasiun.  Akibatnya, tulisan ini pun urung dirampungkan.  Dan juga sekedar saran bagi pembaca yang mau belajar menulis artikel ringan, tulislah dalam sekali duduk saja agar idenya tidak buyar)

Al-Hijaz Depok, 16 Dzulqo’dah 1435/12 September 2014 @ 6.37pm



[1] Allah berkuasa atas segala sesuatu
[2] “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa menyekutukannya(syirik), dan mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya”

0 komentar:

Posting Komentar