Pages

Labels

Senin, 13 Juni 2016

Renungan

Apa yang Anda lakukan jika Anda mengetahui bahwa waktu Anda sedikit namun Anda harus mengumpulkan perbekalan sebanyak-banyaknya sebelum waktu Anda habis, dan bekal itu akan Anda gunakan untuk perjalanan yang sangat jauh, dan Anda tahu bahwa jika bekal Anda hanya sedikit, Anda akan celaka di perjalanan?  Begitulah perumpamaan kita dengan kehidupan dunia ini.
Kehidupan dunia hanya sebentar.  Meski cuma sebentar, tapi kehidupan di dunia inilah yang menjadi penentu kebahagiaan atau kesengsaraan di fase kehidupan selanjutnya, sejak dari alam kubur(alam barzakh) sampai kita masuk ke dalam surge atau neraka-semoga Allah menyelamatkan kita dari neraka.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah radillohu ‘anhu:


أَعْمَارُ أُمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ

Umur-umur umatku antara 60 hingga 70, dan sedikit dari mereka yang melebihi itu.” (Dihasankan sanadnya oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari, 11/240)
Jika dibandingkan dengan perjalanan kehidupan setelah mati yang sangat panjang, maka waktu umur kita di dunia ini sangatlah singkat.  Untuk waktu di padang mahsyar saja lamanya 50.000 tahun.  Masalahnya, waktu untuk mengumpulkan bekal hanya ada di kehidupan dunia ini.  Bekal itu akan digunakan untuk kehidupan yang sangat penjang setelah kematian.
Namun sangat disayangkan, banyak manusia yang lalai.  Dia lupa atau pura-pura lupa bahwa ia akan mati.  Dan setelah mati, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di dunia ini.  Amal baik akan membawa kebahagiaan dan amal buruk mengantarkan pada kesengsaraan.
Termasuk faktor yang membuat banyak manusia lalai dari dari kematian dan hari akhirat adalah karena disibukkan dengan urusan dunia.  Memang, dunia menawarkan banyak kenikmatan.  Hawa nafsu tentunya ingin merasakan semua kenikmatan itu, meski kadang-kadang dengan melanggar larangan Allah.  Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda:
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat.”(HR. Muslim)

Perbuatan-perbuatan haram yang mengantar pada neraka terlihat nikmat karena memang hawa nafsu menyukainya.  Akan tetapi ibadah yang mengantarkan pada surga terasa berat oleh sebagian manusia karena memang ia diliputi dengan hal-hal yang dibenci hawa nafsu yang selalu ingin santai.
Manusia berlomba-lomba mengejar dunia dan melupakan akhiratnya.Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 16-17).
Padahal, tahukah kita nilai dunia dalam pandangan Allah subhanahu wa ta’ala?
Jabir bin Abdillah radiallohu ‘anhu, salah seorang sahabat, berkisah,
“Rasulullah shallahu alaihi  melewati pasar sementara orang-orang ada di sekitar beliau. Beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil atau terputus telinganya (cacat). Beliau memegang telinga bangkai tersebut seraya berkata, “Siapa di antara kalian yang suka memiliki anak kambing ini dengan membayar seharga satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga semurah apapun. Apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?” Rasulullah shallahu alaihi wa sallam kemudian berkata, “Apakah kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian?” “Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini masih hidup, tetaplah ada cacat, kecil/terputus telinganya. Apatah lagi ia telah menjadi seonggok bangkai,” jawab mereka. Beliau pun bersabda setelahnya, “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini bagi kalian.”
(HR. Muslim no.7344)
Perhatikan, begitu rendahnya dunia di hadapan Allah, bahkan lebih hina daripada daripada bangkai kambing cacat di hadapan kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia punya nilai di sisi Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir seteguk airpun.”
(HR. At-Tirmidzi no. 2320, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 686)
Tapi di antara manusia bahkan umat islam ada yang memandang bahwa dunia adalah segalanya. Siang malam dihabiskan untuk urusan dunianya.  Dia letih berpindah dari satu tempat ke tempat lain, lelah dari satu urusan ke urusan lain, semuanya dalam rangka mengumpulkan dunia dan harta benda.  Padahal semua yang ia kumpulkan itu pasti dan pasti akan ia tinggalkan tatkala kematian menjemputnya.
Jika semua waktu habis untuk dunia, mana waktu untuk Allah? Mana waktu untuk ibadah? Mana waktu untuk amal akhirat? Kalaupun sempat berdoa, maka doanya tidak luput dari permintaan untuk mendapatkan dunia.. Wallahul musta’an
Sebagian kaum muslimin memberikan waktu-waktu sisa untuk Allah. Tubuh yang sudah lelah, pikiran yang sudah tidak lagi jernih, baru lah disempatkan untuk sholat.  Sholat pun dikerjakan dengan tergesa-gesa dan tidak khusyuk.  Apakah amalan seperti ini yang pantas dipersembahkan untuk Allah? Padahal Dia-lah yang memberikan semua nikmat ini untuk kita..
Ini bukan berarti kita tinggalkan dunia sepenuhnya, namun kita mencoba untuk bersikap terhadap dunia secara proporsional.  Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” [Al Qashash : 77].
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, menjelaskan dalam tafsirnya tentang ayat ini: “Yaitu, kami tidak memerintahkanmu supaya menyedekahkan seluruh hartamu sehingga kamu menjadi terlantar. Namun bersedekahlah untuk kemaslahatan akhiratmu dan nikmatilah duniamu, tanpa merusak agama dan akhiratmu”
Saudaraku, jadikanlah akhirat sebagai tujuan utama kita. Dunia hanya sarana untuk kita bisa beramal dan memperbanyak bekal.  Orang yang menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya maka urusan-urusannya akan berantakan, dan di akhirat ia tidak mendapatkan apa-apa.
Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Kami mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa yang menjadikan dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)HR Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (no. 229), Ibnu Hibban (no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Ighotsatul Lahfaan berkata, “Orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (macam penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang selalu menyertainya, kepayahan yang tiada henti, dan penyesalan yang tiada berakhir

Pembaca rahimakumulloh, kita merasakan hari-hari begitu cepat berlalu.  Orang yang tahun lalu bercanda bersama kita kini telah menemui ajalnya.  Mereka yang kemarin bekerja bersama sekarang telah berpindah ke alam barzakh.   Mungkin amalnya banyak sehingga mereka bahagia disana, tapi boleh jadi mereka sengsara karena amalnya sedikit.  Tidakkah kita sadar bahwa mungkin kitalah giliran selanjutnya yang akan menjumpai ajal? Sudah siapkah kita? Meskipun tidak siap, ajal tetap akan datang pada waktu yang sudah Allah tetapkan, tak bisa ditunda atau dipercepat. “Dan bagi tiap-tiap jiwa sudah ditetapkan waktu (kematiannya), jika telah tiba waktu kematian, tidak akan bisa mereka mengundurkannya ataupun mempercepat, meskipun hanya sesaat” (QS. Al A’raf :34).
Meski lari ke ujung dunia atau bersembunyi di balik benteng kokoh sekalipun, kematian tak dapat dihalangi.  Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Jumu’ah: 8)
Mari kita jadikan ingat mati sebagai pelecut motivasi kita beramal di dunia ini. Dengan amalan yang ikhlas hanya mengharap wajah Allah, dengan amalan yang mengikuti contoh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Mumpung masih ramadhan.  Mari kita tingkatkan amal.  Kita jadikan ramadhan tahun ini sebagai momentum perubahan besar dalam hidup kita. Momentum perubahan orientasi, dari orientasi dunia menuju orientasi akhirat. Renungkan kembali tujuan kita hidup, apakah untuk dunia yang sementara ataukah untuk akhirat yang abadi?

Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua.

.: Risaluddin Syam :.
Jonggol, 9 Ramadhan 1437/14-6-2016 @ 11.12

0 komentar:

Posting Komentar