Pages

Labels

Selasa, 01 September 2015

Awas, sedang Sholat! Dilarang Melintas!



Syaikh Abu Utsman Kamal an-Najjar al-Yamani
Senin, 17 Dzulqo’dah 1436/01.09.2015
Kitab ‘Umdatul Ahkam
Hadits 110,111 –Sutrah dan lewat di depan orang sholat-






110.  Dari Abu Juhaim Abdullah bin Al-Harits bin Ash-Shammah Al-Anshari radhialloohu ‘anhu menuturkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sekiranya orang yang lewat di depan orang yang sedang sholat itu mengetahui dosa yang akan ditanggungnya, maka seandainya dia berhenti selama empat puluh, itu lebih baik daripada dia lewat di depan orang shalat tersebut”
Abu Nadhr mengatakan, “Aku tidak mengetahui apakah empat puluh hari, bulan ataukah tahun”

PENJELASAN

Dalam hadits ini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberi ancaman kepada orang yang lewat di hadapan orang sedang sholat.  Kata “al-Itsm” (dosa) dalam hadits di atas bukanlah kata yang terdapat dalam hadits Bukhari dan Muslim.  Dinyatakan bahwa lafadz ini Cuma ada dalam riwayat Bukhari saja, namun ini masih wahm(diragukan).

1.  Seandainya seseorang mengetahui akibat yang akan menimpanya jika ia melintas di hadapan orang yang shalat, maka ia pasti lebih memilih untuk berdiam diri sambil menunggu selama 40[1] daripada melintas di depan orang yang sedang sholat.

2.  Di antara hikmah dilarangnya jika melintasi orang yang sedang sholat, sebagaimana kata Imam Ibnul Mulaqqin rahimahullah yaitu: akan menyibukkan hati orang yang sedang sholat/mengganggu kehusyukannya padahal ia sedang dalam keadaan memberikan penghormatan kepada rabbnya(sholat)

3.  Hikmah lain dilarangnya hal ini: orang yang melintas di depan orang shalat telah memasuki antara orang yang sholat dengan rabb-nya (dukhul bainahu wa baina rabbihi).  Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian melaksanakan sholat maka janganlah ia memalingkan wajahnya(dari arah kiblat), karena pada saat itu Allah sedang menghadap kepada hamba-Nya selama ia tidak menoleh

4.  Hadits ini hanya khusus untuk imam atau untuk orang yang shalat sendirian, dan hal ini akan dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas yang akan datang.  Adapun makmum tidak masuk dalam hadits ini.  Imam Bukhari juga menamakan bab “Sutrah Imam juga merupakan Sutrah bagi yang sholat di belakangnya”

 ***




111. Abu Sa’id al-Khudri radhialloohu ‘anhu menuturkan bahwa dirinya mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian sholat menghadap sesuatu yang membatasinya dari orang (yang lewat), lalu ada orang yang hendak lewat di depannya, maka hendaklah dia menolak dengan keras.  Kalau orang tersebut menolak maka hendaklah dia meng-qital-nya (memeranginya), karena sesungguhnya dia adalah setan


Penjelasan

Mengenai Hukum Sutrah

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian sholat kecuali menghadap sutrah”, begitu juga dalam hadits lain, “Jika salah seorang kalian hendak sholat maka sholatlah menghadap sutrah dan mendekatlah kepadanya”.  Dari hadits ini Imam Al-Albani menyatakan bahwa sholat menghadap sutrah hukumnya wajib, begitu juga Imam Ibnu Hazm.  Namun, jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa hukumnya istihbab(sunnah).  Jumhur berdalil dengan hadits Ibn Abbas, “Saya melewati Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang sedang mengimami sholat di Mina tanpa menghadap tembok.  Tapi yang berpendapat wajib mengatakan, hadits ini menunjukkan nabi tidak menghadap tembok(sebagai sutrah), tapi boleh jadi nabi menghadap tiang atau menghadap kepada tunggangannya.  Pendapat wajibnya sutrah selain dipegangi oleh Syaikh Al-Albani, juga dipegangi oleh banyak ulama Yaman.

Adapun sutrah, diletakkan sejauh 3 dzira’ di depan orang yang sedang sholat.  Jarak antara kepada dengan sutrah saat sujud adalah sekitar sejengkal atau sejengkal setengah –sebagaimana yang dijelaskan syaikh Al-Albani radhialloohu ‘anhu-.  Pada dasarnya yang penting kepala mamarsya[2].  Sebagaimana dalam hadits, “Adalah jarak kepada rasulullah dan tembok(sutrah) mamarsya”.   Adapun mereka yang menekan kepalanya ke tembok maka ini seperti sholatnya ahlul bida’.

Dekatkan kepala ke sutrah dan jangan dijauhkan hingga misalnya sampai satu hasta atau dua hasta.  Adapun tinggi sutrah dikatakan para ulama sekitar 2/3 hasta dan boleh lebih tinggi.  Adapun lebarnya maka ini tidak dipermasalahkan, bahkan selebar anak panah pun boleh. 

Jika ada yang ingin melintas di depan saat kita sholat

Berdasarkan hadits di atas, maka jika ada yang ingin melintas antara kita dan sutrah, maka kita mencegahnya, tanpa perlu berkata-kata.  Para ulama berkata, cara mencegahnya, dimulai dari yang paling mudah dulu (sedikit demi sedikit).  Jangan langsung dicegah dengan keras  (misalnya dengan menyikut), sehingga membuat orang itu terpelanting ke tanah.  Jika dengan cara lembut orang tersebut masih tetap bersikeras untuk lewat, maka kita cegah dengan lebih kuat. 
Sebagian ulama berkata bahwa kita mencegahnya dengan kuat dan meng-qital-nya dengan qital yang besar.  Qital disini tidaklah bermakna peperangan dan permusuhan atau dengan menggunakan senjata.  Namun makna qital (memerangi) dalam hadits ini –sebagaimana perkataan Imam Ibnul Mulaqqin-, yaitu quwwata man’ (kuat dalam mencegahnya agar tidak melintas). 

Jika orang yang dicegah tersebut meninggal..

Ulama berbeda pendapat apakah ada diyat(denda) jika orang yang dicegah tersebut sampai meninggal dunia.  Sebagian ulama mengatakan, dia wajib membayar diyat dan sebagian lain mengatakan tidak.  Adapun Imam Ibnul Mulaqqin bertawaqquf (berdiam diri) dan tidak menguatkan salah satu dari dua pendapat tersebut.

“Sesungguhnya dia itu setan”

Sebagian ulama mengatakan bahwa makna dari hadits tersebut adalah bahwa sesungguhnya itu adalah pekerjaan/amalan setan.  Karena setan itu memiliki tujuan untuk merusak shalat seseorang atau menimbulkan gangguan(waswas).

Ulama yang lain mengatakan bahwa maksud dari hadits ini adalah al-qoriin(setan yang selalu bersama dengan manusia sebagaimana al-qoriin ini dijelaskan keberadaannya dalam hadits yang lain.

Wallahu a’lam

transkrip dan alih bahasa:
Abdullah



[1] (periwayat hadits tidak tahu apakah yang di maksud 40 hari, 40 bulan, atau 40 tahun, tapi penggunaan 40 disini menunjukkan waktu yang lama

[2] Kata ini belum kami temukan maknanya dan akan kami tanyakan terlebih dahulu kepada syaikh.  Setelah jelas bagi kami, maka postingan ini akan kami update. Wallaahu waliyyu at-taufiq

0 komentar:

Posting Komentar