Pages

Labels

Sabtu, 12 September 2015

Semangat Menuntut Ilmu

  Copas dari jadilahpenyeru.blogspot.com
Ilmu adalah sesuatu paling mulia yang disenangi oleh orang yang berminat; sesuatu paling utama yang dicari orang dengan bersungguh-sungguh; dan sesuatu paling berguna yang didapat oleh orang yang mau mengusahakannya.
Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu pernah berkata kepada Kumail, "Camkan apa yang aku katakan kepadamu. Manusia itu ada tiga macam. Pertama, orang berilmu yang rabbani. Kedua, orang berilmu yang masih tetap belajar di atas jalan keselamatan. Dan ketiga, orang jembel yang suka ikut-ikutan. Ia selalu mengikuti ke mana arah angin. Ia tidak mau berpe­doman pada cahaya ilmu, dan tidak berlindung pada pilar yang kokoh. Sesung­guhnya ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu akan menjaga Anda, sedangkan harta,  Andalah yang harus menjaganya. Ilmu dapat mengembangkan amal,sedangkan harta itu berkurang karena dibelanjakan. Karya ilmu akan dikenang walaupun yang bersangkutan telah meninggal dunia, sedangkan karya harta akan hilang bersama meninggalnya orang yang bersangkutan. Para penyimpan harta itu telah mati kendatipun sebenarnya mereka masih hidup, sedangkan para ulama akan terus abadi sepanjang zaman. Meskipun jasad mereka telah tiada, namun keteladanan-keteladanan mereka tetap bersemayam dalam hati." 
 
Pembicaraan tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan yang didapat oleh orang yang mencarinya dengan sungguh-sungguh adalah pembicaraan yang sudah sangat jelas dan tidak kedengaran asing di telinga. Maksud kami bukan itu. Kami ingin menyoroti ilmu sebagai potensi yang mengandung kekuatan amaliyah dan sekaligus sebagai sarana yang mampu mengantarkan para ulama kita ke derajat yang tinggi, terutama di mata Allah. Mereka adalah para pelayan agama dan penyebar ilmu.
Imam Abul Faraj Al-Jauzi Rahimahullah mengatakan, "Heran aku memikirkan. Untuk mendapatkan segala sesuatu yang mahal dan sangat penting, jalannya berliku-liku dan membutuhkan banyak jerih payah. Begitu pula dengan ilmu. Untuk mendapatkan sesuatu yang paling mulia ini, orang harus mau bersusah payah, begadang, dan meninggalkan berbagai kesenangan nafsu. Ada seorang ulama ahli fiqih yang mengatakan, 'Selama beberapa tahun aku ingin sekali memakan bubur harisah, tetapi belum juga kesampaian sebab makanan itu dijual bersamaan dengan waktu aku harus mendengarkan pelajaran'."
Oleh karena itulah, Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan, "Kebabahagiaan ilmu hanya bisa kamu dapatkan jika kamu mau mengorbankan waktu luang, benar-benar berusaha mencari, dan disertai dengan niat yang benar."
Indah sekali apa yang dikatakan oleh seorang penyair:
Katakan kepada orang yang ingin menggapai hal-hal yang luhur tanpa bersusah payah,
"Kamu mengharapkan sesuatu yang mustahil"
Seseorang yang bercita-cita ingin meraih hal-hal yang mulia, ia wajib menempuh dengan tekun dan mencintai jalan-jalan agama yang menjanjikan kebahagiaan, meskipun pada awalnya sulit untuk menghindari dari berbagai macam penderitaan dan hal-hal yang tidak menyenangkan. Akan tetapi, jika ia sanggup mengendalikan nafsunya sehingga tunduk dan bersabar menghadapi segala kesulitan untuk menuju ke sebuah tempat yang mulia, ia akan mendapati segala kenikmatan. Seperti yang dikatakan oleh seorang penyair:
Aku melihat diriku dibawa oleh kesenangan ke batas yang sangat jauh
Ketika telah sampai dan aku perhatikan keindahannya,
aku yakin bahwa aku hanya sedang bermain-main
Untuk mencapai kemuliaan memang harus mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, dan untuk memperoleh kebahagiaan itu memang harus melewati jembatan kesusahan. Dan perjalanannya hanya bisa ditempuh dengan bahtera kesungguhan serta perjuangan.
Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim berkata, "Yahya bin Abu Katsir mengatakan, 'Ilmu itu tidak bisa didapat dengan memanjakan tubuh'."
Orang bijak mengatakan, "Siapa mencari kesenangan, dia harus meninggalkan kesenangan."
Seandainya semua orang tahu betapa manis kenikmatan ilmu dan betapa besar nilainya, tentu mereka akan berjuang mendapatkannya meskipun harus saling pukul memukul dengan menggunakan pedang. Akan tetapi, manisnya ilmu itu dikelilingi oleh dinding-dinding yang tidak menyenangkan. Dan mereka disekat dengan sekat-sekat kebodohan sehingga secara khusus Allah hanya memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki diantara hamba-hamba-Nya. Allah adalah pemilik karunia yang agung.
Imam Asy-Syafi'i Rahimahullah mengatakan, "Seorang penuntut ilmu yang ingin memperbanyak ilmunya, ia wajib mengerahkan segenap jerih payahnya, sabar menghadapi segala kesulitan yang menghadang, ikhlas niat karena Allah dalam mencari ilmu-Nya, dan selalu memohon pertolongan Allah."
Seorang penyair mengatakan:
Jangan kamu kira kemuliaan itu seperti korma yang siap kamu makan
karena kamu tidak akan mendapatkannya tanpa melewati kesabaran
Untuk mendapatkan ilmu, para ulama harus menghadapi berbagai macam kesulitan dan penderitaan. Imam Ibnu Hisyam, seorang ulama ahli ilmu nahwu yang cukup terkenal, penulis kitab Al-Qathar, Al-Mughni, dan kitab-kitab lainnya, berpesan kepada para penuntut ilmu supaya sabar menghadapi berbagai kesulitan untuk mendapatkan ilmu karena sabar ada­lah syarat memperoleh sesuatu yang mulia dan mahal nilainya. Ia mengata­kan:
Siapa yang bersabar untuk ilmu, ia akan memperolehnya
Siapa ingin meminang gadis cantik, ia harus sabar untuk berkorban
Siapa mencari keluhuran namun tidak mau sabar mengatasi nafsu sebentar saja, selamanya ia akan hidup terhina
Seorang musafir yang ingin menempuh perjalanan dan sampai ke tempat tujuan, ia harus memiliki kesungguhan serta semangat yang kuat, termasuk berjalan pada malam hari. Jika ia menyimpang dari jalan yang sedang ditempuhnya atau tidur semalam suntuk, kapan ia sampai ke tempat tujuan­nya?
Siapa ingin dapat harus giat
dan malas adalah kegagalan
Siapa bersusah payah
ia akan segera mendapat puncak harapan
Oleh karena itu, Anda harus bersungguh-sungguh, wahai orang yang sedang menuntut ilmu. Niscaya Anda akan berhasil karena masalahnya adalah seperti yang dikatakan oleh Ibnu Al-Junaid, "Siapapun yang mencari sesuatu dengan sungguh-sungguh dan benar, niscaya ia akan mendapatkannya. Seandainya ia tidak mendapatkan seluruhnya, paling tidak ia akan mendapatkan sebagiannya."
Berikut adalah tanda-tanda sifat orang yang bercita-cita tinggi dalam menuntut ilmu:
·         Tidak membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak ada manfaat­nya.
·         Memiliki minat yang besar.
·         Antusias terhadap semua peluang yang dapat menghasilkan ilmu.
·         Rajin mencari tanpa kenal lelah dan tidak merasa bosan atas lamanya jarak perjalanan yang harus ditempuh.
·         Menjaga lidah agar jangan sampai mudah mengucapkan sesuatu yang sia-sia dan mengandung kebodohan. Dikarenakan sedang menekuni kebenaran, maka harus berpaling dari kebatilan.
Apa yang telah dicontohkan oleh para Salafus-Shalih dalam menuntut ilmu, menyebarkannya, dan menyusunnya, sungguh mengagumkan. Demi semua itu mereka rela menghabiskan waktu dan melewatkan masa muda me­reka. Akibatnya, mereka berhasil meraih prestasi dan reputasi yang mence­ngangkan. Cobalah perhatikan perilaku-perilaku mereka, ikuti petunjuk me­reka, dan turuti jejak langkah mereka.
Seorang penyair mengatakan:
Ceritakan padaku tentang mereka, wahai Sa'ad
Biar aku semakin mencintai mereka
Berceritalah terus padaku, wahai Sa'ad
Seorang penyair lain mengatakan:
Ulangi terus cerita tentang mereka, wahai Hadi
Kerena cerita tentang mereka
amat menyejukkan hatiku yang dahaga
******
(1)
CITA-CITA TINGGI SALAFUS SHALIH DALAM MENUNTUT ILMU YANG MULIA
Ilmu adalah karya dan aktivitas hati. Jika Anda tidak mau meluangkan waktu untuk ilmu, tentu Anda tidak akan mendapatkannya. Dan jika Anda arahkan diri Anda pada kesenangan-kesenangan nafsu, Anda akan jauh dari ilmu. Orang yang lebih mengutamakan kesenangan nafsunya daripada kenikmatannya mendapatkan ilmu, selamanya ia tidak akan mendapatkan derajat ilmu. Akan tetapi, jika ia bisa membayangkan nikmatnya mendapatkan ilmu, ia masih punya harapan untuk menjadi anggota keluarga besar orang­-orang yang berilmu. Itulah sebabnya kenapa para ulama kita dahulu begitu antusias dalam menuntut dan menghimpun ilmu. Antusiasme mereka sungguh tidak ada bandingannya. Berikut ini adalah beberapa contohnya:
Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu berkata, "Pada suatu hari aku sedang bersama seorang tetanggaku bernama Aus bin Khawali Al-Anshari dari Bani Umayyah bin Zaid. Kami bergantian menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ia menemui beliau pada suatu hari, dan pada ­hari berikutnya giliran aku yang menemui beliau. Begitu seterusnya. Selesai ­bertemu beliau, aku datang menemuinya dengan membawa berita hari itu ­tentang wahyu dan yang lainnya. Demikian pula yang ia lakukan padaku."
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma  berkata, "Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam  telah wafat, pada suatu hari aku berkata kepada seorang shahabat Anshar, 'Mari kita menemui shahabat-shahabat Rasulullah. Sesungguhnya pada hari ini mereka cukup banyak.' Ia berkata, 'Aku heran pada Anda, wahai Ibnu Abbas! Anda lihat sendiri orang-orang sedang membutuhkan Anda dan di antara mereka terdapat shahabat-shahabat Rasulullah. Jadi siapa di antara mereka yang akan Anda temui?' Aku tidak menghiraukan hal itu. Aku lalu berangkat untuk bertanya kepada shahabat-shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Setiap kali aku mendengar orang yang punya hadits, langsung aku datangi rumahnya. Jika ia sedang tidur siang, aku rela menunggu di depan pintunya, duduk berbantalkan sorbanku. Aku tidak peduli dengan tiupan angin yang menaburkan  debu pada wajahku. Begitu ia keluar dan melihat aku, ia berkata, 'Wahai sepupu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, mengapa Anda datang?  Kenapa  Anda tidak suruh orang lain mengundangku saja? Pasti aku akan datang ke­pada Anda.' Aku berkata, 'Tidak. Akulah yang harus datang kepada Anda.' Aku kemudian bertanya kepadanya tentang hadits. Orang Anshar itu diam-diam mengikuti aku. Melihat aku sedang dikerumuni oleh banyak orang yang ingin bertanya kepadaku ia berkata, 'Benar. Anak muda itu lebih pintar dari­pada aku'."
Ketika beberapa negara telah berhasil ditaklukkan oleh kaum Muslimin, Ibnu Abbas lebih memilih kehausan oleh udara yang panas karena harus menelusuri jalan-jalan kota Madinah demi mencari ilmu, daripada bernaung di bawah pohon taman-taman di Syiria, atau di tepi-tepi Sungai Nil, Sungai Tigris, dan Sungai Efrat.
Ibnu Abbas bercerita, "Ketika beberapa kota berhasil ditaklukkan oleh pasukan Islam, orang-orang sama mencari harta dunia, sedangkan aku memilih menemui Umar Radhiyallahu Anhu."
Setiap anak manusia itu punya keinginan
Dan keinginanku ialah sehat dan punya waktu luang
guna mendapatkan ilmu syari'at sebagai bekal ke surga
Untuk hal seperti itulah seharusnya orang-orang yang berakal saling berlomba
Bagiku, dunia adalah bekal yang menipu
dan kebahagiaan sejati itu ada di surga yang abadi tempat segala kenikmatan tak terbatas
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu bercerita tentang kegigihannya dalam menuntut ilmu. Ia mengatakan, "Aku biasa datang ke rumah Ubai bin Ka'ab. Ketika ia sedang tidur, aku rela menunggunya sambil tidur di depan pintunya. Melihat kedudukanku sebagai kerabat dekat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, aku yakin ia tidak akan marah jika dibangunkan karena kedatanganku. Akan tetapi, aku tidak mau membuatnya bosan."
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu  juga pernah mengatakan, ''Aku sangat dekat dengan beberapa shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang senior, baik dari golongan Muhajirin maupun golongan Anshar. Aku sering bertanya kepada mereka tentang peperangan-peperangan yang diikuti oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan juga tentang ayat-ayat Al-Qur'an yang menerangkan hal itu. Aku berusaha menemui siapapun dengan cara menyamar. Hal itu demi menjaga perasaannya, mengingat aku adalah termasuk kerabat dekat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Pada suatu hari aku bertanya kepada Ubai bin Ka'ab, seorang yang mem­punyai ilmu cukup mendalam tentang surat-surat Al-Qur'an yang diturunkan di Madinah. Dan ia menjawab, 'Yang diturunkan di Madinah ada dua puluh tujuh surat, dan sisanya diturunkan di Makkah'."
Asy-Syafi'i Rahimahullah mengatakan, "Aku hapal Al-Qur'an dalam usia tujuh tahun dan aku hapal kitab Al-Muwatha' ketika berusia sepuluh tahun."
Asy-Syafi'i Rahimahullah mengatakan, "Setelah mengkhatamkan Al-Qur'an, aku masuk masjid dan bertemu dengan beberapa orang ulama. Begitu mendengar hadits atau masalah yang lain, aku langsung hapal. Ibuku tidak punya uang yang bisa ia berikan padaku untuk membeli kertas. Maka begitu melihat tulang yang bisa digunakan untuk menulis, aku ambil dan aku guna­kan untuk menulis. Dan jika sudah penuh aku simpan tulang itu ke dalam guci kuno milik keluargaku."
Asy-Syafi'i Rahimahullah juga mengatakan, "Aku tidak punya uang ketika aku sedang menuntut ilmu pada usia yang masih sangat muda, yaitu kurang dari tiga belas tahun. Aku biasa pergi ke kantor pemerintahan untuk minta kertas-kertas bekas yang masih bisa aku gunakan untuk menulis pelajaran."
Ibnu Abu Hatim berkata, "Aku pernah mendengar Al-Muzani mengatakan, 'Asy-Syafi'i ditanya, 'Bagaimana kesenangan Anda terhadap ilmu?' Ia menjawab, 'Setiap kali mendengar satu kalimat yang belum pernah aku dengar, seluruh anggota tubuhku merasakan nikmat. Seolah-olah semua bisa mendengar seperti sepasang telinga.' Asy-Syafi'i ditanya, 'Bagaimana kelobaan Anda terhadap ilmu?' Ia menjawab, 'Seperti seorang materialis yang serakah ketika melihat peluang mendapatkan harta yang banyak.' Asy-Syafi'i juga ditanya, 'Bagaimana keadaan Anda dalam mencari ilmu?' Ia menjawab, 'Se­perti seorang ibu yang mencari putra satu-satunya yang hilang'."
Muhammad bin Salam adalah guru Imam Al-Bukhari. Pada suatu hari ketika Al-Bukhari sedang tekun menulis hadits yang didiktekan oleh sang guru, tiba-tiba pena yang ia gunakan patah. Ketika sang guru berseru agar mengganti pena. Maka beterbanganlah beberapa pena ke arah Al-­Bukhari.
Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah mengatakan, "Orang pertama yang mendiktekan hadits kepadaku adalah Abu Yusuf." Selanjutnya, Imam Ahmad bin Hanbal menerima hadits di Baghdad mulai tahun 179 Hijriyah sampai tahun 186 Hijriyah. Ia pernah sangat dekat dengan Husyaim bin Basyir bin Abu Hazim Al-Wasithi, seorang ulama ahli hadits dan atsar di Baghdad, selama empat tahun. Ia juga biasa mendengar hadits dari Abdurrahman bin Mahdi dan Abu Bakar bin Iyasy. Ia adalah orang yang terkenal sangat gigih, tekun, dan rajin dalam mencari ilmu. Men­ceritakan tentang dirinya ia berkata, "Terkadang pagi-pagi sekali aku sudah ingin mendengarkan hadits. Ibuku mencegah dengan memegangi pakaianku." Ia juga mengatakan, "Begitu punya uang sebanyak lima puluh dirham, aku langsung pergi menemui Jarir bin Abdul Humaid."
Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah mengatakan, 'Jika aku hendak me­nuntut ilmu, aku katakan, 'Ya Tuhanku, aku harus punya penghidupan.' Dan setiap kali melihat ilmu yang harus dipelajari, aku katakan, 'Ya Tuhanku, berikanlah keleluasaan padaku untuk mendapatkannya. Dan tolong berikan aku bekal yang cukup'."
Begitu besar tekad Sufyan Ats-Tsauri dalam menuntut ilmu sehingga mendorong ibunya bersedia membiayainya. Dengan tulus sang ibu berkata, "Wahai putraku, carilah ilmu. Biarkan aku yang akan mencukupimu dengan uang hasil tenunanku." Selain belajar ilmu dari beberapa orang guru, ia juga belajar kepada siapa saja yang punya ilmu.
Begitu tinggi perhatian dan semangat Sufyan Ats-Tsauri dalam menuntut ilmu. Diceritakan oleh Abu Nu'aim, "Setiap kali bertemu dengan seorang guru, ia akan bertanya, 'Apakah Anda mendengar suatu ilmu?' Jika jawa­bannya 'Tidak,' ia berkata, 'Semoga Allah membalas jasa baik Anda kepada Islam'."
Di antara bukti betapa besar perhatian Sufyan Ats-Tsauri terhadap ilmu ialah pernyataannya, "Orang yang merasa tidak suka anaknya mencari hadits, ia layak untuk dimintai tanggung jawabnya di akhirat nanti."
Ternyata perhatian Sufyan Ats-Tsauri terhadap ilmu tidak hanya sekedar mencarinya saja, melainkan juga mengamalkannya. Ia bersemangat sekali menyebarluaskan ilmu dan menyerukannya kepada masyarakat.
Diceritakan oleh Abu Nu'aim, "Sesungguhnya Sufyan Ats-Tsauri pernah mengatakan, 'Selain amal-amal fardhu, amal yang paling utama ialah menuntut ilmu.' Dan ia juga pernah mengatakan, 'Aku akan terus mempelajari ilmu selama aku masih mendapati orang yang mau mengajarkannya ke­padaku' ."
Tsa'labah mengatakan, "Selama kira-kira lima puluh tahun, satu kalipun aku tidak pernah melihat Ibrahim Al-Harbi absen dalam majelis bahasa."
Al-Hafizh Adz-Dzahabi menuturkan tentang biografi Abu Hatim Ar­-Razi alias Muhammad bin Idris yang wafat tahun 277 Hijriyah, "Sesung­guhnya Abu Hatim pernah berkata kepadaku, 'Aku tidak pernah melihat orang yang begitu antusias dalam mencari hadits melebihi Anda.' Aku katakan, 'Putraku Abdurrahman lebih antusias lagi.' Mendengar jawabanku itu, ia berkata, 'Siapa yang menyerupai ayahnya, ia tidak berbuat aniaya'."
Ar-Rammam alias Ahmad bin Ali, salah seorang tokoh sanad hadits, berkata, ''Aku bertanya kepada Abdurrahman tentang prestasinya yang luar biasa itu. Dan ia menjawab, 'Terkadang sambil makan pun ayahku memba­cakan hadits padaku. Sambil berjalan pun ayahku membacakan hadits padaku. Ketika sedang berada di dalam jamban pun ayahku sempat membacakan hadits padaku. Bahkan, ketika masuk rumah untuk mencari sesuatu pun ayah­ku masih sempat membacakan hadits padaku'."
Tidak heran jika semangat menuntut ilmu yang sangat langka tersebut membuahkan hasil karya yang sangat besar. Di antaranya ialah:
1)      Kitab Al-Jarhu wa Al-Ta'dil sebanyak sembilan jilid, kitab yang sangat bagus, yang sarat dengan ilmu.
2)      Kitab Al-Tafsir sebanyak beberapa jilid.
3)      Dan kitab Al-Musnad  sebanyak seribu juz.
Adz-Dzahabi Rahimahullah berkata, "Ali bin Ahmad Al-Khawarzami berkata, 'Ibnu Abu Hatim berkata, 'Aku tinggal di Mesir selama tujuh bulan. Kami tidak pernah makan kuah. Siang hari aku gunakan buat berkeliling ke para guru. Sementara malam harinya aku gunakan buat menulis naskah dan mencari perbandingan. Pernah pada suatu hari aku dan temanku mendatangi seorang guru. Lalu orang-orang berkata, 'Ia sakit.' Ketika pulang kami melihat seekor ikan besar. Kami lalu membelinya untuk dimasak. Akan tetapi, sesampai di rumah tiba waktunya kami harus belajar kepada seorang guru. Selama tiga hari kami biarkan ikan tersebut sehingga hampir membusuk. Akan tetapi, kami tetap memasak dan memakannya juga, meskipun rasanya sangat tidak nikmat. Kemudian, temanku itu berkata, 'Ilmu itu tidak bisa didapat dengan memanjakan jasmani'."
Seandainya tidak ada tiga hal,
cintaku padanya tidak terbendung lagi,
yaitu mencari riwayat hadits, menulisnya, dan mendalaminya Bagiku, ketiganya merupakan cinta yang menjanjikan petunjuk
Imam Sulaim bin Ayyub Ar-Razi, salah seorang imam besar madzhab Syafi'i yang wafat tahun 447 Hijriyah, merupakan orang yang sangat meng­hargai waktu. Ia tidak mau menyia-nyiakannya untuk hal-hal yang tidak ber­faidah. Abul Faraj Ghaits bin Ali At-Tanukhi Ash-Shuri mengatakan, "Aku mendapatkan cerita tentang Sulaim bin Ayyub Ar-Razi. Ia adalah orang yang sangat menghargai waktu. Ia tidak mau membiarkan waktu berlalu ba­rang sebentar pun tanpa ada gunanya sama sekali; mungkin untuk menulis, untuk belajar, untuk membaca, dan lain sebagainya. Syaikh Abul Faraj Al-Isfirayini, salah seorang muridnya, bercerita kepadaku bahwa pada suatu hari Sulaim bin Ayyub Ar-Razi datang ke rumahnya. Ketika hendak pamit pulang ia berkata, 'Dalam perjalanan ke sini tadi aku berhasil membaca satu juz'."
Mu'ammal bin Husain juga bercerita kepadaku bahwa pada suatu hari ia melihat Sulaim sedang memperbaiki penanya yang patah ketika sedang di­pakai untuk menulis, sementara sepasang bibirnya nampak bergerak-gerak. Belakangan ketahuan bahwa ketika memperbaiki penanya tadi ia tetap membaca. Rupanya ia tidak mau membiarkan ada waktu kosong yang berlalu begitu saja.
Ibnu Nashir Al-Hafizh menyifatkan Abu Thahir As-Salafi dengan mengatakan, "Semangatnya dalam mendapatkan ilmu adalah laksana nyala api."
Khalil bin Ahmad Al-Farahidi Rahimahullah mengatakan, "Saat-saat paling berat bagiku ialah saat harus makan."
Utsman Al-Baqilawi adalah orang yang sangat rajin berdzikir mengingat Allah Ta'ala. Ia mengatakan, "Pada waktu berbuka (puasa) rohku seakan-­akan terasa keluar karena aku harus makan dan berhenti berdzikir."
Ammar bin Raja' mengatakan, ''Aku pernah mendengar Ubaid bin Ya'isy mengatakan, 'Selama tiga puluh tahun pada waktu malam aku tidak sempat makan dengan menggunakan tanganku. Adik perempuankulah yang menyuapi aku, ketika aku sedang asyik menulis hadits'."
Daud Ath-Tha'i adalah orang yang suka menelan remukan roti. Ia pernah mengatakan, "Selama menelan remukan roti dan memakan rotinya aku berhasil membaca lima puluh ayat Al-Qur'an."
Imam Ibnu Aqil Rahimahullah mengatakan, "Saat-saat paling menyiksa aku ialah saat-saat ketika aku harus makan. Sampai-sampai aku memilih memakan sepotong kue saja yang segera aku susuli dengan air supaya tidak banyak menyita waktu karena masih banyak hal-hal bermanfaat yang harus aku kerjakan."
Bahkan, ada seorang ulama yang merasa sangat sedih sehingga jatuh sakit gara-gara ia terlambat mendapatkan suatu ilmu. Ketika Syu'bah men­dengar orang-orang menuturkan sebuah hadits yang belum pernah didengar­nya, ia berkata, "Aduh, menyedihkan sekali!" Ia merasa sangat menyesal se­hingga jatuh sakit.
Pada suatu hari seseorang bertanya kepada Asy-Syu'bi, "Dari mana Anda dapatkan semua ilmu ini?" Syu'bah menjawab, "Dengan cara mem­buang sikap malas, rajin mencari ke mana-mana, bersabar seperti kesabaran seekor keledai, dan dengan sangat cekatan seperti cekatannya seekor burung gagak."
Di antara bukti betapa mereka itu sangat antusias terhadap ilmu dan majelis-majelisnya ialah lalu lalangnya mereka dengan tergesa-gesa di jalan­-jalan, seperti yang Anda lihat sendiri sehingga mereka itu seperti orang-orang gila. Oleh karena itu, Syu'bah Rahimahullah pernah mengatakan, "Setiap kali melihat ada orang yang berjalan bolak-balik dengan tergesa-gesa, aku yakin ia adalah orang gila atau orang yang sedang sibuk mencari hadits."[1]
Abdurrahman bin Taimiyah mengutip cerita ayahnya, "Kakekmu kalau masuk ke dalam jamban, ia berkata kepadaku, 'Bacalah kitab ini dengan suara keras, biar aku bisa mendengarnya dari dalam'."
Al-Allamah Abul Ma'ali alias Mahmud Syukri Al-Alusi Al-Baghdadi adalah seorang ulama besar yang terkenal sangat gigih dalam berusaha dan juga sangat menghargai waktu. Ia tidak mau absen memberikan pelajaran hanya gara-gara udara sangat panas atau sangat dingin. Ia tidak segan-segan mengkritik, menegur, memarahi, bahkan berlaku keras kepada murid-muridnya yang terlambat sekolah karena alasan yang dianggapnya sepele seperti itu. Salah seorang muridnya yang bernama Bahjat Al-Atsri menceritakan pengalamannya, ''Aku ingat, pernah pada suatu hari aku tidak masuk sekolah karena terhalang oleh hujan lebat disertai angin kencang yang menyebabkan jalanan menjadi becek. Dan aku yakin bahwa beliau juga absen mengajar. Akan tetapi, pada hari berikutnya beliau mengatakan, "Tidak ada kebaikan sama sekali pada orang yang dikalahkan oleh udara panas atau dingin."
Al-Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi Rahimahullah, seorang ulama ahli Al-Qur'an, mengatakan, "Pernah aku datang kepada se­orang guru untuk belajar. Sebelumnya beliau tidak pernah mengenalku. Beliau bertanya siapa aku dan apa tujuanku. Setelah memperkenalkan identitasku serta asal usulku, dengan tegas aku jawab bahwa aku bermaksud ingin belajar ilmu nahwu kepada beliau."
Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi Rahimahullah menuntut ilmu se­menjak kecil. Ia mempelajari berbagai disiplin ilmu dari beberapa orang guru. Hal itu karena ia terdorong oleh keinginannya yang kuat dan cita-citanya yang tinggi untuk bisa mendapatkan banyak ilmu serta menguasainya dalam waktu yang sesingkat mungkin.
Salah satu contoh yang membuktikan betapa ketika masih muda ia sudah menaruh perhatian yang sangat besar terhadap ilmu ialah pengalaman­nya ketika sedang dalam perjalanan menunaikan ibadah haji. Ia mengatakan, "Dikarenakan terlalu sibuk mencari ilmu, aku jadi tidak sempat memikirkan keinginan untuk menikah karena menurutku hal itu bisa menggangguku. Aku pernah ditawari oleh seorang temanku untuk menikah dengan seorang wanita yang cukup cantik. Sebenarnya aku merasa tertarik padanya dan mau menikahi­nya, dengan syarat ia mau sabar menunggu aku yang sedang menuntut ilmu. Akan tetapi, mungkin karena terlalu lama wanita tersebut menjadi putus asa dan tidak sabar. Akhirnya, ia memilih menikah dengan seorang hartawan. Aku terima kenyataan itu dengan lapang dada. Aku tidak kecewa karena aku memang belum puas menuntut ilmu. Pada suatu hari seorang teman berkata kepadaku, 'Menikahlah sebelum terlanjur tua. Saat ini banyak wanita cantik dari keturunan orang baik-baik yang masih mau menikah denganmu.' Teman­ku itu bermaksud supaya aku tergesa-gesa menuntut ilmu. Dan sebagai jawa­bannya, aku menulis bait-bait sya'ir."
Orang-orang itu menasihati aku untuk menikah besok pagi
Mereka bilang padaku, menikahlah dengan seorang wanita yang genit,
menawan kerlingannya, anggun, periang, dan lembut
Nanti kamu akan menemukan selaksa nikmat
Kerlingannya laksana anak panah yang menembus hati yang luka
Bagiku itu biasa
Akan tetapi, berapa banyak terjadi anak panah
yang telah mem­bunuh seorang pasukan yang lemah
dan tak bersenjata seperti diriku ini?
Makanya aku katakan kepada mereka,
"Biarkan sajalah aku karena saat ini hatiku masih bingung dan menjerit"
Aku masih asyik dengan wanita pujaanku
yang parasnya berkilau seakan-akan pagi yang cerah
Aku melihat ia begitu cantik dengan pakaiannya yang sangat anggun
Aku masih enggan berpikir untuk meninggalkannya
demi menikahi wanita yang kalian tawarkan kepadaku itu
* * *
(2)
CITA-CITA TINGGI MEREKA MEMBACA KITAB-KITAB HADITS DALAM WAKTU YANG SANGAT SINGKAT
Disebutkan dalam biografi Al-Fairuz Abadi, penulis Al-Qamus, di Damaskus ia membaca kitab Shahih Muslim hanya dalam waktu tiga hari. Pengalaman itu ia tulis dalam sya'ir:
Dengan bersyukur kepada Allah,
aku baca Jami' Muslim di Damaskus
Di hadapan Nashiruddin Al-Imam bin Juhail,
seorang Al-hafizh yang terkemuka dan terkenal
Dan berkat taufik Allah, selesai selama tiga hari
Al-Hafizh Abul Fadhel Al-Iraqi membaca kitab Shahih Muslim di hadapan Muhammad bin Ismail AI-Khabbaza di Damaskus dalam enam majelis secara berturut-turut. Lebih dari sepertiga bagian kitab tersebut ia baca pada majelis yang terakhir, di hadapan Al-Hafizh Zainuddin bin Rajab. Disebutkan dalam Tarikh Al-Dzahabi tentang biografi Ismail bin Ahmad Al-Hairi An-Naisaburi bahwa di Makkah Al-Khathib Al-Baghdadi memba­cakan Shahih Al-Bukhari kepadanya dalam tiga majelis; dua majelis di antaranya diselenggarakan dalam dua malam secara berturut-turut. Ia mulai membacanya selepas shalat maghrib dan selesai menjelang shalat shubuh. Sementara majelis yang ketiga diselenggarakan sejak pagi hari sampai waktu terbit fajar. Komentar Adz-Dzahabi, "Pada zamanku, aku tidak pernah melihat seorang pun yang sanggup melakukan hal tersebut."
Al Hafizh As-Sakhawi mengatakan, "Apa yang berhasil dilakukan oleh guru kami AI-Hafizh Ibnu Hajar lebih hebat dari apa yang dilakukan oleh gurunya. Betapa tidak. Ia pernah membaca Shahih Al-Bukhari hanya dalam waktu empat puluh jam, Dan dia membaca Shahih Muslim dalam empat majelis, selain majelis takhtim selama dua hari lebih sedikit. Ia juga berhasil membaca Sunan Abi Daud dalam empat majelis, dan membaca Al-Nasa'i Al-Kabir dalam sepuluh majelis, yang setiap majelis berlangsung selama kurang lebih empat jam." Selanjutnya, As-Sakhawi mengatakan, "Hebatnya lagi, dalam lawatannya di Syiria Ibnu Hajar pernah membaca Mu'jam Ath­-Thabarani Al-Shaghir hanya dalam satu majelis yang berlangsung sangat singkat, yakni selepas shalat zhuhur hingga menjelang shalat ashar. Padahal kitab yang hanya terdiri dari satu jilid tersebut memuat sekitar seribu lima ratus hadits."
* * *
(3)
CITA-CITA TINGGI MEREKA DALAM PERGI MERANTAU MENCARI ILMU
Al-Bukhari Rahimahullah mengatakan, "Jabir bin Abdullah pergi menempuh perjalanan selama satu bulan menemui Abdullah bin Anis hanya demi mendapatkan satu riwayat hadits."
Abu Ayyub Al-Anshari meninggalkan Madinah menemui Uqbah bin Nafi' yang tinggal di Mesir, dengan tujuan untuk mendengarkan satu riwayat hadits. Begitu tiba di Mesir, ia langsung turun dari untanya tanpa menambat­kannya terlebih dahulu. Dan selesai mendengar satu riwayat hadits dari Uqbah, ia langsung pulang kembali ke Madinah.
Imam Malik berkata-seperti yang dikutip oleh Yahya bin Sa'id-, "Sa'id bin Al-Musayyab mengatakan, 'Selama beberapa hari dan beberapa malam aku pernah bepergian hanya untuk mencari satu hadits'."
Abul Aliyah alias Rufai' bin Mihran Ar-Rayyahi Al-Bashari menga­takan, "Ketika berada di Bashrah, kami mendengar riwayat hadits dari beberapa shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Akan tetapi, kami masih harus pergi ke Madinah karena merasa belum puas kalau kami ti­dak mendengarnya langsung dari mulut-mulut mereka,"
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam biografi Imam Al-Bukhari Rahimahullah mengatakan, "Sedapat mungkin Al-Bukhari berusaha untuk pergi menemui guru-guru haditsnya yang lain, yang tersebar di berbagai negara. Ia menulis hadits lebih dari seribu orang guru." Bahkan, menurut Al-Firabri, ''Ada ku­rang lebih tujuh puluh ribu orang yang pernah mendengar Shahih Al-Bukhari langsung dari Al-Bukhari, termasuk aku. Akan tetapi, tidak ada seorang pun dari mereka yang masih hidup selain aku."
Yang cukup mencengangkan tentang cita-cita tinggi dalam mencari dan mendapatkan ilmu ialah apa yang pernah dilakukan oleh Ar-Razi. Ia men­ceritakan pengalamannya, "Ketika pertama kali pergi merantau mencari ilmu, usiaku baru tujuh tahun. Aku telah berjalan kaki lebih dari seribu farsakh. Dari Bahrain ke Mesir aku tempuh dengan berjalan kaki. Lalu perjalanan aku lanjutkan ke Ramlah, kemudian ke Tharsus juga dengan berjalan kaki. Usiaku waktu itu sekitar dua puluh tahun."
Akan aku jelajahi semua negeri untuk mencari ilmu
Atau aku akan mati sebagai orang asing
Jika diriku harus mati, aku tidak menyesal karena Allah pasti merahmati aku
Tetapi jika diriku selamat,
aku akan segera kembali
Ilmu yang tersebar di Maroko dan Andalusia, jelas tidak terlepas dari jasa tokoh-tokoh ulama yang pergi merantau ke Timur dengan mengalami berbagai macam tantangan dan kesulitan, seperti, Asad bin Al-Farat, Abul Walid Al-Baji, dan Abu Bakar bin Al-Arabi.
* * *
(4)
DEMI MENCARIILMU MEREKA RELA MENDERITA
Kitab-kitab sastra, biografi, sejarah, dan akhlak banyak menjelaskan tentang pengalaman beberapa ulama. Tentang kemiskinan, kesepian, dan kesabaran mereka dalam menghadapi berbagai kesulitan yang mencekik. Walaupun demikian, hal itu mereka anggap sebagai ujian yang masih ringan dan tidak perlu begitu dipedulikan karena mereka yakin mendapatkan balasan tersendiri dari kesabaran mereka sebagai orang-orang yang beruntung.
Ada di antara mereka yang menganggap bahwa kemiskinan adalah teman akrabnya yang tidak mungkin bisa ia tinggalkan begitu saja sehingga hal itu justru ia nikmati. Ia menulis sya'ir:
Aku bertanya kepada kemiskinan,
"Di mana kamu berada?"
Ia menjawab, "Aku berada di sorban para ulama. Mereka adalah saudaraku
yang tidak mungkin aku tinggalkan begitu saja"
Imam Syafi'i Rahimahullah, misalnya, ia menganggap sepele kemiskinan karena ia sanggup mengatasi masalah tersebut dengan kesabarannya. Ia me­nulis sya'ir:
Aku tak peduli diguyur hujan di bawah kolong langit Sarandib[2]
Aku pun tak peduli dicampakkan ke belantara Tukrura[3]
karena selama masih hidup aku tidak akan takut kelaparan
Dan kalau harus mati, aku tidak akan kehilangan kubur
Cita-citaku adalah cita-cita Raja
dan semangatku adalah semangat orang merdeka
yang melihat kenistaan sebagai kekufuran[4]
Umar bin Hafesh Al-Asyqar bercerita, "Selama beberapa hari kami tidak mendapati Al-Bukhari menulis hadits di Bashrah. Setelah dicari ke mana-mana, akhirnya kami mendapatinya berada di sebuah rumah dalam keadaan telanjang. Ia sudah tidak punya apa-apa. Atas dasar musyawarah, kami berhasil mengumpulkan uang beberapa dirham, lalu kami belikan pakaian untuk dipakainya. Selanjutnya, ia mau bersama-sama kami lagi meneruskan penulisan hadits."
Imam Malik Rahimahulah berkata, "Hal itu tidak bisa dicapai sebelum merasakan getirnya kemiskinan."
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, "Demi membiayai tujuan mencari hadits, Imam Malik sampai mencopot atap rumahnya, lalu papannya ia jual untuk membiayainya."
Yahya bin Mu'in Rahimahullah diberi warisan uang sebanyak sejuta dirham, yang kemudian ia gunakan semuanya untuk biaya mendapatkan ha­dits, sampai-sampai sandal pun ia sudah tidak punya.
Abu Hatim mengatakan, "Ketika sedang mencari hadits, keadaanku benar-benar sangat memprihatinkan karena tidak mampu membeli sumbu lampu. Pada suatu malam aku terpaksa keluar ke tempat ronda yang terletak di mulut jalan. Aku belajar dengan menggunakan lampu penerangan yang dipakai oleh tukang ronda. Dan terkadang kalau ia tidur, aku yang menggantikannya."
* * *
(5)
MEREKA RELA MENDERITA LAPAR DAN SAKIT KERAS YANG MENGANCAM JIWA DALAM MENUNTUT ILMU
Imam Abu Hatim Rahimahullah menceritakan sekelumit pengalaman­nya ketika ia sedang merantau menuntut ilmu. ia mengatakan, "Sepulang dari rumah Daud Al-Ja'fari di Madinah, aku, Abu Zuhair Al-Maruzi yang sudah cukup tua, dan An-Naisaburi langsung menuju ke pantai. Kami bertiga mengarungi lautan. Angin dingin menerpa wajah kami. Kami berada di tengah lautan selama tiga bulan. Kami sangat menderita karena kami sudah hampir kehabisan bekal. Setelah sampai di daratan, kami harus berjalan kaki selama berhari-hari. Sementara bekal kami termasuk air sudah habis sama sekali. Selama sehari semalam kami berjalan kaki terus tanpa ada yang kami makan dan kami minum. Begitu pula dengan hari kedua dan hari ketiga. Setiap hari kami berjalan kaki sampai malam. Jika tiba waktu sore, kami berhenti untuk menunaikan shalat. Kami tidur di sembarang tempat. Tubuh kami lemas sekali karena menanggung rasa lapar, haus, dan capai yang luar biasa. Pada hari keempat, pagi-pagi kami melanjutkan perjalanan dengan sisa-sisa tenaga yang masih kami miliki. Tiba-tiba Abu Zuhair jatuh pingsan. Kami berdua meng­hampirinya untuk membantu menggerak-gerakkan tubuhnya. Dikarenakan tidak juga sadar, akhirnya kami tinggalkan ia. Kami berdua terus melanjutkan perjalanan sejauh puluhan mil. Giliran tubuhku yang tidak tahan sehingga akhirnya aku pun jatuh pingsan. Temanku si An-Naisaburi meninggalkan aku, dan terus berjalan.
Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat rombongan manusia yang sedang mendekati sebuah perahu di daratan. Mereka baru saja turun disumur pening­galan Nabi Musa Alaihis-Salam. Temanku lalu menanggalkan pakaian yang dikenakannya, kemudian An-Naisaburi melambai-lambaikannya ke arah mereka sebagai isyarat minta pertolongan. Mereka lalu menghampirinya dengan membawa bejana berisi air. Setelah diberi minum dan disuruh duduk, An­-Naisaburi berkata kepada mereka, 'Dua temanku sedang pingsan di belakang.' Mereka menghampiriku. Begitu siuman, aku hanya merasa ada seseorang yang sedang menuangkan air ke wajahku. Pelan-pelan aku mencoba membuka mata, lalu minta tolong diberi minum. Setelah memberiku minum, ia mem­bantuku duduk. Lalu aku katakan kepada orang itu bahwa di belakangku ada temanku yang sedang pingsan dan perlu ditolong. Beberapa orang segera beranjak untuk menolong temanku. Aku digandeng dan berjalan tertatih­-tatih. Aku terus diberinya minum sedikit demi sedikit. Akhirnya aku sampai di dekat perahu. Tidak lama kemudian aku melihat mereka membawa Abu Zuhair, temanku yang sudah tua itu. Kami bertiga dinaikkan ke dalam perahu, diperlakukan dengan baik. Selama beberapa hari kami tinggal bersama di perahu. Kemudian, tenaga kami sudah pulih kembali dan keadaan kami pun sudah membaik. Sebelum meneruskan perjalanan, kami diberi peta menuju ke kota Rayyah dan dititipi sepucuk surat buat wali kotanya. Selain itu, kami juga diberi bekal berupa air dan beberapa potong roti.
Berhari-hari kami terus berjalan kaki menelusuri pantai mengikuti petunjuk peta ke arah kota Rayyah. Kami kembali menanggung haus dan dahaga karena perbekalan kami sudah habis sama sekali. Saat itu tiba-tiba kami mendapati seekor kura-kura yang dihempaskan oleh ombak. Kami segera mengambil sebuah batu besar, lalu kami pukulkan ke punggungnya. Lalu dari punggung binatang tersebut keluar benda seperti warna kuning telur. Selain itu, kami juga mendapati beberapa kerang yang dihempas ombak sehingga tercecer di pantai. Kami makan binatang itu, dan kami jadikan benda tadi untuk mencedok air.
Setelah merasa kenyang dan segar, kami meneruskan perjalanan kembali, sampai akhirnya kami tiba di kota Rayyah. Kami langsung menemui wali kotanya untuk menyampaikan sepucuk surat yang dititipkan kepada kami. Dengan ramah ia mempersilahkan kami. Kami dijamu dan dimuliakan layaknya rombongan tamu yang terhormat. Setiap hari kami diberi makan dengan lauk yang enak-enak. Pada suatu hari ketika salah seorang teman kami berkata kepada pelayan dengan menggunakan bahasa Persia, sang wali kota yang kebetulan mendengarnya menemui kami dan berkata, 'Aku juga bisa berbahasa Persia dengan baik karena nenekku adalah berasal dari suku Harawi.' Setelah beberapa hari tinggal di rumah wali kota yang budiman tersebut, akhirnya kami memutuskan memohon pamit untuk meneruskan perjalanan. Kami diberi bekal yang cukup sehingga kami berhasil sampai di Mesir."
Bakar bin Hamdan Al-Maruzi berkata, ''Aku pernah mendengar Ibnu Kharrasy mengatakan, 'Demi mencari ilmu, aku pernah meminum air kencing­ku sendiri sebanyak lima kali. Ceritanya, sewaktu sedang berjalan melintasi gurun pasir untuk mendapatkan hadits, aku merasakan haus yang luar biasa, tanpa ada yang bisa aku minum. Maka dengan terpaksa aku minum air ken­cingku sendiri'."
Kenapa kamu cerca aku yang mengais ilmu dan mencari hadits?
Kamu kira aku sedang bersenang-senang?
Hai orang yang mencerca aku.
biarkan aku dengan apa yang aku lakukan ini
karena nilai setiap orang itu
terletak pada apa yang mereka lakukan dengan baik
Al-Wahsyi alias Abu Ali Al-Hasan mengatakan, "Di Asqalan, aku ingin mendengar riwayat hadits dari Ibnu Mushahhih dan ulama-ulama hadits lainnya. Waktu itu aku kehabisan bekal sama sekali. Aku mencoba bertahan selama beberapa hari tanpa bisa makan karena memang sudah tidak ada yang bisa aku makan. Tubuhku sangat lemas. Bahkan, untuk menulis saja aku tak sanggup. Aku lalu pergi ke sebuah toko roti, lalu aku duduk di dekat­nya untuk bisa mencium aroma sedap roti. Dengan cara begitu aku merasa mendapatkan kekuatan tenaga, sampai akhirnya Allah memberikan perto­longan kepadaku."
Ibnul Jauzi Rahimahullah mengatakan, "Ketika sedang menuntut ilmu, segala penderitaan yang aku alami terasa lebih manis daripada madu. Sewaktu masih kecil, dengan membawa beberapa potong roti kering aku pergi untuk mencari hadits. Di tengah perjalanan aku berhenti dan duduk di tepi Sungai Isa. Soalnya aku tidak bisa memakannya, kecuali ada air di dekatku. Setiap kali memakan satu suap, aku susuli dengan meminum air dari sungai tersebut. Mata cita-citaku dengan nanar melihat betapa nikmatnya bisa mendapatkan ilmu. Dan menurutku, itulah yang membuatku berhasil untuk banyak mende­ngar hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, mengenal perilaku-­perilaku, dan adab-adab beliau; mengenal perilaku-perilaku para shahabat dan perilaku-perilaku para tabi'in."
Al-Barudi mengatakan:
Orang yang punya cita-cita tinggi,
ia akan mencintai semua yang dihadapinya
* * *
(6)
MEREKA HARUS BEGADANG DALAM MENUNTUT ILMU
Seorang ulama salaf pernah ditanya, "Dengan bantuan apa Anda mendapatkan ilmu?" Ia menjawab, "Dengan bantuan penerangan lampu dan duduk sampai subuh." Ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada seorang ulama salaf yang lain, ia menjawab, "Dengan rajin pergi merantau, begadang, dan bangun tengah malam."
Al-Khathib Al-Baghdadi mengatakan, "Waktu belajar yang paling baik ialah waktu malam. Itulah yang biasa dilakukan oleh ulama-ulama salaf. Sebagian mereka mulai melakukannya selepas shalat isya' dan baru selesai begitu mereka mendengar seruan azan shalat subuh."
Bergegaslah melakukan apa yang kamu inginkan senyampang masih malam
karena malam adalah siang bagi orang yang tengah menuntut ilmu
Syaikh Abu Ali punya kebiasaan membuka baju pada malam yang dingin untuk mengusir rasa kantuknya.
Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani Rahimahullah tidak suka tidur pada malam hari. Ia selalu menyediakan air di dekatnya untuk menghilangkan rasa kantuk. Ia pernah mengatakan, "Sesungguhnya nafsu tidur itu berasal dari udara panas. Jadi harus diusir dengan air dingin."
Seperti yang dituturkan oleh Ibnu Al-Labbad bahwa Muhammad bin Abdus biasa melakukan shalat subuh dengan berwudlu terlebih dahulu pada sepertiga malam yang pertama, selama waktu tiga puluh tahun. Lima belas tahun untuk belajar, dan lima belas tahun lagi untuk ibadah.
Gelap malam itu turun
Melalaikan orang yang tertipu
Seolah-olah warna hitamnya
laksana pandangan mata yang menusuk
Seperti yang dikutip oleh Rabi', Fatimah binti Asy-Syafi'i mengata­kan, "Dalam waktu semalam aku pernah memberi lampu penerangan untuk ayahku sebanyak tujuh puluh kali."
Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan, "Pada suatu malam Al-Bukhari bangun dari tidurnya. Setelah menyalakan lampu, ia menulis apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Kemudian, beberapa saat setelah memadamkan lampu ia bangun lagi untuk menulis lagi. Begitu yang terjadi berulang-ulang hingga hampir dua puluh kali."
Asad Al-Furat adalah seorang qadhi di Fairawan. Dia merupakan murid Imam Malik yang dipercaya menyusun ide-idenya, dan salah seorang panglima perang yang berhasil menaklukkan wilayah Shiqilayah, meskipun ia sendiri gugur sebagai pahlawan syahid di wilayah tersebut pada tahun 212 Hijriyah. Pada suatu hari dia berangkat dari Fairawan ke Timur, pada tahun 172 Hijriyah. Setelah mengaji kitab Al-Muwatha' pada Imam Malik di Madinah, ia meneruskan perjalanan ke Iraq. Di sana ia juga mengaji dan mendalami ilmu kepada beberapa sahabat Imam Abu Hanifah. Ia sering mendatangi Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani. Dalam suatu perte­muan, ia berkata kepada Muhammad bin Al-Hasan, "Aku ini orang asing, tidak punya banyak uang, dan jarang mengaji kepada Anda yang punya banyak murid. Jadi apa yang bisa saya perbuat?"
Muhammad bin Al-Hasan menjawab, "Siang hari ikutlah mengaji ber­sama orang-orang Iraq. Dan malam harinya aku khususkan buatmu saja. Aku akan mengajar kamu." Asad Al-Furat berkata, "Kesempatan itu aku pergu­nakan dengan sebaik-baiknya. Setiap malam aku berada di rumahnya untuk menimba ilmu. Sebelum memulai pelajaran biasanya ia menyiapkan segelas air yang diletakkan di dekatnya. Jika malam semakin larut dan aku kelihatan mengantuk, ia memercikkan air ke wajahku sehingga aku kaget dan langsung terjaga. Itulah yang terjadi selama beberapa malam, sampai akhirnya aku berhasil menimba banyak ilmu darinya."
Muhammad bin Al-Hasan adalah seorang guru yang dermawan. Setiap kali tahu Asad Al-Furat sudah tidak mempunyai uang lagi, ia membantunya. Pada suatu hari ia memberi uang sebanyak delapan puluh dinar, ketika ia melihat sendiri Asad Al-Furat meminum di jalanan. Dia juga memberikan ongkos kalau muridnya yang satu ini ingin pulang ke Iraq.
Abdurrahman bin Al-Qasim Al-Utaqi Al-Mishri, salah seorang sahabat Imam Malik, Al-Laits, dan lainnya bercerita, "Aku biasa menemui Malik pada waktu larut malam untuk menanyakan beberapa masalah, dan aku diterima dengan senang hati serta lapang dada. Ia sama sekali tidak marah atau merasa terganggu. Oleh karena itulah, aku jadi punya kebiasaan mene­muinya pada larut malam.
Pada suatu malam aku duduk di depan pintu rumahnya. Dikarenakan mengantuk, aku lalu tertidur dengan pulas sehingga aku tidak tahu ketika Malik keluar ke masjid. Tiba-tiba seorang wanita berkulit hitam mencolek aku dengan kakinya seraya berkata, 'Tuanmu sudah keluar. Ia tidak malas seperti kamu ini. Ia selalu bangun larut malam lalu ke masjid selama empat puluh sembilan tahun ini. Ia sering shalat subuh dengan wudlu larut malam.' Perempuan itu menganggap Imam Malik sebagai tuanku lantaran aku sering menemuinya.
Lebih lanjut Ibnu Al-Qasim bercerita, "Aku berkunjung ke kediaman Imam Malik selama tujuh puluh tahun. Di sana segala kebutuhanku tercukupi sehingga aku tidak perlu menjual apa-apa untuk membeli makanan. Pada suatu malam, ketika aku sedang bersamanya, datang seorang tamu dari Mesir. Ia masih cukup muda. Setelah mengucapkan salam kepada kami, ia bertanya, 'Apa di antara kalian ada yang bernama Ibnu Al-Qasim?' Imam Malik me­nunjuk ke arah aku. Lalu ia menghampiriku dan serta merta mencium diantara kedua mataku. Aku mencium aroma yang sangat harum, aroma seorang anak. Ternyata ia adalah anakku sendiri."
Ibnu Al-Qasim meninggalkan istrinya yang masih saudara sepupunya sendiri, ketika masih mengandung anaknya tersebut. Ketika hendak berangkat, ia menyuruhnya memilih untuk ikut bersamanya atau tinggal di rumah, meng­ingat ia akan pergi cukup lama. Ternyata istrinya memilih tinggal di rumah.
Abu Ya'la Al-Maushili mengatakan:
Bersabarlah menanggung kepedihan berjalan larut malam
dan pulang pagi-pagi demi mencari ilmu
Jangan pernah patah semangat dan bosan mencarinya karena hal itu akan menghadang kesuksesan
Aku melihat hari-harimu penuh cobaan, maka tetaplah bersabar
karena kamu akan memperoleh akibat yang terpuji
Jarang sekali orang yang bersungguh-sungguh dan sabar mencari sesuatu ia akan menemukan kegagalan
Syaikh Al-Islam An-Nawawi Rahimahullah menceritakan tentang gurunya, Imam Abu Ishak Ibrahim bin Isa Al-Muradi. Gurunya berkata, ''Aku pernah mendengar Syaikh Abdul Azhim Rahimahullah mengatakan, 'Aku telah menulis kitab karya sendiri tentang ilmu hadits dan menulis karya orang lain sebanyak tujuh ratus juz'." Kata guruku, "Aku tidak pernah melihat atau mendengar orang yang sangat gigih melebihi Syaikh Abdul Azhim Rahimahullah. Siang malam ia selalu tekun menulis. Ketika sekolah di Kairo, aku tinggal bertetangga dengannya. Setiap tengah malam terbangun, aku pasti melihat lampu kamarnya masih menyala, pertanda bahwa ia masih tekun belajar dan menulis. Bahkan, saat sedang makan sekalipun ia masih sempat membaca dan menulis."
Cahaya para ulama salaf memantul dari kegigihan dan kebiasaan mereka begadang semalaman untuk belajar. Misalnya, yang dilakukan oleh Al-Dhiya' alias Abu Muhammad Al-Maqdasi. Sepertinya ada cahaya yang memantul dari wajahnya. Pandangan matanya sudah terasa kabur karena terlalu sering digunakan untuk menulis dan menangis.
Az-Zamakhsyari menggambarkan keadaan para ulama yang menikmati begadang semalaman dalam bait-bait sya'irnya berikut ini:
Aku begadang adalah untuk menjaring ilmu yang tak seberapa
Aku berjaga adalah untuk mengatasi kesulitan kecil yang terasa sangat nikmat dan manis,
meski sepasang telapak kakiku bengkak
Suara goresan penaku di atas kertas lebih indah daripada
nyanyian rindu orang yang sedang kasmaran
dan lebih merdu daripada bunyi rebana
yang ditabuh seorang gadis
karena itu aku ingin terus begadang untuk mendengarkannya
Dan jika kamu tidur, mana mungkinberharap bertemu denganku?
An-Nawawi Rahimahullah menceritakan tentang pengalamannya ketika pertama kali ia mencari ilmu, "Selama dua tahun aku tidak sempat mele­takkan lambungku di lantai."
Diceritakan oleh Al-Badar bin Jama'ah Rahimahullah, ketika ditanya tentang tidurnya, An-Nawawi menjawab, "Setiap kali mengantuk berat, se­jenak aku bersandar pada kitab-kitab lalu aku terbangun lagi." Kata Al-­Badar, "Setiap kali aku mengunjungi An-Nawawi, ia menumpuk kitab-kitab­nya supaya ada sedikit tempat untuk aku duduki."
Al-Hafizh Syaikh Imaduddin Abul Fida' Ismail bin Umar bin Katsir Rahimahullah, seorang ulama besar ahli sejarah Islam, secara teratur menyempurnakan kitab Imam Ahmad dan ia menambahkan padanya hadits-hadits Kutub Al-Sittah, Mu'jam Al-Thabarani Al-Kabir, Musnad Al-Bazzari, dan Musnad Abu Ya'la Al-Mushili. Dalam hal ini dia telah bekerja keras dan bersusah payah sehingga ia mencapai hasil luar biasa yang tidak ada ban­dingannya di dunia. Ibnu Katsir telah menyempurnakannya, kecuali dari sebagian Musnad Abu Hurairah karena ia keburu wafat terlebih dahulu sebelum sempat menyempurnakannya. Akibat ketekunan Ibnu Katsir dalam menulis dan membaca pada malam hari, ia menjadi tuna netra. Ibnu Katsir pernah bercerita kepada Adz-Dzahabi, "Aku selalu menulis pada malam hari di bawah cahaya lampu yang lemah sinarnya sehingga mengakibatkan pan­dangan mataku hilang. Dan mudah-mudahan Allah berkenan mendatangkan orang yang akan menyempurnakannya."
Berikut adalah sekelumit sejarah perilaku Imam Ibnu Daqiq Al-'Idi Rahimahullah, yang menjelaskan betapa besar cita-cita dan ketekunannya un­tuk begadang dalam mencari ilmu.
Ibnu Daqiq Al-'Idi berkeliling di Fustat, Kairo, Iskandaria, Damaskus, dan Hijaz untuk menimba ilmu dari sejumlah guru senior satu kurun. Beliau mendalami dua madzhab, yakni madzhab Maliki dan madzhab Asy-Syafi'i. Beliau mendalami ilmu hadits, tafsir, tauhid, nahwu, dan sastra. Ia sangat teliti mendalami kedua madzhab tersebut sehingga ia menjadi seorang mufti. Padahal saat itu usianya masih relatif cukup muda.
Kata Al-Asnawi, "Ibnu Daqiq Al-'Idi meneliti dua madzhab sekaligus sehingga ia mendapat pujian dari Syaikh Ruknuddin bin Al-Qari' Al-Maliki." Terdapat pujian kepadanya dalam sebuah kasidah, yang antara lain berbunyi:
Di usia yang masih muda
ia telah menguasai ilmu
Teruslah naik dengan cita-citamu sebagai anak muda
Dia begitu cermat meneliti dalil-dalil Imam Malik dan Imam Syafi'i
Syaikh Taqiyuddin Rahimahullah adalah seorang ulama yang menghabiskan hidupnya untuk ilmu dan ibadah. Ia jarang sekali tidur pada malam hari. Hampir seluruh waktunya ia pergunakan buat belajar, mengais ilmu, menulis, dan meriwayatkan hadits. Waktu luangnya ia manfaatkan buat berdiri shalat di mihrab, atau duduk sambil membaca Kitab Allah atau berjalan-­jalan sambil memikirkan makhluk ciptaan Allah, dan memikirkan karya-Nya. Ia menyimpulkan bahwa semua itu merupakan bukti kekuasaan dan keesaan Allah. Siang malam jasad dan pikirannya tidak pernah diam. Kalau tidak sedang merenung, ia pasti sedang shalat dan berdzikir mensucikan Allah Yang Mahakuasa dan Maha Mengetahui. Cermin hidupnya yang sejati ia ungkapkan dalam ucapannya:
Tubuh ini hancur untuk kewajiban-kewajiban berkhidmat
Dan hati tersiksa oleh cita-cita yang tinggi
Usia harus dihabiskan dalam kepenatan
Dan jika kesenangan telah mati
akan lahir kasih sayang
Dia telah mengerahkan segenap hatinya pada cita-cita tinggi untuk menggapai tujuan yang mulia. Itulah sebabnya ia gunakan pikirannya untuk mencetuskan hukum-hukum syari'at, berkhidmat kepada agama dan umat serta mencari bekal ketakwaan sebanyak mungkin.
As-Subki berkata, "Kegigihannya dalam mencari ilmu dan beribadah ­pada malam hari sungguh luar biasa. Terkadang semalaman suntuk ia membaca kitab sampai berjilid-jilid. Terkadang pula ia membaca satu ayat Al-­Qur'an dan mengulang-ulanginya hingga terbit fajar."
Al-Adafuwi berkata, "Guruku Syaikh Zainuddin Umar Damsyiqiq atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Al-Kanani Rahimahullah pernah bercerita kepadaku ketika pagi-pagi sekali aku menemuinya. Kemudian, dia memberikan padaku sebuah kitab besar seraya berkata, "Kitab ini baru saja aku tela'ah semalam'."
Al-Adafuwi juga mengatakan, "Ia memang memiliki kekuatan ­mutala'ah yang luar biasa. Ia memiliki banyak koleksi kitab-kitab besar. Perpustakaan sekolahannya ada sejumlah kitab-kitab karya ulama besar, antara lain ada kitab Uyun Al-Akhbar karya Ibnu Al-Qashar, sebanyak kurang lebih tiga puluh jilid. Aku juga melihat ada kitab Sunan Al-Kubra karya Al-Baihaqi yang terdiri dari beberapa jilid, ada Tarikh Al-Baghdadi, dan Mu'jam Al- Thabarani Al-Kabir, dan Mu'jam Al- Thabarani Al-Ausath. Guruku, Al-Faqih Sirajuddin Ad-Dainuri, melihat kitab Syarah Al-Kabir karya Ar-Rafi'i kemudian langsung membelinya dengan harga seribu dirham. Gara-gara terlalu rajin bermutala'ah, hanya sempat menjalankan shalat-shalat fardhu saja. Ketika ditanyakan kepadanya tentang reputasi Ar-Rafi'i dan reputasi Al-Ghazali dalam hal ilmu fiqih, spontan ia menjawab, 'Ar-Rafi'i di langit.' Ia memang sangat mengagumi Ar-Rafi'i sebagai seorang ulama ahli fiqih yang besar."
Ulama lain yang perilaku sejarahnya dalam sejarah patut dikagumi ialah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi Rahimahullah. Seorang putranya yang bernama Abdullah bercerita, "Ayah bercerita kepadaku bahwa ketika masih menuntut ilmu di suatu negara, ia pernah membaca kitab Mukhtashar Khalil bab 'Nikah.' Ketika sampai pada ucapan 'Aku punya sepuluh ekor kuda. Kalau sampai sang Sultan menjualnya ia akan bangkrut,' ia berkata kepadaku, 'Ini pernah dibacakan oleh guruku kepadaku sesudah ashar. Kajiannya tuntas. Dia akan membaca semua yang ada dalam satu bab.
Aku lalu mengambil kitab-kitab syarah Khalil dan juga catatan-catatan pinggirnya untuk mencermati masalah tersebut. Aku terus membacanya dengan seksama sampai tiba waktu malam. Kemudian, aku menyalakan lampu sebagai penerang dan terus membacanya sampai subuh. Aku tidak sempat tidur, dan hanya melakukan shalat fardhu saja. Akhirnya aku tahu bahwa si pengulas punya dua pendapat terhadap ucapan Khalil tersebut. Dan kalau aku bahas dalam perspektif Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, aku akan mampu mendatangkan keajaiban bagi umat'."
Jika aku sedang sibuk dengan gadisku yang parasnya laksana cahaya pagi,
aku enggan berpikir yang lain
Syaikh Athiyah Salim juga menceritakan tentang kehebatan Ibnu Daqiq Al-'Idi sebagai berikut, "Memang benar. Dalam mencari ilmu ia selalu berpikir dan merenung sehingga berbagai kesulitan bisa ia atasi. Ucapannya sesuai dengan perbuatannya. Ia pernah bercerita kepadaku, 'Pada suatu hari aku menemui seorang guru untuk mengaji. Ia memang memberikan penjelasan kadaku dengan gamblang. Akan tetapi, aku masih belum merasa puas. Ketika pamit pulang, aku merasa membutuhkan penjelasan yang lebih rinci atas beberapa masalah yang aku anggap musykil. Kala itu waktu dhuhur telah tiba. Aku mengambil beberapa kitab rujukan, dan aku tela'ah sampai ashar. Belum sempat menyelesaikan urusan-urusan yang lain, kembali aku menela'ah sampai maghrib. Akan tetapi, belum juga selesai. Lalu aku suruh pelayanku membikin api unggun untuk penerangan. Aku masih terus mene­la'ah. Untuk mengatasi rasa jenuh dan malas, aku meminum teh. Sementara pelayanku tetap setia menjaga api unggun. Ketika fajar merekah aku masih berada di tempatku. Setelah shalat subuh dan menyantap sedikit makanan, kembali aku meneruskan aktivitasku hingga siang hari. Setelah bisa menemukan pemahaman, aku berhenti lalu tidur. Dan sebelum tidur aku berpesan kepada pelayanku agar jangan membangunkan aku karena ingin beristirahat yang cukup untuk melepaskan kelelahan setelah semalaman begadang'."
Al-Allamah Abul Fadhel Syihabuddin Sayid Mahmud Al-Alusi Al­-Baghdadi Rahimahullah menceritakan tentang pengalamannya ketika mendalami tafsir Al-Qur'an dalam usia kurang dari dua puluh tahun, "Semen­jak kecil aku sudah tekun mengungkap rahasia Al-Qur'an yang tersembunyi di balik ayat-ayatnya. Begitu tinggi semangatku sehingga aku rela jarang tidur dan meninggalkan keluarga serta teman-temanku. Semalam suntuk aku asyik dengan lembar-lembar Kitab Allah. Ketika tidak punya uang untuk membeli lilin, aku belajar dengan menggunakan penerangan cahaya bulan. Teman-­teman sebayaku waktu itu masih suka bermain-main dan bersenang-senang karena mereka lebih mengutamakan kenikmatan jasmani daripada kenikmatan rohani. Mereka menghabiskan waktu buat menuruti kesenangan nafsu. Se­baliknya, aku tidak mau terpengaruh dan tertipu oleh keadaan mereka."
* * *
(7)
MEREKA SENANG SEKALI BERKUMPUL DENGAN PARA ULAMA
Salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada umat ini, Dia tanamkan ke dalam hati ulama-ulama salaf kita terdahulu rasa kecintaan terhadap ilmu dan majelis-majelisnya, untuk menjaga agama dan menjadi teladan bagi ge­nerasi-generasi yang hidup sesudah mereka. Itulah sebabnya mereka tampil sebagai pemimpin-pemimpin agama yang sangat dihormati oleh umatnya.
Mereka sangat antusias mengadakan dan mendatangi majelis-majelis ilmu. Dalam hal ini Ja'far bin Darastawaih menceritakan pengalamannya, "Selepas shalat ashar aku sudah berada di majelis pengajian Ali bin Al­-Madini, yang baru akan diselenggarakan keesokan harinya. Sepanjang malam aku berada di tempatku karena khawatir tidak mendapatkan tempat untuk mendengarkan pengajiannya. Bahkan, aku pernah melihat seorang kakek yang terpaksa harus buang air kecil di jubahnya, juga karena khawatir tempatnya akan diduduki orang lain jika ia harus meninggalkannya untuk buang air kecil."
Yahya bin Hassan juga menceritakan pengalamannya, "Aku sudah berada di samping Sufyan bin Uyainah yang akan meriwayatkan hadits. Aku melihat sekelompok orang berebut tempat yang sedang diduduki oleh seorang kakek yang lemah. Mereka menarik tangan sang kakek supaya mau menyingkir sehingga sang kakek berteriak minta tolong kepada Sufyan. Dikarenakan suasana sedang gaduh, Sufyan tidak mendengarnya. Sufyan mengawasi seorang di antara mereka dan bertanya, 'Apa yang dikatakan oleh si kakek tadi?' Ia menjawab dengan bohong, 'Tidak apa-apa. Kami ingin mendengar riwayat hadits dari Anda lagi'."
Husyaim Rahimahullah meninggal dunia gara-gara dikerubuti oleh para penuntut ilmu. Sebagaimana yang diceritakan oleh Al-Khithabi, "Para pencari hadits berebut mendekati Husyaim dengan berdesak-desakan se­hingga ia terjatuh dari keledainya. Dan itulah yang menyebabkan ia meninggal dunia."
Abu Bakar bin Al-Khayyath An-Nahwi Rahimahullah melewatkan seluruh waktunya untuk belajar. Termasuk ketika ia sedang dalam perjalanan sehingga terkadang ia pernah jatuh ke dalam lereng bukit, atau diinjak oleh binatang.
Konon Tsa'lab selalu memegangi kitab yang tengah dipelajarinya. Bahkan, ketika harus memenuhi undangan seseorang, ia minta disediakan tempat yang agak longgar untuk meletakkan kitabnya, untuk dibaca. Penyebab kematiannya ialah ketika ia baru saja keluar dari masjid jami' pada hari Jum'at selepas shalat ashar. Ia tuli sehingga susah untuk bisa mendengarkan. Ketika sedang membaca kitab di pinggir jalan, ia ditabrak oleh seekor kuda sehingga ia terlempar ke sebuah jurang. Dalam keadaan pingsan, ia digotong ke rumah­nya. Ia mengeluh karena kepalanya terasa sakit. Dan pada hari berikutnya ia meninggal dunia. Semoga Allah merahmatinya.
Imam Baqyu bin Makhlad Al-Andalusi pada suatu hari pergi ke Baghdad dengan berjalan kaki. Tujuan utamanya ingin bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah untuk menimba ilmu darinya. Lebih lanjut ia menceritakan pengalamannya, "Ketika sudah hampir tiba di Baghdad, aku mendengar kabar tentang cobaan yang sedang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal. Penguasa setempat melarang siapapun menemuinya dan mendengarkan pengajiannya. Saat itu aku bingung sekali. Aku lalu menyewa kamar di sebuah penginapan. Setelah menaruh barang-barang, secara diam­-diam aku menuju masjid jami'. Di sana aku ingin memperoleh informasi tentang Imam Ahmad bin Hanbal dari sekelompok orang yang sedang mengadakan majelis pertemuan.
Aku bergabung di tengah-tengah mereka. Lalu tiba-tiba muncul seseorang yang menarik perhatianku. Ia sedang memberikan pelajaran hadits. Dikarenakan penasaran, aku bertanya kepada orang yang berada di sebelahku, 'Siapa orang itu?' Ia menjawab, 'Dia adalah Yahya bin Mu'in.' Melihat ada tempat kosong di sampingnya, aku segera menghampiri dan bertanya, 'Wahai Abu Zakaria, semoga Allah selalu merahmati Anda. Aku ingin bertanya kepada Anda, dan aku harap Anda jangan meremehkan aku.' Ia berkata kepadaku, 'Katakan saja apa yang ingin kamu tanyakan.' Aku lalu menanyakan tentang beberapa ulama ahli hadits yang pernah aku temui. Sebagian ada yang adil, dan sebagian lagi ada yang dha'if.
Terakhir, aku menanyakan tentang seorang ulama ahli hadits bernama Hisyam bin Ammar karena aku sering mendengar riwayat darinya. Ia berkata, 'Nama panggilannya ialah Abul Walid alias Hisyam bin Ammar. Orang yang tekun shalat ini adalah penduduk Damaskus. Ia adalah seorang perawi yang sangat jujur.' Kemudian, orang-orang di majelis itu memprotes aku karena mereka juga ingin mengajukan pertanyaan. Akan tetapi, aku tidak meme­dulikan, dan berpura-pura tidak mendengar protes mereka. Aku lalu bertanya lagi, 'Lalu siapa itu Ahmad bin Hanbal?' Mendengar pertanyaanku itu, Yahya bin Mu'in menatapku dengan heran, kemudian berkata, 'Kita seha­rusnya mengenal siapa Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau itu imam terbaik kaum Muslimin.'
Selanjutnya, aku keluar untuk mencari informasi di mana kediaman Imam Ahmad bin Hanbal. Setelah menemukan tempat kediamannya, aku mencoba mengetuk pintu. Ia keluar untuk membukakan pintu. Sejenak ia melihat aku yang belum dikenalnya. Maka bergegas aku katakan, 'Wahai Abu Abdullah, aku baru pertama kali datang di negeri ini. Aku ini pencari hadits dan penghimpun Sunnah Nabi. Aku datang ke sini hanya ingin bertemu Anda.' Ia berkata, 'Silahkan masuk. Jangan sampai ada yang melihat kamu ke rumahku ini.'
'Dari mana asalmu?' tanyanya. 'Maroko,' jawabku.
'Kamu tinggal di Afrika?' tanyanya.
'Lebih jauh lagi. Dari negeriku untuk sampai ke Afrika aku harus menyeberangi lautan,' jawabku.
'Tempatmu jauh sekali,' katanya, 'sebenarnya aku ingin sekali menolong orang sepertimu. Akan tetapi, sayang saat ini aku sedang dicekal. Mungkin kamu sudah mendengarnya.'
'Benar. Aku memang sudah mendengarnya ketika aku hampir tiba di negeri Anda ini dalam perjalanan untuk menemui Anda,' kataku.
'Wahai Abu Abdullah, ini kunjunganku yang pertama di negeri ini. Dan masih banyak hal-hal yang belum aku ketahui di sini. Aku harap Anda tidak keberatan jika setiap hari aku menemui Anda untuk mengajukan be­berapa pertanyaan. Jika Anda keberatan, kita bisa bertemu di tempat lain. Meskipun setiap hari aku hanya mendengar satu riwayat hadits saja dari Anda, bagiku itu sudah cukup,' kataku.
'Baiklah,' jawabnya, 'tetapi dengan syarat, jangan sampai ada yang mengetahui. Termasuk oleh para pencari hadits lainnya.'
'Akan aku penuhi syarat Anda,' kataku.
Sambil membawa tongkat dan mengenakan ikat kepala serta menyiapk­an pena dan kertas di kantong, aku berjalan tertatih-tatih seperti seorang kakek. Aku memang sengaja menyamar supaya tidak diketahui siapapun. Pagi-pagi buta aku sudah berada di depan pintu rumahnya. Mengetahui aku yang datang, ia mempersilahkan aku masuk lalu segera mengunci kembali pintu rumahnya. Dalam setiap pertemuan, aku berhasil mendapatkan minimal dua sampai tiga riwayat hadits darinya.
Hal itu berlangsung selama beberapa hari. Sampai akhirnya penguasa setempat yang mencekalnya meninggal dunia, dan digantikan oleh penguasa dari golongan Ahlus-Sunnah wal Jama'ah. Sejak saat itulah Ahmad bin Hanbal mulai berani menampakkan diri di tengah-tengah masyarakat. Namanya semakin harum dan semakin dihormati sebagai imam masyarakat. Aku merasa bersyukur karena ia tahu akan kesabaran serta kegigihanku.
Aku merasa mendapat tempat terhormat di matanya. Hal itu terbukti setiap kali aku ikut majelis pengajiannya, ia menyuruhku untuk duduk di dekatnya. Kepada murid-muridnya yang lain, ia mengatakan sambil menunjuk ke arahku, 'Inilah contoh penuntut ilmu yang sejati.' Selanjutnya, kepada mereka ia menceritakan kisah pengalamannya bersamaku.
Pernah pada suatu hari aku jatuh sakit sehingga tidak bisa ikut hadir di majelis pengajiannya. ia menanyakan aku. Dan ketika dijawab bahwa aku sedang sakit, seketika itu ia pergi menjengukku dengan ditemani beberapa orang muridnya. Aku sedang tergolek di kamar kontrakanku yang acak-acakan, dan di dekat kepalaku tergeletak beberapa kitab yang belum sempat aku taruh di tempatnya.
Pemilik penginapan kaget bukan main ketika melihat Imam Ahmad bin Hanbal beserta rombongan datang ke tempatnya. Dengan tergopoh-gopoh ia menuju ke kamarku dan berkata, 'Hai Abu Abdurrahman, lihat itu! Imam Ahmad bin Hanbal datang hendak menjenguk kamu!'
la segera masuk ke kamarku, dan duduk di dekat kepalaku. Murid-­murid yang menemaninya pun ikut masuk sehingga kamar kontrakanku yang tidak begitu luas menjadi sesak. Mereka semua membawa pena dan kertas untuk menulis setiap apa yang diucapkan olehnya. Terpaksa di antara mereka harus mengalah berada di luar. Sejenak suasana hening. Dan tiba-tiba aku mendengar ia berkata kepadaku,
'Wahai Abu Abdurrahman, berbahagialah dengan pahala dari Allah. Hari-hari sehat tidak ada sakit, dan hari-hari sakit tidak ada sehat. Semoga Allah lekas memberimu kesehatan dan mengelus jiwamu dengan tangan-Nya yang lembut.' Secara serentak mereka semua mencatat apa yang diucapkannya tadi.
Setelah dijenguk oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan rombongan, pemilik penginapan menjadi sangat baik sekali kepadaku. Segala kebu­tuhanku, termasuk yang paling kecil sekalipun dilayaninya dengan senang hati. Aku benar-benar sangat dimanjakan oleh para pelayan penginapan tersebut. Bahkan, aku yang sedang sakit merasa mendapatkan pelayanan yang melebihi pelayanan keluargaku sendiri. Dan aku sadar, hal itu adalah berkat kunjungan orang shalih bernama Ahmad bin Hanbal."
Akhirnya Baqyu bin Makhlad meninggal dunia pada tahun 27 Hijriyah di Andalusia. Semoga Allah senantiasa merahmatinya.
Banyak ulama bergelar al-hafizh berusaha dengan sungguh-sungguh mendapatkan guru sebanyak mungkin untuk menimba ilmu. Sampai-sampai Imam Abu Sa'ad alias Abdul Karim As Sam'ani Al-Maruzi memiliki tujuh ribu orang guru. Dan karena pengalamannya menjelajahi berbagai negara, berhasil menulis kitab Mu'jam Al-Buldan 'kamus negara-negara', dan juga berhasil menulis Mu'jam Syuyukhi 'kamus guru-guru' sebanyak beberapa jilid. Al-Qasim bin Daud Al-Baghdadi mengatakan, "Aku telah menulis dari enam ribu orang guru." Dan konon jumlah guru Imam Al-Hafizh Ibnu Asakir Rahimahullah mencapai seribu tiga ratus orang, delapan puluhan di antaranya adalah guru wanita.
* * *
Ketika Zaid bin Tsabit Radhiyallahu Anhu wafat, setelah upacara pemakaman, Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, "Hai orang-orang, siapa yang ingin tahu bagaimana hilangnya ilmu, beginilah hilangnya ilmu. Demi Allah, pada hari ini telah hilang banyak ilmu. Telah meninggal dunia seseorang yang mengetahui sesuatu yang tidak diketahui orang lain. Ia pergi berikut apa yang bersamanya. Dan -sambil menunjuk ke kubur Zaid- pada hari ini telah dikuburkan ilmu yang banyak."
Yahya bin Al-Qasim mengatakan, "Ibnu Sukainah adalah seorang ber­ilmu yang mengamalkan ilmunya. Ia tidak pernah menyia-nyiakan waktunya barang sedikitpun. Setiap kami menemuinya, ia berkata, 'Jangan menam­bahkan masalah pada salamun alaikum.'  Hal ini dikarenakan begitu besar semangatnya dalam membahas ilmu, dan menetapkan hukum."
* * *
(8)
MEREKA SANGAT JELI MEMANFAATKAN WAKTU DEMI MENDAPATKAN ILMU
Pada suatu hari Syu'bah bin Al-Hajjaj datang menemui Khalid Al­-Hadza' yang sedang menderita sakit.
"Wahai Abu Manazil, Anda punya hadits. Tolong ceritakan kepadaku," kata Syu'bah.
"Aku sedang sakit," jawab Khalid.
"Satu saja," desak Syu'bah.
Khalid lalu menceritakannya. Setelah selesai, Syu'bah berkata,
"Sekarang kamu boleh meninggal dunia."
Yahya bin Mu'in adalah orang yang bersemangat untuk menemui para guru dan mendengar hadits dari mereka karena khawatir mereka keburu meninggal dunia. Abdu bin Humaid menceritakan pengalamannya, "Pada suatu hari Yahya bin Mu'in datang menemuiku. Begitu duduk, ia langsung meminta supaya aku meriwayatkan hadits kepadanya. Aku berkata, 'Dengar­kan baik-baik, 'Aku mendapatkan riwayat dari Hammad bin Salamah ....'  Tiba-tiba ia memotongku, 'Harus dari catatanmu sendiri!' Ketika aku bangkit hendak mengeluarkan catatanku serta merta ia memegang pakaianku dan berkata, 'Diktekan saja padaku karena aku khawatir tidak bisa bertemu kamu lagi.' Aku lalu mendiktekan kepadanya. Setelah itu, aku baru mengambil catatanku dan aku bacakan padanya."
Ibnu Ishak berkata, "Aku pernah mendengar Makhul mengatakan, 'Demi mencari ilmu aku telah merantau keliling dunia'."
Abu Wahab meriwayatkan dari Makhul, ia berkata, "Aku mendapat status merdeka di Mesir. Setiap ilmu yang ada di sana aku himpun. Kemudian, aku pindah ke Iraq, lalu pindah ke Madinah. Sedapat mungkin aku juga berusaha untuk menghimpun setiap ilmu yang ada di kedua kota tersebut. Kemudian, aku pindah lagi ke Syiria untuk mengembara." ltulah kepintaran Makhul yang ingin memanfaatkan waktu sebaik-baiknya karena khawatir ia tidak bisa bertemu dengan para perawi dan para ahli hadits yang keburu meninggal dunia.[5]
* * *
(9)
CITA-CITA TINGGI MEREKA DALAM MENGHAPAL DAN MEMPELAJARI ILMU
Ibrahim An-Nakh'i mengatakan, "Siapa yang ingin menghapal hadits, hendaklah ia menceritakannya, sekalipun kepada orang yang tidak menginginkannya. Apabila ia mau melakukannya, maka hal itu seperti buku di dada­nya."
Diceritakan dari Ibnu Syihab, sesungguhnya setelah mendengar hadits dari Urwah dan lainnya, ia lalu menemui budak perempuannya yang sedang tidur. Ia kemudian membangunkannya dan berkata, "Dengarkan, hadits si Fulan yang ini dan hadits si Fulan yang ini." Budak perempuan itu bertanya, "Apa urusanku dengan hadits ini?" Ibnu Syihab menjawab, ''Aku tahu kamu tidak bisa mengambil manfaatnya. Akan tetapi, aku baru saja mendengarnya, dan aku ingin kamu ikut mengingatnya."
Zaid bin Sa'ad bercerita, "Aku pergi bersama Az-Zuhri ke tanah kela­hirannya di Syu'ab. Di sana Az-Zuhri mengumpulkan beberapa orang yang fasih berbahasa Arab, lalu ia menceritakan hadits kepada mereka. Az-Zuhri ingin menguji hapalannya."
Ada sementara ulama yang suka menghapal sendiri ilmunya. Mereka suka duduk menyendiri dan mengeraskan suaranya supaya mereka lekas ha­pal. Ja'far bin Al-Maraghi bercerita, "Ketika sedang berziarah di pekuburan Tustar, aku mendengar seseorang berteriak cukup lama, 'Al-A'masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah. Al-A'masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah.' Setelah mencari sumber suara teriakan itu, akhirnya aku melihat Ibnu Zuhair sedang belajar sendiri menghapalkan hadits Al-A'masy."
Abdurrazaq bercerita, "Sufyan Ats-Tsauri berkunjung ke rumahku. Pada tengah malam aku mendengar ia mengigau membaca Al-Qur'an. Lalu ia bangun untuk shalat. Setelah selesai, ia duduk lalu membaca, 'Al-A'masy, Al-A'masy, Al-A'masy. Manshur, Manhsur, Manshur. Al-Mughirah, Al-­Mughirah, Al-Mughirah.' Aku bertanya, 'Wahai Abu Abdullah, apa mak­sudmu ini?' Ia menjawab, 'Aku tadi shalat sambil menghapalkan hadits'."
Al-Qathbu Al-Yunini bercerita tentang Imam An-Nawawi Rahima­hullah, ia berkata, "An-Nawawi adalah orang yang tidak mau membuang­-buang waktu, baik siang atau malam. Ia selalu sibuk dengan urusan ilmu. Bahkan, saat sedang dalam perjalanan pun ia tetap sibuk menghapal atau membaca pelajaran. Ia menjalani kebiasaannya tersebut selama enam tahun."
Ketika pertama kali menuntut ilmu, setiap hari An-Nawawi membaca dua belas pelajaran sekaligus di hadapan guru-gurunya; dia membaca dua pelajaran kitab Al- Wasith, tiga pelajaran kitab Al-Muhadzab, satu pelajaran kitab Al-Jam'u baina Al-Shahihain, lima pelajaran kitab Shahih Muslim, satu pelajaran kitab Al-Luma' karya Ibnu Jani yang membahas tentang ilmu nahwu. Dia membaca satu pelajaran kitab Ishlah Al-Manthiq karya Ibnu As­-Sakir yang membahas tentang ilmu bahasa, satu pelajaran tentang ilmu sharaf, satu pelajaran tentang ushul fiqih, satu pelajaran tentang nama-nama perawi, satu pelajaran tentang pokok-pokok agama alias tauhid. Terkadang membaca kitab Al-Luma' karya Abu Ishak, terkadang membaca kitab Al-Muntakhab karya Al-Fakhru Ar-Razi. An-Nawawi berkata, "Aku sanggup mengomentari semua penjelasan yang dianggap musykil, menerangkan ungkapan-ungkapan, dan menguraikan bahasa. Semoga Allah senantiasa melimpahkan berkah atas waktu dan kesibukanku serta menolongku."
Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abu Bakar Al-Hanbali mene­la'ah kitab Al-Mughni tulisan Al-Muwafiq Ibnu Qadamah sebanyak dua puluh tiga kali sehingga ia hampir hapal.
* * *
(10)
CITA-CITA TINGGI MEREKA DALAM MENGHAPAL HADITS
Abu Zura'ah mengatakan, "Ahmad bin Hanbal mampu menghapal sejuta hadits." Imam Ahmad ditanya, "Apa resep Anda?" Ia menjawab, "Aku mempelajarinya dan selalu mempelajarinya."
Sulaiman bin Syu'bah berkata, "Mereka menulis dari Abu Daud se­banyak empat puluh ribu hadits, padahal ia tidak membawa kitab."
Abu Zura'ah Ar-Razi mengatakan, "Aku hapal dua ratus ribu hadits seperti orang menghapal surat Al-Ikhlas. Dan jika dengan mengingat keras aku bisa hapal tiga ratus ribu hadits."
Hisyam Al-Kalbi mengatakan, "Aku bisa hapal sesuatu yang orang lain tidak hapal, dan bisa lupa sesuatu yang orang lain tidak lupa. Aku punya seorang paman yang selalu mendorongku agar menghapal Al-Qur'an. Pada suatu hari aku masuk rumah, lalu aku bersumpah tidak akan keluar sebelum aku hapal Al-Qur'an. Dan hanya dalam tempo tiga hari aku sudah hapal."
Abu Ahmad alias Abdullah bin Ady Al-Hafizh berkata, "Aku mende­ngar beberapa orang guru bercerita, 'Pada suatu hari Muhammad bin Isma'il tiba di Baghdad. Para ulama ahli hadits yang mendengar berita itu segera berkumpul. Mereka telah menyiapkan seratus hadits yang sengaja telah dibolak-balik matan serta sanadnya. Mereka menunjuk sepuluh orang wakil yang masing-masing akan menyodorkan sepuluh hadits kepada Al-Bukhari. Selanjutnya, mereka bersama-sama menemui Al-Bukhari. Salah seorang dari mereka mulai membacakan sepuluh hadits yang telah dipersiapkan. Dan ketika ditanyakan kepada Al-Bukhari, ia menjawab 'Aku tidak tahu.' Giliran yang lain yang mencoba lagi, dan Al-Bukhari juga menjawab, 'Aku tidak tahu.'
Para ulama ahli fiqih yang ikut hadir di majelis itu saling memandang satu sama lain. Mereka yakin bahwa Al-Bukhari hanya berpura-pura. Ia sebe­narnya tahu. Sementara yang lain menganggap Al-Bukhari memang benar-­benar tidak tahu. Orang ketiga sampai yang ke sepuluh melakukan hal yang sama, Al-Bukhari tetap menjawab, 'Aku tidak tahu.'
Ketika tahu mereka semua sudah selesai, barulah Al-Bukhari menoleh kepada mereka satu persatu seraya menjelaskan dengan hapalan yang tepat hadits-hadits yang mereka tanyakan. Bahkan, ia juga sanggup membenarkan matan serta sanad-sanadnya yang telah mereka bolak-balik sedemikian rupa. Semua yang hadir tercengang menyaksikan kehebatannya. Salah seorang dari mereka, yang bernama Ibnu Shaid, setiap kali mengingat peristiwa itu ia mengatakan, 'Ia benar-benar laksana seekor kambing kibas yang suka menanduk'."
Ibnu An-Najjar berkata, "Aku pernah mendengar guruku Abdul Wahab bin Al-Amin bercerita, 'Pada suatu hari aku sedang bersama Al-Hafizh Abul Qasim bin Asakir dan Abu Sa'id bin As-Sam'ani. Ketika kami sedang dalam perjalanan mencari hadits dan menemui para guru, kami bertemu seorang guru. Ibnu As-Sam'ani meminta sang guru itu untuk berhenti sebentar supaya ia bersedia membacakan hadits untuknya. Akan tetapi, hadits yang dibaca­kannya, setelah dicocokkan ternyata tidak ada dalam catatannya. Ia (Ibnu As-Sam'ani) merasa kesal. Ibnu Asakir segera menghampiri Ibnu As-Sam'ani dan bertanya, 'Apa rujukannya?' Ibnu As-Sam'ani menjawab, 'Kitab Al-Ba'tsu wa Al-Nusyur tulisan Ibnu Abu Daud. Katanya ia mendengar riwayat tersebut dari Abu Nasher Az-Zainabi.' Ibnu Asakir berkata kepada Ibnu As-Sam'ani, jangan sedih.' Kemudian, ia membacakan hapalannya yang cocok dengan catatan Ibnu As-Sam'ani. Setelah itu, kami bertiga lalu melanjutkan perjalanan."
Ibnu Al-Amid bercerita, "Sebelumnya aku tidak mengira di dunia ini ada sesuatu yang manis, semanis memegang kekuasaan yang aku alami. Sam­pai akhirnya aku menyaksikan sendiri mudzakarah yang berlangsung antara Ath-Thabarani dan Abu Bakar Al-Ji'abi. Kelebihan Ath-Thabarani terletak pada hapalannya yang sangat banyak. Adapun Abu Bakar Al-Ji'abi, kele­bihannya terletak pada kecerdasannya dan suaranya yang lantang. Abu Bakar Al-Ji'abi mengatakan, 'Aku punya sebuah hadits yang di dunia ini hanya aku saja yang punya.' Ath-Thabarani berkata, 'Coba bacakan.' Abu Bakar Al-Ji'abi pun membacakan haditsnya, 'Aku mendapatkan riwayat dari Abu Khalifah, Abu Sulaiman bin Ayyub....' Ath-Thabarani yang mendengar itu segera memotongnya, 'Aku, Sulaiman bin Ayyub mendengar riwayat dariku yang kemudian didengar oleh Abu Khalifah, kemudian Abu Khalifah menceritakannya kepada Ali dariku.' Mendengar sanggahan Ath-Thabarani tersebut, Abu Bakar Al-Ji'abi merasa malu. Aku tertawa dan gembira melihat hal itu."
Diceritakan oleh Muhammad bin Ahmad Al-Wa'idh, "Pada suatu hari Abu Bakar bin Al-Baghindi sedang shalat. Setelah takbiratul ihram, ia mem­baca, 'Aku mendapatkan riwayat dari Muhammad bin Sulaiman bin Luwain.' Menyangka ia melakukan kesalahan, aku segera membaca tasbih untuk mengingatkannya. Akan tetapi, ia malah terus membaca surat Al-Fatihah."
Muhammad bin Ahmad Al-Wa'idh juga menceritakan, "Aku sangat mencintai hadits. Aku biasa melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, tetapi aku tidak pernah berkata, 'Tolong, doakan aku kepada Allah.' Akan tetapi, aku memilih bertanya kepada beliau, 'Wahai Rasulullah, mana di antara ke­dua orang ini yang lebih kuat haditsnya, Manshur atau Al-A'masy?' Beliau menjawab, 'Manshur, Manshur'."
Ibnu Katsir berkata, "Terkadang tanpa sadar aku suka menyebut suatu hadits dalam shalat atau dalam tidur."
Setiap hari, sejak siang sampai malam hari Yahya bin Hilal bin Mathar duduk untuk mendengarkan hadits-hadits yang telah dicatat. Dan setiap bulan ia bisa menyempurnakan bacaannya.
Imam Abu Ishak Asy-Syairazi penulis kitab Al-Muhadzab bercerita, "Setiap pelajaran aku ulangi sampai seratus kali. Jika dalam satu masalah ada sebuah bait sya'ir yang dijadikan sebagai bukti penguat, aku hapalkan seluruh kasidahnya."
Adz-Dzahabi berkata, "Aku pernah mendengar Syaikh Taqiyuddin mengatakan, 'Syaikh Ibnu Maliki mengatakan, 'Sesungguhnya Allah Subhnahu wa Ta'ala telah melembutkan pemahaman kepada Majduddin bin Taimiyah (kakek Ibnu Taimiyah), sebagaimana Dia telah melunakkan besi bagi Nabi Daud Alaihis Salam.' Ibnu Taimiyah juga berkata, 'Sesungguhnya kakekku (Majduddin) memiliki suatu keistimewaaan. Bahwa seuatu ketika seorang ulama bertanya kepadanya tentang suatu masalah ilmiah. Kakekku berkata kepadanya bahwa jawaban masalah itu ada enam puluh cara. Kemudian ia mengemukakannya satu persatu. Ulama itu berkata, "Cukup engkau mengulanginya." Sungguh dia tercengang-cengang dengan kecerdasannya itu.
Ibnu Taimiyah juga berkata, "Sesungguhnya dia memang orang yang sangat istimewa pada zamannya dalam menukil matan dan menghafal beberapa mazhab tanpa sedikitpun merasa kesulitan dalam hal itu." Dia meninggal dunia pada tahun 652 H.
Salah satu karya peninggalannya yang termasyhur adalah kitab Muntaqiyul Akhbar yang menjadi referensi banyak ulama di setiap masa. Dalam kitab itu penulisnya mengumpulkan hadits-hadits yang memuat soal fiqih yang dijadikan dalil dan rujukan bagi ahli mazhab. Pada akhir hayatnya dia meminta seorang ulama mujtahid besar dari Yaman, yakni Al-'Alamah Muhammad bin Ali Asy-Syaukani (wafat 1255 M) untuk mensyarahinya menjadi delapan jilid tebal dengan judul Nailul Authar. Dia tergolong sebagai buku yang yang berbobot di bidang ilmu pengetahuan dan pengajaran dan penjelasan karena buku itu memang sangat analitis dan sistematis serta dijamin oleh luasnya wawasan penulis dan kejelian hatinya.[6]
Syaikh Taqiyuddin mengatakan, "Kami kagum atas kehebatannya mengemukakan matan dan menghapal pendapat dengan sangat lancar. Pada suatu hari ia mengajak saudara sepupunya pergi ke Iraq untuk membantunya. Tengah malam saat terbangun, saudara sepupunya itu mendengar ia meng­ulang-ulang masalah khilafiyah, sampai ia hapal masalahnya."
Syaikh Ahmad bin Al-Hasan bin Anu Syarwan Ar-Rumi Al-Hanafi (652-745 Hijriyah) setiap hari sanggup menghapal tiga ratus baris pelajaran. Selama lebih dari tujuh belas tahun ia tinggal di Damaskus untuk belajar.
Abu Shalih Ayyub bin Sulaiman menekuni ilmu arudl[7] sampai hapal. Ketika ditanya alasannya kenapa setelah dewasa ia tetap menekuni ilmu ter­sebut, ia mengatakan, "Pada suatu hari aku pernah berada di tengah-tengah kaum yang banyak bicara sehingga aku merasa rendah diri. Sejak itulah aku bertekad untuk mendalami ilmu ini."
* * *
(11 )
MEREKA SANGAT MENCINTAI BUKU
Para ulama adalah orang-orang yang sangat mencintai buku. Mereka memiliki hubungan yang kuat dengan buku. Mereka senang sekali mene­la'ahnya karena mereka menganggap buku sebagai gudang dan sumber ilmu.
Al-Mubarrad mengatakan, "Setahuku, ada tiga orang ulama yang sangat rakus terhadap ilmu. Mereka ialah Al-Jahidz, Al-Fathu bin Khaqan, dan Ismail bin Ishak Al-Qadhi. Jika Al-Jahizh sedang memegang buku apa saja, ia akan membacanya sampai habis. Al-Fathu suka menyelipkan buku di khuf-nya. Dan ketika berdiri meninggalkan Khalifah Al-Mutawakkil untuk keper­luan buang air kecil atau untuk shalat, ia keluarkan bukunya lalu ia baca sambil bejalan sampai ke tempat yang ditujunya. Pulangnya, ia melakukan hal yang sama sampai tiba di tempat semula. Sementara Ismail bin Ishak, setiap kali aku bertemu dengannya, pasti ia sedang memegang buku dan dibac­anya, atau sekedar dibolak-balik untuk mencari informasi buku-buku baru."
Abu Bakar Al-Khayyath An-Nahwi menggunakan seluruh waktunya untuk belajar, termasuk saat sedang dalam perjalanan. Akibat hobinya itu, ia pernah jatuh ke dalam lereng bukit, dan diinjak oleh binatang.
Pada suatu hari seorang menteri yang sedang menerima rombongan tamu memanggil pelayannya, "Hai pelayan! Siapkan untukku teman kesepian dan pengisi waktu luangku." Mereka mengira sang menteri sedang minta diambilkan minuman kesukaannya. Ternyata si pelayan muncul dengan mem­bawa keranjang berisi buku yang cukup banyak.
Ahmad bin Imran mengatakan, "Pada suatu hari aku sedang bersama Abu Ayyub alias Ahmad bin Muhammad bin Syuja' di rumahnya. Ia menyuruh salah seorang pelayannya menemui Abu Abdullah Al-A'rabi yang terkenal suka berbuat aneh-aneh untuk menyampaikan pesan supaya ia datang mene­muinya. Tidak lama kemudian, si pelayan datang dan berkata, 'Pesan Anda sudah aku sampaikan. Katanya, ia sedang menerima beberapa orang tamu dari dusun. Kalau selesai menemui mereka, ia akan segera kemari. Padahal aku tahu persis tidak ada siapa-siapa di rumahnya. Di depannya hanya ada setumpuk buku yang dilihatnya satu persatu.'
Belum selesai si pelayan menyampaikan laporan, tiba-tiba Abu Abdullah muncul. Ia segera disambut oleh Abu Ayyub, 'Wahai Abu Abdullah, Mahasuci Allah! Kenapa lama sekali kamu tidak berkunjung ke sini. Anda sibuk terus dengan hobimu, ya? Kata pelayanku, tadi tidak ada siapa-siapa di rumahmu. Akan tetapi, kenapa kamu bilang kalau sedang ada tamu, dan kamu akan ke sini setelah menemani mereka? Apa maksudmu?' tanya Abu Ayyub. Abu Abdullah menjawab dengan membacakan sya'ir."
Kami punya teman-teman duduk
Dan kami tak pernah bosan berbicara dengan mereka
Mereka bisa dipercaya saat aku ada di rumah maupun sedang pergi
Mereka memberiku ilmu, kepintaran, pendidikan, dan pendapat yang benar tanpa menimbulkan fitnah yang ditakuti dan perlakuan buruk Aku juga tidak mengkhawatirkan kejahatan lidah dan tangannya
Jika kamu bilang mereka mati, kamu tidak bohong
Dan jika kamu bilang mereka hidup, kamu juga tidak berdusta
Yang unik, konon Al-Jahizh pernah mengontrak beberapa toko buku dan alat-alat tulis. Malam hari ia suka tidur di tempat tersebut agar bisa mem­baca kitab-kitab yang ada.
Ibnu Al-Jauzi Rahimahullah mengatakan, "Jalan kesempurnaan dalam menuntut ilmu ialah suka menela'ah buku-buku yang sarat dengan ilmu. Dengan demikian, sebagai seorang yang sedang menuntut ilmu Anda akan mengetahui kualitas dan kuantitas ilmu para ulama dahulu serta cita-cita mereka yang sangat tinggi sehingga diharapkan hal itu dapat membantu melecut sema­ngat belajar Anda. Setiap buku pasti mengandung manfaat. Betapapun Anda harus membaca perjalanan hidup para ulama salaf, membaca karangan-­karangan mereka, dan memperhatikan kisah-kisah mereka, niscaya Anda akan mengetahui siapa mereka sebenarnya, seperti kata seorang penyair:
Aku akan melihat  perkampungan rumah dengan mata kepalaku
supaya aku bisa melihat perkampungan rumah yang pernah aku dengar
Aku ingin memberitahukan tentang keadaanku sendiri bahwa aku tidak merasa kenyang untuk membaca buku. Setiap kali melihat sebuah buku yang belum pernah aku lihat, aku seakan-akan berada di sebuah gudang penyim­panan harta.
Aku pernah melihat buku-buku yang diwakafkan di madrasah An-­Nizhamiyah. Jumlahnya ada enam ribuan jilid. Di antaranya ada buku-buku karya Imam Abu Hanifah, karya Al-Humaidi, karya Syaikh Abdul Wahab bin Nashir, karya Abu Muhammad bin Al-Khasysyab, dan masih banyak lagi buku-buku yang tidak bisa aku ketahui satu persatu.
Selama menuntut ilmu, aku telah membaca buku sebanyak dua puluh ribu jilid. Dengan rajin membaca buku, aku bisa mengetahui sejarah para ulama salaf, cita-cita mereka yang tinggi, hapalan mereka yang luar biasa, ketekunan ibadah-ibadah mereka, dan ilmu mereka yang aneh-aneh. Semua itu jelas tidak mungkin diketahui oleh orang yang malas membaca.
Itulah sebabnya dalam hal hobi membaca aku mempunyai kelebihan tersendiri dibanding kebanyakan manusia. Aku sangat prihatin atas cita-cita para penuntut ilmu sekarang ini. Dan segala puji adalah milik Allah."
Selain mengandung banyak manfaat yang melimpah ruah dan meru­pakan kebanggaan besar, buku adalah harta yang paling mulia dan keindahan yang paling berharga. Buku adalah teman duduk yang paling setia, pelipur lara yang paling menyenangkan, dan teman keluh-kesah yang paling bisa di­percaya. Itulah sebabnya para ulama sangat antusias dalam mengoleksi buku­-buku dan membacanya.
Ibnu Hajar Rahimahullah, misalnya, dalam kitabnya Al-Durar Al-Kaminat menceritakan tentang Ibnul Qayyim, "Ia sangat hobi mengoleksi buku sehingga ia berhasil memiliki koleksi buku yang tidak bisa dihitung jumlahnya. Setelah ia meninggal dunia, anak-anaknya menjual buku-buku peninggalannya dalam waktu yang cukup lama karena saking banyaknya, kecuali buku-buku tertentu yang mereka gunakan sendiri."
Yahya bin Mu'in meninggalkan warisan buku sebanyak seratus empat-belas lemari dan empat tas berukuran sangat besar, yang semuanya penuh dengan buku.
Tentang Ibnu Al-Mulaqqan, Ibnu Hajar mengatakan, "Ia mengoleksi banyak buku. Pada suatu hari aku mendengar kabar -ketika penyakit tha'un tengah melanda negerinya- ia bermaksud untuk menjual buku-buku hadits miliknya dengan harga yang berlaku saat itu. Merasa tertarik, aku segera ke rumahnya dengan membawa uang dirham satu tas. Aku berhasil memborong kitab-kitabnya, termasuk di antaranya ialah kitab Musnad Imam Ahmad se­harga tiga puluh dirham."
Al-Hafizh Adz-Dzahabi dalam kitabnya Sair A'lam Al-Nubala' ber­cerita tentang Al-Qadhi Abdurrahim bin Ali Al-Lakhmi, yang terkenal suka mengoleksi buku, "Aku dengar koleksi bukunya mencapai seratus ribu jilid. Dan ia mendapatkannya dari berbagai negara."
Muhammad bin Abdullah As-Sulami Al-Marasi Al-Andalusi adalah seorang ulama yang gemar menulis, membaca, dan mengumpulkan kitab-­kitab berharga yang cukup banyak jumlahnya. Pada peristiwa penaklukan Andalusia, ia ikut menyumbang uang hasil dari penjualan sebagian buku­bukunya.
Al-Adfawi mengatakan, "Guruku, Al-Qadhi Abu Abdullah alias Muhammad bin Jama'ah, pernah bertemu dengan Amin Al-Hakam di Kairo. Amin Al-Hakam sedang giat mengupayakan harta buat anak-anak yatim. Ia bercerita kepadaku, 'Pada suatu hari aku kedatangan Syaikh Taqiyyudin Ibnu Daqiq Al-'Idi. Ia mengaku punya hutang kepada anak-anak yatim. Aku lalu berusaha menjadi perantara dan mempertemukan ia dengan Amin Al-Hakam. Untuk membayar tanggungannya, aku lalu memutuskan Ibnu Daqiq Al-'Idi wajib mengajarkan pelajaran agama di madrasah Al-Kamiliyah tanpa digaji. Setelah itu aku meminta ma'af kepada Ibnu Daqiq. Dan ia menjawab, 'Ini terjadi padaku gara-gara hobiku mengoleksi kitab'."
Istri Imam Az-Zuhri Rahimahullah pernah berkata, "Demi Allah, buku-buku ini lebih memberatkan aku daripada tiga orang madu."
Sulaiman Al-Amiri mengatakan:
Perempuan itu berkata,
kenapa kamu belanjakan seluruh uang yang kamu dapat untuk membeli kitab?
Aku jawab, "Biar saja,
barangkali aku akan dapatkan kitab yang akan membuat aku menerima kitab catatan amal dengan tangan kananku di akhirat nanti"
Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan, "Pada suatu hari aku men­jenguk seseorang yang sedang terserang penyakit pusing dan demam. Saat aku tiba di rumahnya, kebetulan ia sedang tidur. Sementara di dekat kepalanya terdapat sebuah buku. Setiap kali terbangun ia membacanya, dan setiap kali mengantuk ia meletakkannya kembali. Melihat hal itu, sampai-sampai dokter yang memeriksanya memberikan nasihat, 'Kamu jangan banyak bergerak, termasuk membaca sebab hal itu akan memperlambat proses kesembuhanmu'."
Seorang dokter mengunjungi Abu Bakar Al-Anbari yang sedang men­derita sakit cukup parah. Setelah memeriksa air seni pasiennya, sang dokter berkata, ''Anda biasa melakukan sesuatu yang tidak lazim dilakukan oleh siapapun." Ketika akan pamit pulang, sang dokter bertanya, "Sebenarnya apa yang Anda lakukan?" Abu Bakar Al-Anbari menjawab, "Setiap minggu aku sanggup menulis sebanyak sepuluh lembar."
Syaikh Raghib Ath-Thabbakh Rahimahullah berkata, "Syaikh Ahmad Al-Hijar Rahimahullah suka mengoleksi buku. Konon kabarnya, setiap kali melihat ada buku dijual, sementara ia tidak membawa uang, ia tidak segan­-segan menanggalkan salah satu pakaian yang tengah dikenakannya untuk dijual, lalu seketika itu uangnya ia gunakan untuk membeli buku tersebut."
Pada suatu hari Syaikh Ala'uddin alias Ibnu Nafis masuk ke sebuah tempat pemandian yang terletak di dekat pintu gerbang monumen Zahumah. Saat sedang mandi, tiba-tiba ia menuju ke tempat ganti pakaian dan minta kepada pelayannya agar diambilkan tinta, pena, dan kertas. Setelah menulis sebuah artikel tentang masalah kedokteran, ia kembali lagi untuk meneruskan mandinya.
* * *
(12)
CITA-CITA TERTINGGI MEREKA DALAM MENGAJARKAN DAN MENYEBARLUASKAN ILMU
Diceritakan oleh Amr bin Sawad, "Imam Asy-Syafi'i pernah bercerita kepadaku, 'Aku dilahirkan di Asqalan. Pada usia dua tahun, aku dibawa ke Makkah. Aku punya dua cita-cita: pandai memanah dan bisa me­nuntut ilmu. Cita-cita yang pertama berhasil aku raih karena bidikan panahku hampir selalu tepat mengenai sasaran. Yang belum tercapai ialah ilmu. Akan tetapi aku selalu meyakinkan kepada diriku sendiri, 'Demi Allah, kamu akan berhasil di bidang ilmu daripada di bidang memanah'."
Asy-Syafi'i juga dikenal piawai dalam bidang sastra dan tata bahasa. Al-Qadhi Ibnu Khalkan mengatakan, "Al-Ashmu'i (122-212 Hijriyah), se­orang ulama besar di bidang sastra dan tata bahasa, pernah membacakan sya'ir-sya'ir kaum Hudzili kepada Asy-Syafi'i. Al-Ashmui berkata, 'Pada suatu hari seorang ulama ahli silsilah keturunan dari Iraq berbicara dengan Asy-­Syafi'i tentang ilmu ini. Dikarenakan mereka sama-sama ahlinya, maka pem­bicaraan berlangsung cukup seru dan menarik. Beberapa lama kemudian Asy-Syafi'i berkata kepada si Ulama dari Iraq tadi, 'Orang seperti kita ini tidak layak membicarakan silsilah keturunan laki-laki dari jalur ayah. Sebaiknya mari kita bicara saja tentang silsilah mereka dari jalur ibu'."
Pada suatu hari di Fistat, Asy-Syafi'i bertemu dengan beberapa orang yang sedang menuntut ilmu. Setelah berbicara sebentar, mereka yakin Asy­-Syafi'i memiliki pengetahuan yang mendalam tentang disiplin ilmu kedokteran yang secara khusus sedang mereka tekuni. Mereka meminta kesediaan Asy-­Syafi'i meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan mereka. Ia kemudian me­nunjuk beberapa orang ulama ahli fiqih yang sedang berdiri menunggunya di dekat pagar masjid jami' Amr bin Al-'Ash seraya berkata, 'Bilang kepada mereka (beberapa ulama ahli fiqih yang sedang menunggu), apakah mereka mau memberikan waktu kepadaku untuk memenuhi permintaan kalian terlebih dahulu?'"
Rabi' bin Sulaiman Al-Muradi (174-270 Hijriyah), seorang perawi kitab-kitab tulisan Asy-Syafi'i dan salah seorang teman istimewanya, juga orang yang pertama mendiktekan hadits di masjid jami' Ibnu Thalun, bercerita, "Ketika Asy-Syafi'i tiba di Fistat, ia bergaul dengan Abdullah bin Al-Hakam dan beberapa teman diskusinya. Wajah Asy-Syafi'i yang cukup tampan ­ditambah akhlaknya yang baik, membuat ia disenangi oleh banyak penduk Mesir, terutama para ulama ahli fiqih dan kaum intelektual. Setiap kali selesai shalat subuh, ia biasa mengadakan halaqah di masjid jami' Amr bin 'Ash. Para ulama ahli Al-Qur'an sama berdatangan, dan mereka menanyakan beberapa pertanyaan kepadanya tentang masalah-masalah yang menyangkut Al-Qur'an. Memasuki waktu pagi, giliran para ulama ahli hadits yang berdatangan. Mereka menanyakan tentang makna-makna dan tafsir hadits. Ketika hari beranjak siang, halaqah dibuka untuk umum. Setelah itu halaqah dibuka untuk para ulama ahli bahasa Arab, ahli nahwu, dan ahli sastra, dan berakhir menjelang waktu dhuhur. Selepas shalat dhuhur, Asy-Syafi'i baru bisa pulang ke Fistat.
Selama empat tahun tinggal di Fistat, Asy-Syafi'i telah mendikte seribu lima puluh hadits, menyelesaikan kitab Al-Umm setebal dua ribu lembar, kitab As-Sunan, dan karya-karyanya yang lain. Semua itu ia selesaikan dalam waktu selama empat tahun. Padahal waktu itu ia sedang menderita sakit ambeien yang sudah cukup serius. Bahkan, saat menaiki kendaraan ia mengeluarkan darah sehingga celana dan sepatu yang dipakainya berlumuran darah."
Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata, "Jika para ulama ahli hadits tidak datang kepadaku, maka akulah yang mendatangi rumah mereka."
Ia juga berkata, "Begitu aku tahu ada seseorang yang sudah berniat mencari hadits, aku akan datangi rumahnya untuk menceritakan hadits kepadanya."
Ibnul Qasim alias Isa bin Dinar pernah memberikan pesan, "Singgahlah kamu di kota besar Andalusia. Dan jangan singgah di suatu tempat yang membuat ilmumu menjadi tidak ada gunanya."
Imam Al-Hammam alias Ibnu Hazm Al-Andalusia Rahimahullah adalah sosok ulama yang punya cita-cita sangat tinggi. Ia pernah mengatakan dalam bait-bait sya'irnya:
Obsesiku di dunia
adalah ilmu-ilmu yang akan aku sebarkan di setiap dusun dan kota
Seruan mendalami Al-Qur'an dan as-sunnah yang sudah banyak dilupakan
oleh orang-orang pada zaman sekarang
Berjuanglah di daerah perbatasan musuh dan saat perang berkobar
Akulah orang pertama yang akan maju ke medan laga tanpa rasa gentar
Aku akan berjuang mati-matian melawan kaum kafir
karena bagi anak muda, kematian paling terhormat ialah mati melawan orang kafir
Ya Rabb, tolong peliharalah semangatku ini
dan jangan jadikan aku termasuk orang-orang yang takut masuk ke liang kubur
* * *
(13)
CITA-CITA TINGGI MEREKA DALAM MENULIS
Abdurrahman Al-Khathib Al-Baghdadi mengatakan, "Aku pernah mendengar Ali bin Abdullah bin Abdul Haffar Al-Lughawi bercerita, 'Sesungguhnya Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (wafat tahun 310 Hijriyah) selama empat puluh tahun tinggal di rumah. Setiap hari ia mampu menulis sebanyak empat puluh lembar'."
Ini artinya, Muhammad bin Jarir Ath-Thabari telah menulis hampir lima ratus delapan puluh empat ribu (584.000) lembar. Bukan main. Benar­-benar fantastis.
Orang yang tidak mengenal ulama besar dalam sejarah umat manusia yang satu ini, sangat boleh jadi merasa bingung dan tercengang melihat angka yang sangat fantastis tersebut. Akan tetapi, ia tidak perlu lagi bingung jika mengetahui reputasi ulama ini yang begitu besar, cita-citanya yang sangal tinggi, hasratnya yang luar biasa, dan semangatnya yang selalu menyala-nyala. Ulama ini memanfaatkan setiap detik waktunya sekalipun ketika sudah hampir menjelang ajal. Dia memiliki tanggung jawab terhadap misi yang diembannya. Usianya yang panjang namun penuh berkah diisi dengan keikhlasan dan kejujuran niatnya. Kita akan dapat memahami produktivitas ilmunya yang luar biasa tersebut.
Dalam biografi Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Ustadz Muhammad Kurdi Ali mengatakan, "Ia sama sekali tidak mau kehilangan waktunya barang satu detik pun untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya."
Karangan-karangan Imam Ath-Thabari Rahimahullah dalam berbagai displin ilmu serba prima, baik dari segi ketajaman, kesungguhan, metode, sistematika, keluasan, kedalaman, dan kematangannya. Tidak heran jika tokoh-­tokoh ulama ahli sejarah maupun ahli tafsir sangat menaruh respek kepadanya. Bahkan, ia diberi gelar sebagai pemilik madzhab fiqih yang spesifik.
Sehubungan dengan kedudukannya yang sangat tinggi lewat tulisan-­tulisannya tersebut, saya jadi ingat pada apa yang pernah dikatakan oleh Abu Hamid Ahmad bin Abu Thahir Al-Isfirayini, "Seandainya seseorang pergi ke China dan mendapatkan kitab Tafsir Muhammad bin Jarir, hal itu bukanlah sesuatu yang aneh."
Kitab tafsir yang disebutkan tadi, yang dicetak dalam tiga puluh juz karena saking besar dan luasnya memang sangat spektakuler. Abdurrahman Al-Khathib Al-Baghdadi bercerita, "Pada suatu hari Abu Ja'far (Muhammad bin Jarir) Ath-Thabari bertanya kepada sahabat-sahabatnya,
'Apakah kalian ingin mengulas tafsir Al-Qur'an karyaku?'
'Ada berapa lembar?' tanya mereka.
'Tiga puluh ribu lembar,' jawabnya.
Seketika mereka terkesima dan berkata, 'Seumur hidup kami tidak sang­gup melakukannya.' Akhirnya, Ath-Thabari meringkasnya hanya menjadi tiga ribu lembar saja.
Kemudian, Ath-Thabari juga bertanya kepada mereka,
'Apakah kalian juga ingin mengulas kitab sejarah dunia mulai dari Nabi Adam hingga sekarang ini?'
'Ada berapa lembar?' mereka balik bertanya. 'Sama seperti kitab tafsirku tadi,' jawabnya.
Lagi-lagi mereka terkesima dan berkata, 'Seumur hidup kami tidak sanggup melakukannya.' Mendengar itu ia berkata, 'Inna lillahi. Matilah cita-cita!' Selanjutnya, ia mendiktekan hanya sekitar tiga ribu lembar saja."
Imam Al-Baihaqi menulis kitab seribu juz. Semuanya merupakan tulisan murni yang langka dan sarat dengan faidah. Untuk menyelesaikan karyanya ini, ia sampai harus berpuasa selama tiga puluh tahun.
Prestasi yang sama juga dicapai oleh Imam Abul Wafa' alias Ali bin Aqil Al-Hanbali Al-Baghdadi yang wafat pada tahun 513 Hijriyah. Tentang ulama besar yang satu ini, Imam Ibnu Taimiyah memberikan komentarnya, "Sesungguhnya ia adalah termasuk salah satu orang jenius dunia. Rupanya waktu yang ia pelihara dengan baik telah membuahkan hasil sebuah karya kitab sangat besar yang ia perkenalkan kepada dunia." Itu adalah kitab Al Funun yang sebanyak delapan ratus jilid.
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam biografi Abul Wafa' Ali bin Aqil Al-Hanbali Al-Baghdadi berkata, "Karya Ali bin Aqil Al-Hanbali Al-Baghdadi yang paling besar ialah kitab Al-Funun. Kitab yang sangat besar ini penuh dengan faidah tentang nasihat, tafsir, fiqih, ushul, nahwu, bahasa, sya'ir, sejarah, dan hikayat. Kitab ini juga memuat sejumlah catatan diskusinya dengan teman-temannya, ungkapan-ungkapan kekhawatirannya, dan hasil-hasil pikirannya."
Ibnu Al-Jauzi mengatakan, "Ali bin Aqil Al-Hanbali Al-Baghdadi mempunyai pikiran yang cemerlang dan pengamatan yang cermat. Konon nama kitabnya Al-Funun sangat cocok dengan pikiran-pikiran dan realitas-realitas dirinya. Siapa yang mau memperhatikan realitas-realitas ulama ini, ia akan tahu yang sebenarnya."
Cucu Ibnu Al-Jauzi mengatakan, "Kakekku meringkas kitab Al-Funun tersebut ke dalam sepuluh jilid, yang ia muat dalam beberapa karangannya. Aku membaca sebagiannya di Baghdad, di hadapan keluarga besar Al­-Ma'mun. Di dalamnya ada hikayat-hikayat, perdebatan-perdebatan, keanehan­-keanehan, dan sya'ir-sya'ir."
Al-Hafizh Adz-Dzahabi mengatakan, "Kitab Al-Funun yang terdiri lebih dari empat ratus jilid, yang berisi tentang kisah perjalanan hidupnya bersama tokoh-tokoh utama dan para muridnya dengan sangat cermat."
Adz-Dzahabi dalam kitabnya Tarikh Al-Dzahabi juga mengatakan, "Di dunia ini tidak ada karangan yang lebih besar daripada kitab ini. Selain dari Ibnu Rajab, aku juga mendapat cerita dari Abu Hafash Umar bin Ali Al-­Qazuwaini di Baghdad, yang mengaku pernah mendengar dari gurunya bahwa kitab tersebut sebanyak delapan ratus jilid."
Al-Hafizh Ibnu Asakir menulis kitabnya Tarikh Damsyiq sebanyak delapan puluh jilid yang cukup tebal.
Imam Abu Hatim Ar-Razi menulis kitabnya Al-Musnad sebanyak seribu juz. Imam Abul Faraj alias Abdurrahman bin Ali bin Muhammad Al­-Jauzi, murid Ibnu Aqil yang wafat pada tahun 597 Hijriyah, dan salah seorang ulama terkemuka yang menjadi panutan dalam hal menghargai waktu, pernah berkata, "Pada akhir usianya, aku pernah mendengar Abu Hatim Ar-Razi berkata di atas mimbar, 'Aku tulis dua ribu jilid kitab ini dengan tanganku sendiri. Ada seratus ribu orang yang bertaubat dan dua puluh ribu orang Yahudi serta orang Nasrani yang masuk Islam setelah membaca kitabku ini'."
Syaikh Abul Faraj juga berkata, "Kalau kita perkirakan yang ia baca sebanyak dua puluh ribu jilid, lalu kita hitung secara rata-rata setiap jilidnya ada tiga ratus lembar, maka jumlah yang telah dibacanya ada enam juta lembar. Itu baru yang ia revisi dan ia baca. Belum yang ia tulis dan ia susun!"
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah dalam kitabnya Ujubat Al-Mishriyat mengatakan, "Syaikh Abul Faraj adalah seorang mufti agung yang memiliki banyak tulisan atau karangan tentang berbagai disiplin ilmu. Sepanjang yang saya tahu, ada seribu lebih."
Al-Hafizh Adz-Dzahabi mengatakan, "Setahu saya, tidak ada seorang ulama pun yang mampu menulis seperti ulama yang satu ini."
Hampir setiap disiplin ilmu ditulis oleh Abul Faraj. Sebagian ada yang tebalnya sampai dua puluh jilid, dan sebagian lagi merupakan risalah kecil.
Al-Muwaffiq Abdul Lathif, sebagaimana yang dikutip oleh Adz-­Dzahabi mengatakan, "Sesungguhnya ia adalah seorang ulama yang tidak mau membuang-buang waktunya barang sekejap pun."
Abul Faraj Rahimahullah sendiri pernah mengatakan, "Aku melihat banyak orang yang mencoba menyeretku dalam tradisi melakukan kunjungan­-kunjungan, dan mereka menamakan hal itu sebagai khidmat. Sambil duduk­-duduk mereka membicaraan hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Bahkan, terkadang sampai mempergunjing orang lain.
Itulah yang dilakukan oleh banyak orang pada zaman kita sekarang ini, terutama pada hari raya dan pada hari-hari tertentu lainnya. Anda lihat mereka saling mengunjungi satu sama lain. Mereka tidak hanya sekedar saling mengucapkan selamat. Juga saling berbicara dan bercanda ke sana ke mari dengan membuang-buang waktu.
Bagiku, sesungguhnya waktu adalah sesuatu sangat mulia, yang wajib dimanfaatkan untuk melakukan kebajikan-kebajikan. Oleh karena itulah, menghadapi mereka aku berada dalam sebuah dilema. Kalau aku mengingkari tradisi mereka itu, aku akan sendirian. Akan tetapi, kalau aku menerimanya, aku pasti akan kehilangan banyak waktu. Akibatnya, aku jelas akan rugi.
Kemudian, aku meluangkan waktu-waktu tertentu untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan mereka supaya waktuku tidak ada yang berlalu kosong begitu saja. Aku menunjuk seorang asisten yang bertugas mendaftar tamu­tamu yang ingin bertemu denganku. Demi efesiensi waktu, tenaga, dan pikiran hal ini harus aku lakukan."
Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah menulis lebih dari empat ratus karangan tentang berbagai disiplin ilmu. Ibnul Qayyim membe­rikan komentar, "Aku melihat kekuatan Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah dalam tradisi-tradisinya, ucapannya, dan keberaniannya. Ia adalah seorang penulis yang sangat produktif."
Ibnu Nafis Rahimahullah merupakan salah seorang ahli kedokteran, juga seorang penulis hebat pada zamannya. Imam At-Taju As-Subki mengo­mentarinya, "Dalam bidang kedokteran, di muka bumi tidak ada orang yang sepertinya. Selain Ibnu Sina, tidak ada yang sanggup menandingi reputasinya. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa Ibnu Nafis Rahimahullah lebih hebat daripada Ibnu Sina."
Dokter penemu ini berhasil menulis sebuah kitab tentang kesehatan yang ia beri judul Al-Syamil. Tentang kitab yang sangat monumental ini, At­-Taju As-Subki memberikan komentar, "Konon ada yang mengatakan, 'Kalau disempurnakan, kitab ini bisa sebanyak tiga ratus jilid. Akan Tetapi, ia hanya menulis delapan puluh jilid saja.' Hebatnya, ia sanggup mendiktekan tulisan-­tulisannya di luar kepala."
Jika Ibnu Nafis Rahimahullah hendak menulis, terlebih dahulu ia me­nyiapkan pena-penanya. Dan setelah menoleh ke sana ke mari, ia mulai menulis dengan penuh konsentrasi. Ia menulis seperti air bah yang terus mengalir de­ras. Jika penanya patah, ia segera menggantinya dengan pena lain yang sudah ia sediakan sebelumnya supaya ia tidak sampai membuang-buang waktu.
As-Suyuthi diberi gelar "anak kitab". Ceritanya, pada suatu hari ayah­nya menyuruh istrinya untuk mengambilkan kitab di perpustakaan pribadi. Dan ketika berada di ruang perpustakaan itulah ibunya melahirkan As-Suyuthi sehingga ia diberi gelar "anak kitab." Gelar terhormat tersebut patut disandang oleh As-Suyuthi, yang setelah dewasa mendapatkan gelar tambahan, "bapak kitab." Karangan-karangannya mencapai sekitar enam ratus. Dan itu tidak termasuk yang ia hapus.
* * *
 (14)
CITA-CITA MEREKA TIDAK MENGENAL USIA TUA
Al-Bukhari Rahimahullah dalam kitabnya Shahih Al-Bukhari menga­takan, "Beberapa orang shahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam belajar pada usia tua mereka."
Diceritakan oleh Nu'aim bin Hammad, "Pada suatu hari Ibnu Al-Mubarak ditanya, 'Sampai kapan Anda akan terus menuntut ilmu?' Ia menjawab, 'Insya Allah sampai mati'."
Mu'adz berkata, ''Aku bertanya kepada Abu Amr Al-Ala', 'Sebaiknya sampai kapan seseorang belajar?' Ia menjawab, 'Selama ia masih hidup'."
Al-Imam Ibnu Aqil Rahimahullah, yang ketika dalam usia sepuluh tahun sudah punya cita-cita yang tinggi menceritakan pengalamannya, "Pantang bagiku membuang-buang usia hidupku barang sekejap pun. Bahkan ketika lidahku sedang tidak aku gunakan untuk membaca pelajaran mataku juga sedang tidak aku gunakan untuk melihat pelajaran, maka di senggang aku gunakan pikiranku untuk tetap berproduksi. Aku sama sekali tidak mau menganggur. Aku merasa pada usia delapan tahun hasratku men­dapatkan ilmu jauh lebih besar daripada ketika aku sudah berusia sepuluh tahun."
Tekadku, semangatku, akhlak-akhlakku,
kesetiaanku, agamaku, dan kemuliaanku tidak akan pernah tua
meski kepalaku sudah nampak tua
Bagiku, uban di kepala itu tidak sama seperti uban dalam cita-cita
Az-Zarnuji mengatakan, "Hasan bin Ziyad memperdalam agama ketika ia sudah berusia delapan puluh tahun, dan selama empat puluh tahun ia tidak pernah tidur nyenyak di atas ranjang."
Al-Hafizh Adz-Dzahabi dalam biografi Abul Faraj bin Al-Jauzi mengatakan sebagai berikut, "Abul Faraj belajar membaca Al-Qur'an yang baik kepada Ibnu Al-Baqilani ketika ia sudah berusia delapan puluh tahun. Waktu itu ia ditemani putranya, Yusuf. Demikian yang dikutip oleh Ibnu Naqthat dari Al-Qadhi Muhammad bin Ahmad bin Al-Hasan."
Imam Ibnu Al-Jauzi mengatakan sendiri:
Aku selalu memohon kepada Allah semoga Dia memperpanjang usiaku
sehingga aku mendapatkan nikmat-nikmat yang ada dalam niatku
Aku punya cita-cita mendapatkan ilmu sebanyak mungkin
karena hal itu merupakan surga yang penuh karunia
Bagiku, majelis ilmu itu laksana surga
Imam Al-Qaffal[8] menuntut ilmu ketika usianya sudah mencapai empat puluh tahun. Kendatipun dalam usia yang sudah relatif tua tersebut, ia tetap bersemangat. Pada suatu hari ia menyaksikan seseorang sedang menarik seekor sapi. Tiba-tiba talinya tersangkut seonggok batu besar. Dan karena terus-­terusan digesek, akhirnya batu itu pecah. Ia lalu menghampiri orang itu dan berkata, "Carilah lagi, dan jangan pernah bosan mencarinya."
Carilah, dan jangan bosan mencari
Petaka bagi yang mencari ialah rasa bosan
Kamu lihat seutas tali yang terus-menerus
digesekkan pada batu besar akan pecah
Al-Qaffal terus menekuni mencari ilmu, sampai akhirnya ia menjadi salah seorang imam besar, sekaligus kritikus dunia.
Diceritakan bahwa Imam Abu Muhammad bin Hazm Rahimahullah menuntut ilmu ketika ia sudah berusia dua puluh enam tahun. Abu Muhammad bin Al-Arabi mengatakan, "Sejak akil baligh hingga berusia genap dua puluh enam tahun, Abu Muhammad tinggal di lingkungan penguasa. Pada suatu hari ia merasa gelisah karena di usianya yang sudah cukup dewasa tersebut ia belum tahu banyak tentang tata cara shalat."
Dalam riwayat lain, Abu Muhammad bin Al-Arabi mengatakan, "Syaikh Al-Imam Abu Muhammad alias Ali bin Ahmad bin Sa'ad bin Hazm bercerita kepadaku bahwa alasan kenapa ia memperdalam ilmu fiqih ialah ketika pada suatu hari ia melihat jenazah seorang kakek teman akrab ayahnya. Ibnu Hazm masuk masjid sebelum waktu shalat ashar. Di sana sudah ada banyak orang. Ia langsung duduk tanpa melakukan shalat tahiyatul masjid terlebih dahulu. Melihat hal itu gurunya berkata, 'Berdirilah. Kamu harus shalat tahiyatul masjid dahulu.' Dia hanya diam saja karena tidak paham. Ia benar-benar tidak tahu kalau ucapan gurunya itu ditujukan kepadanya. Orang-orang yang duduk di sebelahnya berkata sambil mengejek 'Setua ini kamu ternyata belum tahu kalau shalat tahiyatul masjid itu wajib.'[9] Mendengar ejekan mereka itu, dia lalu bangkit untuk shalat. Belakangan dia baru menyadari bahwa ucapan guruku tadi ditujukan kepadanya.
Selesai menshalati jenazah bersama kaum kerabat dekat keluarga yang sedang berduka, dia masuk masjid dan langsung shalat. Akan tetapi, tiba­-tiba seseorang berkata kepadanya, 'Duduklah. Ini bukan waktunya shalat.' Seketika itu dia keluar dengan perasaan sedih. Dia merasa, sangat terhina. Beberapa hari setelah peristiwa yang memalukan itu dia menemui gurunya. Dia meminta gurunya untuk menunjukkan rumah seorang ulama ahli fiqih yang bernama Abu Abdullah bin Dahun. Dia ingin bertemu dengan ulama tersebut. Setelah mendapatkan alamatnya, dia segera ke sana. Setelah men­ceritakan pengalamannya, dia lalu meminta ulama tersebut untuk mengajarinya membaca kitab. Dia diajari membaca kitab Al-Muwatha', karya Imam Malik bin Anas Radhiyallahu Anhu. Selain kepada Abu Abdullah bin Dahun selama tiga tahun dia juga mengaji kepada ulama-ulama lainnya sehingga akhirnya dia sudah mulai berani berdebat."
Umar bin Wajib bercerita, "Aku sedang bersama ayahku di Balnasiah mengaji tentang berbagai madzhab kepada Abu Muhammad bin Hazm. Aku sangat kagum padanya. Ketika menanyakan kepada seorang peserta pengajian tentang suatu masalah fiqih, ia mendengar jawaban yang bernada menyangkal dan mengejek. Seketika itu ia langsung berdiri dan masuk ke rumahnya. Lama sekali ia tidak pernah keluar rumah. Beberapa bulan berikutnya kami datang lagi ke tempat tersebut. Kami melihat ia sedang berdebat dan mampu mengua­sainya. Ia mengatakan, 'Sedapat mungkin aku hanya mengikuti kebenaran. Aku tidak terikat dengan suatu madzhab'."
Dalam kitab Akhbar Al-Ulama' diceritakan tentang biografi Yahya An­-Nahwi, "Sesungguhnya ia adalah seorang nelayan yang menjual jasa menye­berangkan manusia dengan perahunya. Ia sangat mencintai ilmu. Pada suatu hari ketika tengah menyeberangkan rombongan santri yang mengaji di seme­nanjung Iskandaria, ia mendengar mereka berdiskusi membicarakan berbagai ilmu. Seketika itu ia merasa tertarik untuk ikut menuntut ilmu. Ia selalu me­mikirkan keadaan dirinya yang sudah berusia empat puluh lima tahun namun belum mengerti apa-apa, selain hanya tahu tentang urusan perahu. Saat sedang merenung itulah, tiba-tiba ia melihat seekor semut yang sedang berusaha keras membawa naik sebutir biji korma yang nampaknya sangat berat. Setelah ber­susah payah akhirnya semut itu berhasil. Ia lalu berkata dalam batin, 'Binatang lemah seperti semut ini saja mampu mewujudkan keinginannya dengan berusaha keras. Masak aku tidak mampu?'"
Seketika itu ia lalu keluar rumah untuk menjual perahunya. Setelah mendapatkan uang, ia lalu belajar di sebuah pesantren. Setelah dengan tekun mempelajari ilmu nahwu, bahasa, dan manthiq, lama-lama ia sanggup menguasai ilmu-ilmu tersebut dan menjadi terkenal. Bahkan, akhirnya ia sanggup menulis beberapa kitab sehingga sampai-sampai Amr bin Al-Ash sangat kagum padanya."
- Syaikh Izzuddin Abdus Salam seorang ulama besar, pada mulanya adalah orang yang sangat miskin dan sombong.
- Syaikh Ahmad bin Ibrahim bin Al-Hasan Al-Qina'i mendalami ilmu fiqih, nahwu, dan lainnya ketika ia sudah berusia tiga puluh tahun. Dan berkat ketekunannya ia menjadi pintar. Di negerinya ia mengajar orang banyak. Ia mampu menghapal empat ratus baris isi kitab hanya dalam waktu satu hari. Kemudian, sisa-sisa hari tuanya ia habiskan buat melakukan ketaatan-ketaatan kepada Allah hingga wafat pada tahun 728 Hijriyah.
- Syaikh Yusuf bin Ruzqullah adalah orang yang dikaruniai usia pan­jang oleh Allah. Dia berusia sampai sembilan puluh tahun. Kendatipun pendengarannya sudah tidak normal lagi, namun indera-inderanya yang lain masih cukup tajam. Semangatnya masih seperti semangat orang yang baru berusia tiga puluh tahun. Ia wafat ketika sedang melakukan penandatanganan di Shafad pada tahun 745 Hijriyah.
Dengan ketekunan dan kesabaran, Syaikh Ahmad bin Abdul Qadir Al-Qisi Al-Hanafi An-Nahwi berhasil mendapatkan banyak ilmu, bahkan ia sanggup menguasainya. Pada masa akhir hayatnya, ia memfokuskan diri untuk mencari hadits. Pada suatu hari ia diejek oleh seseorang ketika men­ceritakan hadits kepadanya karena dianggap sudah tidak punya pendengaran yang normal sehingga riwayat haditsnya perlu diragukan. Ia lalu menulis beberapa bait sya'ir:
Setelah tua begini,
pendengaranku diragukan oleh banyak orang yang memang suka mengejek
Mereka bilang, aku ini imam yang sudah punya banyak ilmu
tetapi masih serakah pergi mencari dan mendengar hadits
Aku katakan, mereka itu tidak tahu kenapa aku harus pergi
Apakah aneh jika seseorang gigih mengejar kemuliaan yang terlambat ia raih?
* * *
 (15)
MEREKA BERCITA-CITA TINGGI DALAM MENCARI DAN MENGAJARKAN ILMU SAMPAI AKHIR HAYAT
Diceritakan oleh Al-Mu'afa bin Zakaria dari seorang perawi yang bisa dipercaya, sesungguhnya ia ikut menunggui Abu Ja'far Ath-Thabari Rahimahullah saat ia hendak menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dan ketika mendengar ada yang membaca doa ijazah dari Ja'far bin Muhammad, Abu Ja'far Ath-Thabari minta diambilkan tinta, pena, dan kertas lalu ia menulisnya. ­Seorang temannya bertanya dengan heran, "Dalam keadaan seperti ini Anda masih sempat menulis doa?" Ia menjawab, "Seseorang harus tetap menimba ilmu sampai mati."
Diceritakan oleh Furqad bahwasanya imam masjid Bashrah yang bernama Sufyan ketika tengah menghadapi ajal dijenguk oleh beberapa temannya. Seorang di antara mereka menceritakan hadits kepada Sufyan. Merasa tertarik, Sufyan lalu menyelipkan tangannya ke bawah tikar kemudian mengeluarkan papan tipis dan menulisnya. Mereka bertanya dengan heran, "Dalam keadaan seperti ini Anda masih sempat menulis hadits?" Sufyan menjawab, "Ini adalah kebajikan. Jika masih tetap hidup setidaknya aku telah mendengar kebajikan, dan jika aku harus mati setidaknya aku sudah menulis kebajikan. "
Diceritakan oleh Al-Faqih Abul Hasan alias Ali bin Isa Al-Walwaji, "Aku menjenguk Abu Raihan Al-Biruni saat menjelang ajal. Dadanya terasa sesak dan nafasnya tersengal-sengal. Dalam keadaan kritis seperti itu ia masih sempat bertanya kepadaku, 'Bagaimana tentang masalah bagian pusaka se­orang nenek dari jalur ibu yang kamu katakan kepadaku tempo hari itu?' Dengan heran sekaligus kasihan aku menjawab, 'Dalam keadaan seperti ini Anda masih menanyakan masalah tersebut?' Ia menjawab, 'Aku merasa lega meninggalkan dunia dengan mengetahui masalah tersebut daripada belum mengetahuinya.' Aku lalu mengulanginya lagi sampai ia paham. Setelah itu aku lalu pamit pulang. Namun baru sampai di jalan, dari rumahnya aku mendengar suara-suara jeritan."
Al-Qadhi Ibrahim bin Al-Jarrah Al-Karafi, murid Al-Qadhi Imam Abu Yusuf alias Ya'qub bin Ibrahim Al-Anshari, yang wafat pada tahun 182 Hijriyah. Beliau mengatakan, "Ketika Abu Yusuf sakit, aku datang menjenguk­nya. Aku mendapati ia sedang pingsan. Begitu siuman ia bertanya kepadaku, 'Ibrahim, masalah apa yang hendak kamu katakan?' Dengan heran aku balik bertanya, 'Dalam keadaan seperti ini Anda masih sempat menanyakan masalah?' Ia menjawab, 'Tidak apa-apa. Kita harus tetap belajar. Barangkali ini bisa menyelamatkan orang yang sesat.' Setelah diam beberapa saat, kembali ia bertanya kepadaku, 'Hai Ibrahim, tentang melempar jumrah dalam ibadah haji, mana yang lebih baik: dengan cara berjalan kaki atau naik kendaraan?' Aku menjawab, 'Lebih baik dengan naik kendaraan.' Ia berkata, 'Kamu salah.' Aku menjawab, 'Dengan berjalan kaki.' Ia berkata, 'Kamu salah lagi.' Aku berkata, 'Jadi bagaimana? Katakanlah, mudah-mudahan Allah meridhai Anda.'
Imam Abu Yusuf berkata, 'Jika seseorang bisa berhenti di dekat jumrah untuk berdoa, sebaiknya ia melempar jumrah dengan berjalan kaki. Akan tetapi, jika ia tidak bisa berhenti di dekatnya, sebaiknya ia melemparnya dengan naik kendaraan.'
Aku lalu pamit pulang. Namun baru sampai di pintu rumahnya, aku mendengar suara-suara teriakan tangis pertanda ia baru saja meninggal dunia. Semoga Allah merahmatinya."
Dalam sebuah perjalanan mencari hadits, seseorang melihat Imam Ahmad yang sudah ia kenal sebelumnya. Ia menghampiri Imam Ahmad dan menyatakan kekaguman tentang banyaknya yang dihapal, ditulis, dan diriwayatkannya. Walaupun demikian, Imam Ahmad masih rajin menambah ilmu; terkadang ia ke Kuffah dan terkadang ke Bashrah untuk mencari ilmu. Ia bertanya, "Sampai kapan Anda berhenti?" Imam Ahmad menjawab, "Sampai aku diusung ke kubur dengan membawa tempat tinta."
0000000
-------- PASAL KEDUA --------­
KAUM SALAF BERCITA-CITA TINGGI DALAM BERIBADAH DAN BERISTIQAMAH
Sesungguhnya orang-orang salaf kita yang shalih sama mengenal Allah secara dekat. Mereka selalu memikirkan hakikat dunia, dan tempat kembali mereka di akhirat. Mereka berusaha menghindari fitnah dunia dan menjaga hati mereka dari sifat serakah terhadapnya. Cita-cita mereka sangat tinggi. Anda lihat mereka sangat tekun shalat dan berpuasa, menangis, dan meng­hiba-hiba. Sejarah hidup mereka menggambarkan betapa mereka sangat an­tusias untuk bertaubat dan bersikap istiqamah. Mereka sangat gigih dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Berikut ini adalah beberapa cuplikan tentang ibadah mereka:
Al-Hasan mengatakan, "Siapa yang mengajakmu bersaing dalam urusan agama maka layanilah dia. Dan siapa yang mengajakmu bersaing da­lam urusan dunia, maka lemparkanlah dunia itu ke lehernya."
Wahab bin Al-Warad mengatakan, "Jika kamu mampu tidak didahului dalam berlomba menuju Allah oleh siapapun, maka lakukanlah."
Syaikh Syamsuddin alias Muhammad bin Utsman At-Tarkastani me­ngatakan, "Setiap kali aku mendengar seseorang melakukan suatu ibadah, aku berusaha menandinginya selangkah lebih maju darinya."
Seorang ulama yang sangat tekun beribadah mengatakan, "Seandainya seseorang mendengar ada orang lain yang lebih taat kepada Allah daripada dirinya, lalu orang itu meninggal dunia karena bingung, ini merupakan sebuah tragedi. "
Nafi' pernah ditanya, ''Apa yang dilakukan oleh Ibnu Umar di rumah­nya?"
Ia menjawab, "Berwudlu setiap kali hendak shalat dan rajin membaca Al-Qur'an."
Setiap kali terlambat melakukan shalat jama'ah, Ibnu Umar mengganti­nya dengan berpuasa satu hari. Ia menghidupkan waktu malamnya dengan ibadah, dan dia suka memerdekakan budak.
Sebelum meninggal dunia, Abu Musa Al-Asy'ari Radhiyallahu Anhu masih sempat dengan gigih melakukan ijtihad. Ketika diminta untuk berhenti, ia menjawab, "Seekor kuda kalau dilepas dan posisi kepalanya menoleh ke belakang, maka ia akan mengeluarkan seluruh kemampuannya. Dan ajalku yang masih tersisa tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan hal itu." Ia terus berijtihad sampai akhirnya meninggal dunia.
Seperti yang dikutip oleh Qatadah, Muaraq Al-Ajli mengatakan, "Aku tidak menemukan perumpamaan bagi seorang Mukmin di dunia, selain se­perti perumpamaan seseorang yang terapung di atas papan di tengah lautan seraya berkata, 'Ya Tuhanku, ya Tuhanku…' dengan harapan semoga Allah berkenan menyelamatkannya."
Usamah mengatakan, "Orang yang memperhatikan Sufyan Ats-Tsauri, ia akan melihatnya seolah-olah sedang berada di sebuah perahu dan merasa khawatir akan tenggelam sambil terus menerus berkata meminta tolong, 'Ya Tuhan, selamatkan aku. Selamatkan aku ....'."
Ja'far mengatakan, "Pada suatu hari kami menjenguk Abu Tayyah yang sedang sakit. Abu Tayyah berkata, 'Demi Allah, seorang Muslim yang merasa prihatin melihat orang lain yang terkesan meremehkan perintah Allah, niscaya Allah akan menambahi semangat dan kesungguhannya.' Kemudian, ia pun menangis."
Fatimah binti Abdul Malik, istri Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah bercerita, "Setahuku, dia adalah orang yang paling rajin shalat dan berpuasa. Dan dia adalah orang yang paling dekat dengan Tuhan­nya. Setelah shalat isya', biasanya ia akan duduk bersimpuh sambil menangis sampai tertidur. Setelah terbangun sebentar, ia menangis lagi sampai tertidur lagi. Pada suatu malam ketika tengah tidur seranjang denganku, dia menyebut­-nyebut tentang masalah akhirat. Kemudian, ia menggelepar laksana seekor burung pipit yang menggelepar karena terkena air. Ia lalu duduk sambil mena­ngis, kemudian aku pun menyelimutinya."
Al-Mughirah bin Hakim berkata, "Fatimah binti Abdul Malik pernah mengatakan kepadaku, 'Hai Mughirah, sangat boleh jadi ada orang yang lebih rajin shalat dan puasa daripada Umar bin Abdul Aziz. Akan tetapi, setahuku dia adalah manusia yang paling takut kepada Tuhannya. Setiap kali masuk rumah, ia langsung menuju ke tempat shalatnya, lalu menangis dan berdoa sampai tertidur sendiri. Itulah yang ia lakukan semalam suntuk'."
Abu Ubaidah bin Uqbah bin Nafi' bercerita bahwa pada suatu hari ia menemui Fatimah binti Abdul Malik. Ia bertanya, "Aku harap Anda ber­sedia menceritakan tentang Umar." Ia berkata, "Semenjak diangkat sebagai khalifah, aku tidak pernah melihat mandi karena jinabat atau mimpi basah."[10]
Al-Aswad bin Yazid adalah orang yang sangat tekun dalam beribadah. Pada hari yang sangat panas, ia tetap berpuasa sampai tubuhnya kelihatan sangat pucat. Pernah Al-Qamah bertanya kepadanya, "Kenapa kamu siksa dirimu?" Ia menjawab, "Dikarenakan aku menginginkan diriku mulia." Ia sangat rajin berpuasa sehingga tubuhnya nampak kurus, dan pernah jatuh ketika sedang melakukan shalat. Pada suatu hari Anas bin Malik dan Al-­Hasan menemuinya. Mereka berkata, "Sesungguhnya Allah Yang Mahamulia lagi Mahaagung tidak menyuruh Anda melakukan semua ini." Ia menjawab, "Aku ini hanyalah seorang budak yang dimiliki. Setiap kali melihat sesuatu yang menjanjikan ketenangan, pasti akan aku lakukan."
Seseorang bertanya kepada Amir bin Abdullah, "Bagaimana Anda bisa begitu sabar begadang malam, dan menanggung haus pada siang yang sangat panas?" Ia menjawab, "Aku hanya sekedar mengalihkan makan siang ke malam, dan mengalihkan tidur malam ke siang. Dan itu bagiku bukan sesuatu yang berat." Apabila tiba waktu malam ia berkata, "Panas api neraka bisa menghilangkan nafsu tidur." Kemudian, ia tidak tidur sampai subuh.
Al-Hasan berkata, "Amir bin Qais berkata kepada beberapa orang yang sedang menyebut-nyebut masalah dunia, 'Berbeda dengan kalian yang menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat penting, aku demi Allah sama sekali tidak.' Dan itu ia buktikan dalam hidupnya sampai ia meninggal dunia."
Ahmad bin Harb mengatakan, "Aku heran pada orang yang tahu kalau surga itu bertengger di atasnya dan neraka menyala-nyala di bawahnya, tetapi ia bisa tidur dengan lelap di tengah-tengahnya."
Abu Muslim Al-Khaulani menggantungkan sebuah cemeti di mushalla rumahnya dengan maksud untuk menakut-nakuti dirinya sendiri. Ia menga­takan kepada dirinya sendiri, "Ayo, bangkitlah. Demi Allah, aku akan mem­buatmu merangkak sampai kamu yang kelelahan, bukan aku." Bahkan, dia mengambil cemetinya itu, lalu ia gunakan untuk memukuli diri sendiri seraya berkata, "Kamu lebih pantas dipukul daripada binatang ternakku." Ia juga pernah mengatakan, "Apakah shahabat-shahabat Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam itu mengira kalau karena beliau mereka merasa lebih utama daripada kami? Tidak. Demi Allah, akan kami ajak mereka bersaing supaya mereka tahu bahwa mereka meninggalkan generasi hebat di belakang mereka."
Jika melihat Manshur Al-Mu'tamir, Anda akan mengatakan ia adalah orang yang perlu dikasihani karena ia selalu begadang sambil menangis dan berdoa, sampai-sampai membuat ibunya merasa sedih memikirkannya seraya berkata, "Apa yang selalu kamu lakukan itu? Kenapa kamu tidak berhenti menangis? Kenapa kamu siksa dirimu sendiri?" Namun, dengan tenang ia menjawab, "Ibu, aku lebih tahu apa yang harus aku perbuat."
Husyaim, salah seorang murid Manshur bin Zadzan, ketika ada yang berkata kepadanya bahwa malaikat maut sudah berada di ambang pintu, ia malah semakin bersemangat untuk beramal.
Sepasang betis Shafwan bin Sulaim menjadi sangat keras karena selalu ia gunakan berdiri lama-lama dalam shalat. Begitu bersungguh-sungguhnya ia sehingga ketika ada yang mengatakan kepadanya, "Besok Hari Kiamat", ia malah bertambah semangat. Ia berdoa, "Ya Allah, dikarenakan aku suka bertemu Engkau, aku mohon Engkau juga suka bertemu aku."
Anas bin Iyadh bercerita, "Aku pernah melihat Shafwan bin Sulaim diberitahu bahwa besok Hari Kiamat akan tiba. Akan tetapi, ia malah semakin bersemangat beribadah."
Abdurrahman bin Mahdi mengatakan, "Ketika ada yang berkata ke­pada Hammad bin Salamah, 'Anda besok akan meninggal dunia', ia malah semakin bertambah semangat beramal."
Musa bin Ismail bercerita, "Kalau aku katakan kepada kalian bahwa aku sama sekali tidak pernah melihat Hammad bin Salamah tertawa, aku tidak bohong kepada kalian. Ia selalu sibuk sendiri; mungkin meriwayatkan hadits, mungkin membaca, mungkin berdzikir, mungkin shalat, dan lain seba­gainya. Waktu siangnya sudah ia bagi buat amalan-amalan tersebut."
Putri Rabi' bin Khaitsam pernah bertanya kepada ayahnya, "Wahai ayah, kenapa aku melihat orang-orang suka tidur, tidak seperti Anda?" Rabi' menjawab, "Wahai putriku karena ayahmu takut pada kematian yang datang mendadak pada waktu malam."
Ibrahim mengatakan, "Si Fulan berkata, 'Selama dua puluh tahun aku sama sekali belum pernah melihat Rabi' bin Khaitsam mengeluarkan ucapan yang tidak santun'."
Pengakuan yang sama juga disampaikan oleh seorang ulama, "Selama dua puluh tahun berteman dengannya, sekali-pun aku belum pernah mende­ngar Rabi' mengeluarkan kata-kata yang bernada mencela."
Malik bercerita, "Aku melihat Ayyub As-Sakhtayani sebanyak dua kali ketika menunaikan ibadah haji di Makkah, namun aku belum sempat menulis hadits darinya. Dan aku melihat ia yang ketiga kalinya sedang duduk di dekat sumur Zamzam. Ketika mendengar nama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam disebut-sebut, ia menangis sampai aku merasa kasihan padanya. Dan saat itulah aku berhasil menulis hadits darinya."
Salmah bin Alqamah mengatakan, "Aku biasa duduk bersama Yunus bin Humaid, tetapi aku tidak sanggup menyampaikan satu kalimat pun pada­nya."
Harus Musa berkata, "Pernah Aun menceritakan sebuah hadits ke­padaku dengan jenggot yang basah oleh derasnya air mata."
Abu Ali bin Syihab berkata, "Aku pernah mendengar Abu Abdullah bin Bathat berkata, 'Aku pernah meriwayatkan empat puluh hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam mimpiku'."
Al-Qasim bin Rasyid Asy-Syaibani berkata, "Seorang lelaki jembel singgah di kampung kami. Ia membawa seorang istri dan beberapa anak perempuan. Pada suatu malam aku melihat orang itu lama sekali melakukan shalat. Selesai shalat ia berteriak dengan suara lantang, 'Hai kafilah yang lupa daratan, apakah semalaman suntuk kalian harus tidur terus? Apakah kalian tidak bangun lalu segera melanjutkan perjalanan?' Seketika itu nampak beberapa orang saling berlompatan. Lalu dari sana sini terdengar ada yang menangis, ada yang berdoa, ada yang membaca Al-Qur'an, dan ada yang berwudlu. Ketika fajar terbit, ia kembali berteriak dengan suara lantang, 'Pada dini hari seperti ini orang-orang yang mulia seharusnya sudah berdzikir kepada Allah'!"
Diceritakan oleh Waki', "Hampir selama tujuh puluh tahun Al-A'masy tidak pernah ketinggalan takbiratul ihram. Dan selama lebih dari enam puluh tahun bersamanya, aku tidak pernah melihat ia mengqadha' shalat barang sekalipun. "
Abu Hayyan menceritakan kisah dari ayahnya, ia berkata, "Pada suatu hari Rabi' bin Khaitsam yang sedang terserang penyakit stroke dituntun untuk shalat berjama'ah. Seseorang berkata kepadanya, 'Anda diberikan kemurahan untuk tidak ikut shalat berjama'ah.' Ia menjawab, 'Soalnya aku tadi mendengar seruan hayya alash shalat 'ayo menunaikan shalat'. Jadi sedapat mungkin datangilah walaupun dengan merangkak'."
Diceritakan oleh Hammad bin Salamah, "Setiap kali bertemu Sulaiman At-Taimi pada jam-jam di mana orang harus melakukan ketaatan kepada Allah, aku pasti mendapati ia sedang melakukan ketaatan. Pada jam-jam shalat, aku mendapati ia sedang shalat. Dan pada jam-jam di luar shalat, aku mendapati ia mungkin sedang wudlu, atau sedang menjenguk orang sakit, atau sedang ikut mengantarkan jenazah, atau sedang duduk di masjid. Aku melihat ia seperti orang yang tidak mampu berbuat maksiat kepada Allah Yang Mahamulia lagi Mahaagung."
Diceritakan oleh Isa bin Umar, "Pada suatu malam Amr bin Utbah bin Farqad keluar rumah dengan menunggang kuda. Setiba di sebuah pe­kuburan, ia berhenti dan berkata, 'Hai para penghuni kubur! Lembaran­-lembaran telah dilipat dan amal-amal telah dilaporkan kepada Allah.' Kemu­dian, ia menangis sambil terus berdiri sampai subuh. Baru setelah itu ia pu­lang kemudian menunaikan shalat subuh."
Abul Mawahib bin Shashra menceritakan tentang keadaan Imam Abu Al-Qasim bin Asakir, ''Aku tidak pernah melihat orang yang sepertinya. Selama empat puluh tahun, aku melihat ia begitu setia shalat jama'ah di shaf yang pertama, kecuali ada uzur. Dia selalu beri'tikaf pada bulan Ramadhan dan pada tanggal sepuluh Dzul Hijjah, dan tidak begitu tertarik pada urusan duniawi. Ia berpaling dari kedudukan dan jabatan yang ditawarkan kepadanya. Dan ia sangat rajin melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, tanpa terpengaruh oleh cercaan orang yang suka mencerca."
Bisyru bin Al-Hasan, seorang perawi hadits yang bisa dipercaya, diberi gelar Ash-Shaji 'orang yang berada di shaf depan' karena selama lima puluh tahun ia selalu shalat berjama'ah pada shaf yang pertama di masjid jami' Bashrah.
Ibrahim bin Maimun Al-Maruzi adalah sahabat Atha' bin Abu Rabbah, seorang mubaligh yang juga ahli hadits. Ia punya keahlian membentuk emas dan perak menjadi perhiasan. Akan tetapi, orang-orang lebih mengenal­nya sebagai seorang ulama ahli fiqih yang gemar melakukan amar ma'ruf nahi mungkar. Bahkan, menurut Ibnu Mu'in, ia adalah sosok orang yang sangat gigih dalam pendirian.
Seseorang berkata kepada Al-Ahnaf bin Qais Radhiyallahu Anhu, "Sesungguhnya dalam diri Anda ada kesabaran yang luar biasa." Ia menja­wab, "Kecuali jika telah tiba waktu shalat, aku tidak bisa menahan kesabaranku untuk langsung shalat."
Katsir bin Ubaid Al-Hamshi ditanya alasannya kenapa ia sama se­kali tidak pernah lupa dalam shalat, padahal ia telah menjadi imam bagi penduduk Hamash selama enam puluh tahun penuh. Ia menjawab, "Aku sama sekali tidak mau memasuki pintu masjid jika di hatiku masih ada selain Allah."
Seorang hakim agung Syiria yang bernama Sulaiman bin Hamzah Al-Maqdasi - masih termasuk keturunan Ibnu Qudamah, penulis kitab Al­Mughn - mengatakan, "Hanya dua kali saja aku shalat fardhu sendirian, dan seakan-akan aku tidak pernah melakukan hal itu." Padahal usianya sudah hampir sembilan puluh tahun. Semoga Allah merahmatinya.
Syarafuddin bin Muhammad Rahimahullah mengatakan, "Selama beberapa hari Ibnu Daqiq Al-'Idi pernah tinggal di kediaman kami di Mesir. Setiap malam kami melihatnya sedang shalat, atau sedang berjalan di sekitar rumah sambil memikirkan terbitnya fajar. Dan ketika fajar terbit, ia shalat subuh kemudian baru tiduran."
Ash-Shahib Syarafuddin berkata, "Aku pernah mendengar Syaikh Syihabuddin alias Ahmad bin Idris Al-Qarafi Al-Maliki mengatakan, 'Selama empat puluh tahun Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyah) tidak pernah tidur malam. Sesudah shalat subuh, ia hanya sempat tiduran beberapa jam saja karena harus segera melakukan shalat dhuha'."
Diceritakan oleh Ibnu Ahmad Al-Hanbali dalam kitabnya Syadzarat Al-Dzahab, "Setiap kalimat yang aku ucapkan dan setiap perbuatan yang aku lakukan, aku telah mempersiapkan jawabannya di hadapan Allah kelak." Ucapan ini juga dikutip oleh As-Subki.
Al-Hafizh Quthubuddin Al-Halbi mengatakan tentang Syaikh Taqiyyuddin, "Ia tidur malam hanya sebentar saja. Selebihnya, waktu malam ia gunakan untuk membaca, berdzikir, dan shalat tahajjud sehingga ia punya kebiasaan begadang. Seluruh waktunya ia gunakan untuk amal-amal yang mulia. Pada zamannya tidak ada orang yang sepertinya."
Orang-orang salaf yang shalih terdahulu juga terkenal dermawan dan penuh toleransi kepada sesama. Misalnya, yang ditunjukkan oleh Abdullah bin Thalib sekeluarga. Pada suatu hari ia kedatangan seorang tamu yang me­ngeluh bahwa ia tidak punya harta untuk persiapan pernikahan putrinya.
Abdullah bin Thalib punya seorang putri yang tinggal bersama ibunya dan suka mengunjunginya, terutama pada hari-hari raya. Ia menulis surat kepada istrinya, 'Tolong dandani putriku. Kenakan ia pakaian yang indah dan perhiasan. Dan suruh ia menemiku.'
Istri dan putrinya itu mau memenuhi permintaannya. Ia menyambut mereka dengan gembira. Kemudian, ia berkata kepada istrinya, 'Si Fulan itu baru saja datang menemuiku. Ia mengeluh karena tidak punya harta untuk persiapan pernikahan putrinya. Oleh karena itu, aku ingin memberikan pakaian dan semua perhiasan yang dipakai oleh anak kita itu. Dan lain kali aku akan menggantinya yang lebih banyak.' Mendengar itu, istrinya tidak merasa keberatan.
Mereka itulah manusia sejati
Celaka orang yang tidak bisa seperti mereka
Alangkah ruginya kamu yang menghabiskan usia untuk bermalas-malasan
Sementara mereka telah berada di ujung jalan keselamatan
dan bersiap melangkah pelan-pelan ke tempat tujuan yang mulia


[1] Al-Hafizh Abu Ismail Al-Harawi Al-Anshari Rahimahullah mengatakan, "Seorang ahli hadits harus sanggup berjalan dengan cepat, menulis dengan cepat, dan membaca dengan cepat." Bisa ditambahkan "Makan dengan cepat." Kata Sahnun, "Ilmu tidak layak dimiliki oleh orang yang makan sampai kenyang. "
As-Suyuthi Rahimahullah mengatakan: Guru kami, Syaikh Al-Kanani, bercerita kepada kami dari ayahnya yang seorang orator, "Orang yang berilmu itu punya tiga ciri khas: Makannya cepat, berjalannya cepat, dan menulisnya cepat"
[2] Nama sebuah semenanjung besar yang terletak di ujung timur India.
[3] Nama sebuah wilayah di ujung Maroko.
[4] Lihat Shafhat min Shabri Al-Ulama', hal. 35 dan sesudahnya.
Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa orang-orang yang mengemban tugas-tugas agama seperti seorang hakim, mufti, guru, imam, mubalig, mu'azin, dan lain sebagainya, biasanya mereka tidak peduli dengan kekayaan. Alasannya adalah seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun, "Sesungguhnya hasil adalah nilai karya manusia, dan itu sifatnya relatif sesuai sejauh mana karya itu dibutuhkan. Jika menyangkut hajat orang banyak, tentu nilainya sangat besar dan sangat dibutuhkan.
Orang-orang yang mengemban tugas agama memang tidak begitu dibutuhkan oleh mayoritas orang, kecuali oleh orang-orang relijius yang memang membutuhkan jasa serta peranan mereka. Fatwa dan hukum, misalnya, hanya dibutuhkan untuk mengatasi perselisihan-perselisihan yang tidak setiap waktu terjadi. Oleh karena itulah, kebanyakan masyarakat kurang membutuhkannya. Akan tetapi, seorang penguasa wajib selalu memikirkan kemaslahatan mereka. Ia harus bisa membagikan kesejahteraan kepada mereka sesuai dengan tingkat kebutuhan. Tugas-tugas berat dan mulia yang diemban oleh mereka, seharusnya menjadi pertimbangan tersendiri. Ia ti­dak boleh menyamakan mereka dengan anggota masyarakat secara umum. Jarang sekali penguasa yang memperhatikan masalah ini. Namun, sebagai orang-orang yang berjiwa mulia, mereka biasanya tidak mau tunduk kepada para penguasa, meskipun mereka diberikan kesejahteraan. Bahkan, mereka tidak mau meluangkan waktu untuk memikirkan hal itu karena mereka lebih memilih sibuk dengan tugas-tugas mereka yang mulia daripada memikirkan masalah materi. Mereka tidak mau melakukan kompromi dengan orang-orang yang sibuk dengan urusan-urusan duniawi. Mereka berusaha menjauhinya. Oleh karena itulah, biasanya mereka tidak peduli dengan masalah harta.
Dalam konteks ini saya pernah berdebat dengan seorang ulama. Semula ia tidak setuju dengan pikiran saya. Namun, setelah saya sodorkan dokumen-dokumen berisi daftar aset kekayaan pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun berikut kesejahteraan yang ia berikan kepada para qadhi, para imam masjid, dan para mu'azin, akhirnya ia setuju."
[5] Ini adalah salah satu fenomena kaidah yang ditetapkan oleh penerus Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu Yahya bin Mu'in Rahimahullah yang pernah mengatakan, "Jika kamu menulis hadits, maka tulislah semua yang kamu dengar dan himpunlah. Dan jika kamu menceritaka hadits, maka telitilah."
[6] Ibnu Taimiyah, Pustaka Mantiq, Hal. 40-41
[7] Adalah salah satu cabang dari ilmu Sastra Arab yang mempelajari tentang sajak.
[8] Al-Qaffal berarti 'tukang membuat kunci'. Disebut seperti itu karena ia memang pandai membuat kunci. Lihat, Syadzarat AI-Dzahab 1Il/207
[9] Menurut sebagian besar ulama ahli fiqih, shalat tahiyatul masjid itu hukumnya sunnat. Sementara menurut ulama-ulama madzhab Zhahiri, hukumnya wajib.
[10] Sesungguhnya Rasulullah adalah manusia yang paling bertakwa di muka bumi ini, beliau juga seorang pemimpin dan juga panglima perang, namun beliau juga tetap menggauli istri-istri beliau, beliau shalat tetapi juga tidur, beliau puasa tetapi juga berbuka.

0 komentar:

Posting Komentar